4 Buku Serial Mesir Dibedah

Terbaru578 Dilihat

“Tulisan akan menemukan takdirnya sendiri, biarlah tulisan itu yang akan membela dirinya sendiri”, itu adalah pesan dari Pak Tamrin Dahlan sebagai founder sekaligus ketua Yayasan YPTD yang menebitkan 4 buku serial Mesir. “Prof. Kunto Wijaya berpesan, syarat menjadi penulis ada 3 yaitu menulis, menulis dan menulis”, Pak Aji Najiulloh Thaib yang akrab memakai nama pena Ajinatha di buku-bukunya, berpesan untuk selalu menulis. Sedangkan Gus Mokhtar Nabeel, mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir yang menjadi pembicara ketiga memberikan pesan dari Pramoedya Ananta, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

Alhamdulillah, acara bedah 4 buku serial Mesir yang berjudul 926 Cairo, Cairo Oh Cairo, Umroh Koboy dan 80 Coret Mesir dilancarkan oleh Allah Swt., acara yang sedianya dimulai pukul 07.00 malam, resminya dimulai dari pukul 07.30 malam hingga pukul 09.30 malam. Antusiasme peserta yang berasal dari berbagai elemen seluruh Indonesia tercermin dari banyaknya pertanyaan yang masuk. Dari data yang ada, yang tertulis di aplikasi Zoom yang menjadi tempat acara, ada 21 pertanyaan.

Setiap hari, aku selalu ngaji bersama santri di Pondok Pesantren Minhajut Thullab Sumberberas, Muncar, Banyuwangi, termasuk ketika sebelum acara bedah 4 buku serial Mesir berlangsung. Aku bersama para santri mengaji tafsir Al-Qur’an, tepatnya tafsir Al-Jalalain yang dikarang oleh Syeikh Jalaluddin As-Suyuti dan Syeikh Jalaluddin Al-Mahally, makam beliau berada di Mesir. Setiap mengaji, tidak lupa kami semua selalu mengirimkan hadiah fatihah, berharap apa yang kami kaji bisa diberikan manfaat dan keberkahan dari ilmu yang ada.

Tepat sebelum adzan isya’, sekitar jam 18.30, ngaji aku selesaikan. Biasanya pengajian tafsir Jalalain aku selesaikan ketika adzan isya’, malam ini aku selesaikan lebih awal, takut telat untuk ikut acara webinar via Zoom bersama YPTD. Pada saat Zoom kubuka dan linknya aku dapatkan dari Mas Nuryadi yang menjadi admin dan tangan kanannya Pak Thamrin, rupanya sudah ramai para peserta yang masuk dan menunggu. Sampai jam 07.00 malam, kami semua disuguhkan video testimoni dari YPTD.

Tibalah saatnya jam 07.30, Pak Tamrin memberikan arahan kepada Mbak Dewi Puspasari untuk membuka acara malam ini, peserta yang hadir sekitar 30-an dan terus bertambah. Setelah acara dibuka oleh Mbak Dewi dan mengabarkan agar peserta tidak lupa untuk mengisi formulir link yang sudah disediakan agar nantinya mendapatkan E-Sertifikat yang bisa menjadi kenang-kenangan.

Pak Thamrin memberikan prolog, bercerita bagaimana aku bertemu dengan beliau. Pertemuanku dengan Pak Tamrin terjadi pada tahun 2011 lalu, ketika aku pulang dari Cairo ke Jakarta, pada saat Mesir sedang revolusi. Takdir menemukanku kepada Pak Tamrin yang waktu itu mengantarkanku shilaturahim ke kantornya Kompas di Jakarta. Setelah sekian lama tidak lagi komunikasi, pada tanggal 25 September 2020, aku menghubungi kembali beliau, setelah tau beliau mendirikan Yayasan Pusaka Tamrin Dahlan dan memfasilitasi para penulis untuk ingin menerbitkan buku ber-ISBN gratis.

Aku dipersilahkan Pak Tamrin untuk memaparkan tentang 4 buku yang aku tulis, presentasi selama 15 menit. Sore tadi, aku sudah mengirimkan file pdf slide materi untuk malam ini di group-group WA yang aku ikuti, harapannya mereka semua yang membukanya tertarik untuk membaca dan bergabung di acara webinar malam ini. Saat aku presentasi, peserta yang tampak hadir ada 45 orang. Aku mengucap hamdalah, syukur dan terimakasih kepada semuanya.

