Beri Aku Waktu (1)

‘Mungkin ini jalan yang terbaik yang harus aku lakukan. Meninggalkan cucu dan menantuku agar dia bisa mandiri merawat dan membesarkan anaknya. Dan Nicho, akan lebih menyayangi maminya manakala nanti dekat dengan maminya. Meski aku ragu, apakah menantuku, Ervi  itu bisa melakukannya. Tapi aku harus tega dan harus yakin inilah keputusan terbaik yang harus aku ambil demi kebahagiaan semuanya’

“Oma, jam berapa nanti ke tempat Budhe? Nicho antar ya.” 

Sapaan Nicholas, cucuku itu mengagetkan lamunanku. Sudah lebih tiga tahun ini aku tinggal bersama menantu dan anakku, Budi. Sejak Budi divonis sakit kanker usus, aku tinggal bersama mereka dan anaknya,  Nicholas. Menantuku Ervi kerja di salah satu leasing otomotif besar di kota ini. Karena kesibukannya bekerja di bagian Customer Service mengharuskan datang lebih awal dan mempersiapkan diri seoptimal mungkin dalam memberikan pelayanan pada pelanggan.

Selain dituntut penampilan yang oke, sikap ramah dan wellbeing terhadap customer tentu harus bisa memuaskan bahkan menarik customer untuk membeli atau menggunakan produk jasa dari perusahaan tempatnya bekerja. Maka, aku maklum saja saat dia harus pagi-pagi benar berangkat bekerja, tidak pernah menemani Budi sarapan. Apalagi melayani di meja makan, hanya sekedar menyiapkan saja hampir tidak pernah. Dan pemandangan seperti ini tersuguhkan setiap hari di rumah ini. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Sebagai ibu mertua tentu aku tak ingin mencampuri urusan rmah tangga anakku. Tapi sebagai ibu dari Budi, tentu aku kasihan dan tak tega anakku diperlakukan seperti itu. Yang aku rasa kehidupan rumah tangga mereka kelihatan bahagia, adem ayem, tapi gersang, tak ada pepohonan rindang yang menyejukkan. Seloga saja apa yang aku lihat dan aku rasa ini adalah salah. Mungkin akan kutemui di hari-hari yang akan datang kemesraan anakku dan istrinya, juga Nicholas dengan kedua orang tuanya. Semoga.

Tapi mau bagaimana lagi, aku hanya ibu mertuanya. Aku tidak ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga anakku, meski hanya sekedar menegurnya untuk beberapa menit saja menemani suami sebelum berangkat kerja. Evi tak pernah bertanya mau makan apa hari ini atau nanti siang makan dimana atau sekedar basa-basi memintaku memasakan makanan kesukaan suami dan anaknya. Rasa-rasanya menantuku itu tak pernah sekalipun memikirkannya. 

Bagi Evi mungkin ini hal yang biasa dan lumrah. Sebagai wanita karier dia lebih banyak terfokus pada kariernya daripada perannya sebagai ibu dan istri dalam kehidupan rumah tangganya. Pernah suatu ketika Nicho sakit, Budi papinya lah yang lebih banyak merawatnya ketimbang Evi, sebagai ibunya. Dan Nicho lebih dekat dengan papinya daripada maminya. 

“Tidak usah, Cho. Nanti Budhe akan jemput Oma setelah ngantar pesanan kue Bu Parjono. Budhe sudah janji kok.”

“Tapi Nicho pingin ngantar Oma. Boleh kan Oma? Sekalian mau ketemu Mas Yaya. Nicho sudah lama nggak ngobrol sama Mas Yaya sejak Mas Yaya magang. Mas Yaya pasti punya cerita lucu untuk Nicho.” 

“Kamu mau diajak mami ke Hypermart Cho. Nanti kamu capek.”

“Ke Hypermartnya kan sore, Oma. Nicho mau ketemu Mas Yaya dulu. Pingin ngobrol. Ayolah Oma, Nicho antar ya. Boleh kan, Mam?” kata Nicholas melirik maminya.

“Boleh. Tapi pulangnya jangan terlalu sore. Jam lima kita jalan. Jadi pulangnya nggak kemalaman. Mami juga mau mampir sebentar ke rumah temen Mami.”

“Atau Nicho nggak usah ikut ke Hypermart aja, ya Mam. Kan mami hanya belanja bulanan.”

“Iya..Mami mau ngajak kamu biar nggak suntuk seharian di rumah. Sekali-kali temeni Mami shoping Cho. Kita makan dan beli es cream kesukaanmu.”

“Iya, deh…Ntar Nicho balik jam limaan.”

“Sebelum jam lima Cho… Mami nggak mau kemalaman.”

“iya, iya ..Mam.”

bersambung…

Tinggalkan Balasan