Diprotes Usai Khutbah

“Ustadz, tadi cerita-cerita tentang Rosulullah Saw. itu dalilnya dari kitab mana saja?”, “Apa yang ustadz sampaikan tentang hadits tadi itu, hadits maudhlu’ semuanya”, “Jangan sembarangan Ustadz kalau menyampaikan cerita yang disandarkan kepada Nabi”, “Kejadian cerita Nabi tadi di Madinah atau di Makkah, kalau di Madinah, tidak seperti itu ceritanya Ustadz”. “Tidak bisa meniru Rosulullah, seperti yang ustadz katakan tadi itu, sama dengan mengendorkan semangat seorang muslim”. Pernahkah anda diprotes seperti ini setelah menyampaikan ceramah dan khutbah? Itu adalah beberapa pertanyaan bernada protes yang pernah saya alami sendiri.

Kejadian terakhir adalah ketika saya kemarin mengisi khutbah dan menjadi imam sholat jum’at di masjid Al-Hilal, kota Banyuwangi. Sejak pulang dari Mesir, ketika diminta untuk mengisi pengajian, saya terbiasa membebaskan setiap jama’ah yang saya berikan kajian, usai kajian untuk bertanya apapun yang mereka mau, bahkan boleh memprotes apa yang sudah saya sampaikan kepada mereka.

Bagi saya pribadi, pertanyaan yang mereka sampaikan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi saya, juga memberikan pemahaman baru ketika ternyata dia memberikan pendapat yang berbeda dengan apa yang selama ini saya fahami. Terkadang orang bertanya bukan karena tidak tahu, tetapi dia hanya ingin mengetes saja pengetahuan dari yang saya miliki dan fahami dan entah sudah berapa kali hal seperti ini saya alami ketika berhadapan dengan pengajian di masyarakat.

Jum’at kemarin, usai mengisi khutbah, saya dipanggil oleh seseorang, dia mempersilahkan saya duduk di depannya. Tidak ada senyuman di wajahnya, baru saja saya duduk, langsung saja dia menyerbu dengan beberapa pertanyaan yang sebenarnya layak disebut sebagai protes dari materi yang saya sampaikan pada saat khutbah barusan. Bukan satu kali ini saja beliau memprotes materi yang saya sampaikan, satu bulan yang lalu juga sama, dengan pertanyaan yang sama pula.

“Perbedaan itu sesuatu yang fitrah Pak, apa yang saya fahami berbeda dengan yang bapak fahami. Adanya pintu yang banyak di sebuah rumah, menunjukkan begitu luasnya rumah. Agama islam juga sama, banyaknya perbedaan pendapat, menunjukkan begitu agungnya agama Islam ini”, saya menjawab dengan seperti ini kepada beliau.

Ternyata, apa yang saya harapkan dari respon beliau, tidak seperti yang diinginkan, “Di kitab ini apa yang ustadz sampaikan itu tidak ada. Itu hadits palsu tadz. Kalau berbicara di depan banyak jama’ah jangan memakai dalil seperti itu. Agama itu perlu pertanggung jawaban”, katanya lagi.

“Terimakasih atas masukannya, sekali lagi Pak. Pemahaman bapak dengan saya berbeda. Dari yang saya fahami, dalil-dalil yang saya sampaikan tadi itu haditsnya bukan maudlu’ (palsu), ada di beberapa kitab yang sudah saya pelajari. Kalau bapak menganggap seperti yang bapak fahami, ya silahkan”, di tengah saya menjelaskan seperti ini. Pak Sutrisno datang, duduk di samping saya. Beliau membela apa yang sudah saya sampaikan kepada bapak di depan saya.

Bapak di depan saya tetap meminta saya untuk setuju dengan pendapat dia. Karena ini adalah urusan prinsip, saya tetap bertahan dengan pendapat saya, tanpa menyalahkan pendapat beliau. Bagi saya perbedaan pendapat itu adalah hal yang biasa. Lalu datang lagi seorang jama’ah bernama Pak Fakhruddin yang duduk di kiri saya. Pak Sutrisno dan Pak Fakhruddin malah yang gantian sedikit berdebat dengan bapak yang ada di depan saya.

Wajah bapak depan saya terlihat marah. Beliau tetap tidak terima dengan apa yang kami jelaskan. “Saya hanya ingin klarifikasi saja ustadz. Karena apa yang ustadz jelaskan dari khutbah bulan kemarin dan khutbah pada hari ini menurut saya tidak benar. Hadits yang ustadz jelaskan, saya tidak pernah mendengarnya. Bahkan cerita-cerita yang ustadz jelaskan, saya juga asing. Hati-hati kalo ngomong agama kepada para jama’ah”.