Sebelum ke pembahasan 4 buku yang hendak dibedah. Aku membuat sebuah pertanyaan untuk diriku sendiri, karena ini menyangkut dengan niat, motivasi terbesar apa yang melatarbelakangi aku diberikan kemampuan menulis hingga lahir 4 buku yang masing-masing buku rata-rata 300 halaman lebih, dan masih ada 2 buku serial Mesir lagi yang sedang menunggu untuk diterbitkan juga. Aku menunjukkan beberapa dalil di dalam al-qur’an, seperti dalam surat Yusuf dan Az-Zukhruf yang disana menyebutkan secara langsung kata “Mishro”, Mesir. Pertanyaannya kenapa Mesir?!

Al-Qur’an juga memuat tiga hal yani akidah, Syariah dan Qoshohs (cerita masa lalu). Nah, dari cerita ini, hampir semuanya lokasi kisahnya juga berada di Mesir. Inilah awal yang melatarbelakangi diriku untuk penasaran menulis tentang Mesir. Dari pertanyaan dasar ini, aku sering bertanya, ada apa dengan Mesir? Sehingga banyak disebutkan dalam al-qur’an dan kisahnya juga abadi. Aku menulis apa saja yang berkaitan dengan Mesir, hampir setiap hari saat di Mesir, aku menulis.

Pada akhirnya, ada 300 artikel yang sudah aku tulis di blog miliknya Kompas, Kompasiana ketika aku pulang ke Indonesia dan menyelesaikan studi dari Universitas Al-Azhar dengan mendapatkan gelar Lc. Aku biarkan artikel-artikel itu, dan bulan September kemarin, dia menemukan jodohnya, jadilah 4 buku Serial Mesir, yang nanti akan jadi 6 buku Serial Mesir. Masing-masing judulnya adalah 926 Cairo, Cairo Oh Cairo, Umroh Koboy dan 80 Coret Mesir.

Pada buku 926 Cairo, aku banyak bercerita tentang Mesir pada saat Mesir belum ada revolusi. Di Mesir aku menemui 4 kali pergantian presiden, mulai dari Husni Mubarok, Adli Mansour, Mohamed Mursi, hingga Abdul Fattah As-Sisi. Nah, buku pertama ini banyak bercerita pada saat Mesir dibawah pimpinan Hosni Mubarok, kalau diibaratkan dengan kondisi Indonesia, ya seperti masanya Soeharto.

Buku Cairo Oh Cairo yang menjadi buku kedua, berisi banyak catatan saat aku keliling kota-kota yang ada di Mesir, mulai dari hulunya sungai Nil di Luxor Aswan, hingga hilirnya Mesir di Alexandria, termasuk kisah pada saat Mesir sedang revolusi dan aku menjadi korban tangkap militer Mesir waktu itu. Pada buku Umroh Koboy, bercerita banyak hal setelah Mesir revolusi dan perjalananku bersama teman-teman dari Universitas Al-Azhar melaksanakan Umroh secara koboy, jalur nekat lewat jalur darat.

Banyak kisah seru di sana, karena pada tahun 2012 adalah masa transisi hampir semua pemerintahan yang ada di negara arab pasca kejadian arab spring. Nah, untuk buku keempat yang berjudul “80 Coret Mesir”, aku menuliskan banyak hal tentang sosial budaya masyarakat Mesir, apa saja aku tuliskan. Aku cantumkan juga cerita tentang kisah yang terinspirasi dari kitab suci al-qur’an dan hadist, termasuk kisahku pada saat berkumpul dengan teman-teman dari Amerika, Eropa, Rusia hingga China yang sedang kursus bahasa arab di Cairo dan perjalananku saat ke Thailand.

Mesir, seperti kata guru bahasa arabku di Fajr Institut, Ustadz Muhamad Fuad, berasal dari kata Mim, Shod dan Ro’. Mim artinya adalah musibah. Shod artinya adalah sabar, dan ro’ artinya adalah rohah. Setiap orang yang hidup di Mesir, akan dicoba dengan berbagai hal, saat dia sabar dengan segala cobaan itu, suatu saat dia akan mendapatkan rohah, kebahagiaan.

