Saling percaya dan menjaga (3)

KMAA#5

Pernikahan yang direstui oleh kedua orang tua, adalah yang aku inginkan. Hari-hari pertama yang kulalui bersama Mas Aro sangat menyenangkan. Meski kita tinggal di gubuk yang sederhana, tapi Alhamdulillah gubuk itu hasil keringat aku bekerja sebagai dosen di Akademi Analis Kesehatan Nusaputera selama 2 tahun. Meski uang yang kukumpulkan cukup untuk DP rumah, namun aku bahagia bisa menempati rumah sederhana milik kami. Meski letaknya jauh di pinggir kota namun semuanya itu aku syukuri karena sejak awal memang aku menyadari kita mampunya hanya kredit rumah yang sederhana dengan harga yang murah. Dengan suasana alam pedesaan yang masih alami, masih sepi, semakin menambah kebahagiaan kami, karena lingkungannya yang asri dan segar di daerah pegunungan.

Hari-hari terasa sangat menyenangkan dan membahagiakan. Kemana-mana kita selalu bersama, makan bersama, jalan-jalan berdua, bercanda berdua. Ah…rasanya dunia milik kita berdua. Mungkin inilah masa pacaran kami setelah menikah. Hari-hari kita lalui penuh kemesraan, lengket dan lengket. Tak banyak aktivitas yang kita lakukan, Sore hari setelah pulang kerja, kita duduk-duduk menikmati udara sore sambil ngobrol dan canda sana sini. Setelah sholat Isya, nonton TV sebentar lalu tidur. Mungkin masih pengantin baru ya. dan belum punya momongan, jadi kita nikmati aja masa pacaran ini sebelum nanti masa repot dengan urusan anak.

Hari-hari awal pernikahan aku banyak belajar, banyak menyesuaikan diri.  Belajar menjadi istri yang baik, yang menyenangkan suami. Dalam Al Qur’an juga dijelaskan surganya laki-laki adalah memiliki istri yang sholehah. Aku berusaha menjadi istri yang sholehah. Rutinitas pagi seperti menyediakan sarapan, membereskan rumah sebelum mengajar biasa aku lakukan. Apalagi sejak kecil orang tua sudah mengajarkan untuk mandiri dan membantu pekerjaan rumah. Kadang-kadang suami juga membantu aku. Mungkin tidak tega melihat aku sudah bekerja, masih harus meyelesaikan pekerjaan rumah. Atau, memang dia nggak punya kesibukan, jadi membantu tugas rumah, atau memang dia sayang padaku ya. Entahlah. He..he..aku yang kegeeran ya.

Mencuci dan menyeterika sudah menjadi kebiasaan baruku. Memasak  dan mencoba resep baru menjadi hobiku sekarang. Aku banyak belajar pada ibu bagaimana mengatur rumah dan mencoba resep masakan ibu. Ternyata suami suka masakanku, dan selalu memujiku karena masakan yang kumasak enak dan bervariasi katanya. Tentu ini aku anggap bukan pujian bohong memang kenyataannya resep masakan dari ibu memang pas. Ibu memang jago masak.

Kata orang tua, calon suami atau istri itu harus dilihat bibit bobot bebetnya. Bibit adalah garis keturunannya, dari mana dia berasal,  orang tua dan keluarganya bagaimana. Yang kedua bobotnya, kualitas diri baik jasmani dan rohaninya,  siapa dia, pendidikannya, apa pekerjaannya, apa pangkatnya. Bebet adalah cara berpakaian, artinya dari cara berpakaian atau penampilannya akan menunjukan kualitas dirinya dan status sosialnya. Apakah kriteria ini masih berlaku di zaman sekarang? Bagi aku kriteria itu tetap berlaku meski tidak semuanya aku setuju. Bukankah jodoh, rezeki, kematian dan kelahiran itu rahasia Allah? Bisakah kita menolak maut yang datang menemui kita atau bisakah kita minta jodoh yang kaya, ganteng, baik, punya pangkat tinggi, keturunan ningrat, tidak kan? Kita tidak bisa memilih, namun kita berusaha dan berdoa, semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita. Aku yakin, wanita sholehah akan berjodoh dengan laki-laki sholeh, orang baik akan dipertemukan dengan jodoh yang baik. Baik di mata manusia belum tentu baik di mata Allah, maka urusan jodoh aku pasrahkan sama Allah. Tiap malam dalam tahajudku, aku mengadu pada Allah semoga aku diberikannya laki-laki yang bisa menjadi imam bagi aku, bapak yang bertanggung jawab bagi anak-anakku, dan suami yang mengayomi, suami yang menjadi panutan dunia akhirat.

bersambung…

 

Tinggalkan Balasan