Saya tersenyum dengan protesnya dan saya iyakan saja. Lalu Mas Arif, kakaknya teman saya waktu kuliyah di Universitas Al-Azhar Mesir datang. Mas Arif, Pak Sutrisno dan Pak Fakhruddin berusaha membantu dari apa yang sudah saya jelaskan. Namun tiba-tiba, bapak yang ada di depan saya mohon pamit diri di tengah diskusi yang belum menemukan titik temu. Dia pamit diri hendak pulang.

Sejak diperintahkan untuk mengisi pengajian di masyarakat oleh Abah KH. Thoha Muntaha Mannan, saya berhadapan dengan berbagai macam model orang. Pemahaman yang gado-gado. Saya salut sekali dengan Abah Thoha, beliau selama puluhan tahun mampu merangkul berbagai macam jama’ahnya dari berbagai macam aliran.

Di Masjid Al-Hilal sendiri tempat saya khutbah jum’at kemarin, ada yang mengikuti NU, Muhammadiyah, Al-Irsyad, Salafi, Abangan, hingga orang-orang HTI. Semua menjadi satu di dalam satu masjid. Mereka sholat jum’at bersama. Dulu, pertama kali saya datang ke masjid ini, saya bertanya kepada pengurus masjidnya untuk tata cara shalat yang selama ini berlaku. Pertanyaan saya ini bertujuan agar tidak terjadi fitnah ketika saya menjadi imamnya.

“Fokus ke materi yang berkaitan dengan hati saja nak, tidak usah membahas sesuatu yang bisa menjadi konflik, seperti hal-hal yang sifatnya furuiyyah, cabang yang disitu banyak ikhtilaf”, begitu pesan yang disampaikan Abah Thoha dulu kepada saya saat pertama kali diminta untuk lebih aktif terjun di masyarakat. Alasan beliau adalah setiap orang punya hati, kebutuhan hati manusia itu satu, sehingga urusan hati tidak terjadi silang pendapat.

Walaupun secara teori seperti itu, namun fakta di lapangan tetap saja terkadang tidak seperti yang diharapkan. Selalu ada perbedaan pemahaman dari apa yang saya sampaikan dengan beberapa jama’ah yang mendengarkan. Termasuk kejadian-kejadian yang saya alami beberapa kali tadi. Itu semua adalah pembelajaran buat saya, termasuk memberikan saya pengetahuan baru terhadap pemahaman yang jama’ah sampaikan.

Pada saat khutbah kemarin, saya mengangkat tema sesuai bulan yang hadir sekarang, yakni Maulid Nabi Shallallahu ‘alayhi wasallam. Sebagaimana pesan Abah Thoha tadi yang berisi agar saya menghindari perbedaan pendapat, sengaja saya tidak menjelaskan keutamaan bulan Maulid atau keutamaan peringatan Maulid Nabi, bagi jama’ah yang NU atau Muhammadiyah mungkin itu yang ditunggu, tapi bagi jama’ah Salafi dan HTI, ceritanya akan lain.

Saya membacakan ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Ahzab ayat 21 yang artinya kurang lebih seperti ini “Telah ada pada diri Rosulullah Saw. teladan yang baik”. Sebelum saya bercerita tentang kejadian-kejadian teladan Rosulullah di masa hidupnya, saya mengartikan satu persatu lafadz yang ada surat Al-Ahzab ini. Saya artikan perlafadz dengan kaidah bahasa arab baku sesuai ilmu nahwu dan shorofnya, agar mendapatkan pemahaman yang utuh, bukan hanya sekedar tahu dari arti terjemahnya saja.

Setelah itu saya mulai bercerita contoh suri teladan yang dilakukan oleh Rosulullah, diantaranya adalah beliau ketika shalat tahajjud, “hatta tawaarat qodamaahu”, “sampai membengkak kedua kakinya”, sebagaimana di sebutkan dalam beberapa hadits shohih. Dari sini memberikan pengertian bahwa, untuk meniru atau memfoto copy apa yang dilakukan Rosulullah 100 % itu sesuatu yang mustahil, yang bisa dilakukan adalah meneladani Rosulullah. Saat seorang muslim shalat tahajud, walaupun hanya dua rakaat setiap harinya, itu sudah termasuk meneladani Rosulullah, walaupun hanya 0,00000 % dari apa yang sudah dilakukan oleh Rosulullah Saw.

Di dalam hadits yang lain, pernah suatu ketika ada seorang badui datang ke Madinah. Rosulullah dan para sahabat pada waktu itu sedang menunaikan shalat di dalam masjid. Setelah shalat selesai, tidak disangka badui itu masuk ke dalam masjid, bukan untuk menunaikan ibadah shalat, tetap dia berdiri di tengah-tengah masjid dan buang air kecil di situ. Tentu para sahabat langsung naik pitam, bahkan ada satu sahabat yang langsung menghunuskan pedangnya, hendak membunuh badui yang tidak punya tata krama sama sekali.