Aku menjumpai 4 kali pergantian presiden Mesir. Melihat sendiri bagaimana Mesir revolusi. Keadaan yang berbeda-beda di setiap sesinya. Dari sini, dalam kondisi yang bermacam-macam, aku sabar menuliskan kisahku, hingga selama 4 tahun aku di Mesir. Mungkin saat ini jawaban dari kata arti Mesir itu, aku mendapatkan kebahagiaan dengan dijadikannya buku dari catatan-catatan yang dulu aku tulis dan tidak pernah berfikir, apakah nantinya menjadi buku. Alhamdulillah.

Seperti pesan guruku di Pesantren Blokagung, “Musibatu qowmin ‘ala qowmin fawaidu”, “Musibah suatu kaum, atas kaum yang lain adalah keberkahan”. Aku mendapatkan keberkahan dari kondisi Mesir yang berbeda-beda di empat kali pergantian presiden itu, banyak cerita yang bisa aku tuliskan. Aku menutup sementar presentasiku dan menyerahkan kembali waktunya kepada Pak Tamrin Dahlan.

Beliau mempersilahkan kepada Pak Ajinatha untuk presentasi, melihat dari sisi jurnalisme. Pak Aji merupakan Art Director banyak film di tanah air, hampir semua FTV yang ada di SCTV juga digarap oleh beliau. Disela-sela syuting, beliau selalu menulis, di kompasiana, dengan nama Nathanegara, hampir 5000 artikel yang sudah beliau tulis dan sudah 5 buku yang beliau terbitkan lewat YPTD.

“Menurut Jeff Colin, penulis itu ada dua kategori, pertama adalah penulis baik, kedua merupakan penulis buruk. Penulis buruk adalah seorang penulis yang mudah menyerah. Ketika ada alasan untuk tidak menulis, dia tidak akan menulis. Berbeda dengan penulis baik, seorang penulis yang baik adalah penulis yang selalu menulis, dalam keadaan apapun. Mas Bisri, menurut saya, masuk kategori penulis yang baik, karena dia selalu menulis dan hampir setiap hari saat di Mesir, tidak peduli dengan kondisi Mesir”, itulah sedikit penjelasan yang bisa aku tangkap dari paparan Pak Ajinatha.

Beliau bercerita bahwa menulis adalah kebiasaannya. Beliau bisa menulis disela-sela syuting. Menulis apa saja, hingga lahir ribuan artikel yang ada di Kompasiana dan lahir beberapa buku. “Setiap tulisan akan mencari pembacanya sendiri, jadi jangan khawatir”, tambah beliau. Beliau tidak setuju dengan ungkapan yang beberapa hari lalu sempat viral di kompasiana, yang mengatakan bahwa, “jangan terlalu banyak menerbitkan buku, bisa merusak kayu yang ada di hutan, karena buku berasal dari kayu”, karena masing-masing punya konsekuensi. Literasi bangsa ini masih sangat rendah, masih dibutuhkan para penulis yang banyak.

Banyak hal beliau bercerita. Intinya mengajak untuk menulis, hingga akhirnya Pak Tamrin Dahlan memberikan waktunya kepada pembedah ketiga yakni Gus Mokhtar Nabeel dari Mesir. Gus Abil, aku akrab memanggil dengan nama ini, bercerita tentang Mesir, membenarkan dan meyakinkan kondisi Mesir seperti yang aku tuliskan di 4 buku serial Mesir. Beliau juga cerita 3 temannya di Mesir yang pernah menerbitkan buku-bukunya, ada yang bernama Usman Ar-Rumi, Dani dari Lampung, hingga Syamsul. “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, Gus Abil mengutarakan pesan dari seorang penulis legendaris Indonesia yang bernama Pramoedya.

Setelah aku, Pak Aji dan Gus Abil menyelesaikan pemaparannya masing-masing, Pak Tamrin memberikan waktu kepada Mbak Dewi untuk memberikan kesempatan kepada para peserta bertanya. Aku membuka ruang chat yang ada di Zoom, rupanya sudah ada puluhan yang bertanya. Yang pertama bertanya, itulah yang dibacakan. Mbak Dewi membacakan satu persatu pertanyaan itu dan aku mulai menjawabnya. Dari 21 pertanyaan yang tertulis, hampir semuanya ditujukan kepadaku, beberapa ditujukan juga kepada Pak Tamrin.

“Ada berapa buku hadiah yang disediakan untuk para penanya terbaik mas?”, tanya Pak Tamrin kepadaku. “Empat Pak”, sambil menunjukkan kode 4 jari di depan video laptop, aku menjawabnya. Om Jay meminta kepada Pak Tamrin untuk bertanya. Beliau sekarang sedang diisolasi karena positif covid 19, namun masih menyempatkan diri untuk mengikuti acara bedah 4 buku malam ini, semoga segera diberikan kesembuhan.

Pertanyaan yang diajukan Om Jay adalah bagaimana system perkuliyahan di luar negeri, khususnya Al-Azhar dan apakah para dosen di sana juga dituntut untuk menulis jurnal-jurnal layaknya dosen di Indonesia. Aku menjawabnya dengan memberikan arahan bahwa jawaban dari pertanyaan ini sudah pernah aku tuliskan di beberapa artikel bukuku, contohnya artikel yang berjudul “Al-Azhar Klasik” yang ada di buku “Cairo  Oh Cairo”. Aku juga menjawab bahwa Al-Azhar sampai sekarang masih menganut system klasik, system paket, bukan SKS layaknya kampus di Indonesia dan dosen di sana sangat produktif, karena rata-rata mata kuliyah dari buku yang beliau-beliau tulis sendiri.

“Apa wirid khusus pada saat menulis dan apakah ada charity, untuk sosial dari buku-buku yang ditulis”, Pak Amin Awal memberikan pertanyaan. Hmm, aku ragu untuk menjawabnya. Karena bagiku ini hal yang privasi. Namun, semoga bisa memberikan inspirasi dengan jawaban yang akhirnya aku utarakan. “Secara pribadi, pada saat hendak menulis, aku berusaha untuk suci, punya wudlu. Dan setiap buku yang laku terjual, laba 50 % dari buku-buku itu, aku salurkan ke organisasi MATAN Banyuwangi, organisasi tasawwuf yang didirikan oleh Maulana Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan”, itulah jawaban singkatku.

Om Dian Kelana, Mbak Gita Permata yang bekerja di RS Polri juga bertanya. Banyak pertanyaan yang akhirnya belum bisa aku jawab. Di sini aku ingin menuliskannya secara singkat, walaupun aku teringat pesan Imam Syafi’i dulu, beliau mengatakan, “Ridlonnas ghoyatun la yudrok”, “Bisa memuaskan semua orang itu adalah sesuatu yang mustahil”. Inti di antara pertanyaan itu adalah bagaimana konsisten menulis dan motivasi terbesar untuk bisa istiqomah menulis.

“Setiap detik dari udara yang kita hirup, kita bisa hidup ini adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan. Setiap hari kita merasakan anugerah itu. Aku ingin mengabadikan setiap detik dari anugerah itu dengan menuliskannya, harapannya nanti tulisan itu bisa menjadi amal jariyah dan bisa memberikan inspirasi kebaikan buat orang yang membacanya. Aku merasa bersyukur dengan setiap detik yang aku lalui, dan aku berusaha menuliskan dari kisah itu”, itulah jawaban yang aku utarakan untuk beberapa pertanyaan yang ada.

Jam 09.30 malam, Mbak Dewi diberikan arahan oleh Pak Tamrin untuk menutup acara. Alhamdulillah acara malam ini luar biasa. Semoga 4 buku serial Mesir yang sudah diterbitkan oleh YPTD ini bisa memberikan inspirasi kebaikan buat para pembacanya. Semoga aku diberikan konsistensi untuk menulis, menulis apa saja dan berharap bisa selalu memberikan manfaat dari tulisan-tulisan itu. Aku bersyukur dari setiap detik yang aku lalui dengan menuliskannya. Terimakasih.

Tinggalkan Balasan

1 komentar