Masjid adalah tempat untuk menghadap kepada Tuhan, tapi badui ini menjadikan masjid untuk tempat membuang kotoran. Tapi apa yang dilakukan oleh Rosulullah? Sungguh diluar dugaan para sahabatnya yang semuanya marah pada waktu itu terhadap sikap badui yang tidak tau aturan. “Biarkan saja badui itu menyelesaikan hajatnya”. Begitu terheran-heran para sahabat terhadap sikap Rosulullah Saw.

Rosulullah diturunkan ke dunia ini untuk menyebarkan rahmat, kasih sayang. Beliau dikaruniai kasih sayang tanpa batas. Semua manusia beliau kasihi, tanpa terkecuali seorang badui yang sedang buang air kecil di dalam masjid Nabawi. Seandainya Rosulullah tidak menghentikan hunusan pedang sahabatnya yang diarahkan kepada badui yang sedang kencing, apa yang akan dikatakan oleh orang-orang kafir ketika mendengar kabar orang islam membunuh seseorang di dalam masjid? Tentu akan tersebar fitnah yang luar biasa.

Islam bisa dianggap sebagai agama kekerasan, agama yang tidak mengenal toleransi, agama yang menghalalkan darah orang lain. Tapi, Rosulullah melakukan hal yang sangat tepat, ketika badui menyelesaikan hajatnya di dalam masjid. Rosulullah lalu memanggilnya dengan penuh kasih sayang, beliau menjelaskan secara perlahan tentang hal yang sudah dilakukan oleh badui. Sampai akhirnya badui itu mengerti dan konon katanya hingga masuk Islam karena berkat lembut dan kasih sayang yang diberikan oleh Rosulullah Saw.

Saya juga bercerita tentang teladan yang dilakukan oleh Rosulullah ketika di Madinah. Pada saat itu setiap hari beliau selalu mendapati kotoran onta di depan rumahnya. Setiap hari terus seperti itu. Beliau tidak pernah marah, juga tidak pernah susah dengan kejadian ini. Dengan tangan mulianya, setiap harinya beliau membersihkan dan membuang kotoran onta itu sendiri.

Hingga suatu hari, beliau tidak melihat kotoran onta lagi di depan rumahnya. Rosulullah memanggil para sahabat tetangganya untuk menanyakan, siapa yang setiap hari menaruh kotoran onta di depan rumahnya? Para sahabat memberikan informasi yang menaruh kotoran itu adalah seorang Yahudi, nenek tua, dia sekarang sedang sakit, sehingga tidak menaruh kotoran di depan rumah Rosulullah.

Rosulullah bukan malah marah ketika diberi tahu informasinya oleh para sahabat. Beliau justru menanyakan di mana rumah nenek tua Yahudi itu. Rosulullah dengan membawa banyak hadiah datang untuk menjenguk nenek itu. Si nenek tidak tau yang datang adalah Rosulullah. Bahkan, belum ada tetangga yang mengunjungi nenek, Rosulullah adalah orang pertama yang mengunjunginya dikala dia sakit.

Sampai akhirnya ketika Rosulullah hendak berpamitan, nenek itu bertanya kepada beliau, “Siapa namamu anak muda?”. Rosulullah lalu menjawab dengan “Muhammad bin Abdillah”. Seketika nenek itu menangis. Bagaimana mungkin orang yang seumur hidupnya dia benci, dia membalas dengan cinta?! Bagaimana mungkin orang yang rumahnya setiap hari dia kasih kotoran onta, dia balas memberi banyak hadiah?! Bagaimana mungkin kebencian selama ini yang dia berikan, dia membalasnya dengan kasih sayang?!

Itulah beberapa cerita yang saya sampaikan pada saat khutbah jum’at kemarin. Seperti khutbah-khutbah sebelumnya, setiap selesai khutbah, sambil mengobrol santai, ada saja jama’ah yang bertanya, namun ada juga jama’ah yang protes terhadap apa yang sudah saya jelaskan. Hari jum’at kemarin saya hanya berkisah tentang kasih sayang Rosulullah yang tanpa batas.

Menanggapi jama’ah yang protes, yang menanyakan dalil untuk merayakan maulid karena cinta kepada Rosulullah, saya jadi teringat sebuah pesan dari Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki yang mengatakan bahwa, “Mengapa kalian memperingati maulid? Seakan-akan ia bertanya, kenapa kalian bahagia atas lahirnya Rosulullah?!”.

Tinggalkan Balasan