Ketika kampungku sudah jadi kota, sawah jadi perumahan dan bandara, tiba-tiba ingat lirik lagu Iwan Fals “Ujung Aspal Pondok Gede”.
Di kamar ini aku dilahirkan/ Di balai bambu buah tangan bapakku/
Di rumah ini aku dibesarkan/ Dibelai mesra lentik jari ibu/
Nama dusunku Ujung Aspal Pondok Gede/ Rimbun dan anggun ramah senyum penghuni dusun/ Kambing sembilan motor tiga bapak punya/ Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya/ Sampai saat tanah moyangku/ Tersentuh sebuah rencana/Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi/Terdengar langkah hewan bernyanyi/ Di depan masjid samping rumah wakil pak lurah/ Tempat dulu kami bermain mengisi cerahnya hari
Namun sebentar lagi angkuh tembok pabrik berdiri/ Satu per satu sahabat pergi dan takkan pernah kembali/ Sampai saat tanah moyangku/ Tersentuh sebuah rencana/ Dari serakahnya kota
Terlihat murung wajah pribumi /Terdengar langkah hewan bernyanyi
Lirik lagu Iwan Fals “Ujung Aspal Pondok Gede (Bekasi, pen)” di atas, saya kutip dari Musixmatch sebagai pembuka tulisan. Menurut saya cukup pas untuk menggambarkan terkait judul tulisan ini : “Ketika Kampung Sudah Jadi Kota, Sawah Jadi Perumahan dan Bandara”.
Dua lokasi ini sengaja saya jadikan “studi kasus” yakni Bekasi dan Makassar. Kenapa saya pilih dua daerah ini, karena dua alasan. Pertama, Makassar adalah kampung halaman tempat kelahiran. Kedua, Bekasi sebagai “kampung halaman kedua”, tempat beranak-bercucu di perantauan.
Kampung di Makassar
Saya jadi ingat ketika pulang kampung ke Makassar beberapa tahun lalu. Setelah hijerah ke Jakarta sejak 1980-an, hingga sekarang kampung saya di Sudiang, Biringkanaya pinggiran Utara “Kota Daeng” ini sudah jauh berubah.
Sawah sudah berganti perumahan, mal, stadion dan asrama haji, bahkan bandara baru yang menyulap lahan sawah jadi landasan pacu pesawat. Suara bising pun jadi makanan sehari-hari.
Setiap saat suara mesin pesawat terdengar saat “take off” atau “landing”. Apalagi kalau pesawat tempur Sukoy. Sekali terbang bisa tiga biji sekaligus. Bayi yang baru lahir, bisa stress karena kaget oleh deru mesin pesawat.
Sekarang petani sudah prihatin, panen yang biasanya dua kali, sekarang cuma sekali setahun sejak persawahan sudah berganti bandara baru. Menurut Daeng Sanre, penggarap sawah peninggalan kakek kami, setiap tahun petani sudah tidak bisa lagi mengumpulkan hasil panen seperti biasanya.
“Sawah sudah tidak bisa digarap lagi (tidak produktif lagi). Bahkan banyak sawah yang sudah seperti tidak bertuan. Petani sudah malas menggarapnya akibat tidak punya aliran air untuk mengairi sawah. Salurannya sudah jadi jalan (run way – landasan) pesawat.
“Ini mi Karaeng hasilna Lambere sawahta yang ada di dekat lapangan kappalaka (bandara, red) Karaeng”.
Istilah “Lapangan Kappala” atau nama lain sebutan bandara dalam bahasa Makassar. Sedang “Lambere”, adalah nama salah satu bidang sawah milik keluarga. Warisan leluhur kami itulah yang digarap oleh Daeng Sanre secara turun-temurun.
Sementara sekitar 2 hektar dari 7 hektar sawah milik kakek, selama ini dibebaskan karena terkena proyek perluasan bandara baru. Hasil panen dari sawah tersebut kemudian dibagi dua dengan petani penggarap setiap tahun. Bagi hasil, begitulah kira-kira…
Cerita petani dan penggarap sawah yang tergusur oleh pembangunan bandara internasional Sultan Hasanuddin itu, sudah saya tulis di blog dengan judul : Daeng Sanre, Wajah Sendu Petani Maros
Bukan hanya itu, sekarang pemukiman warga selain berada di luar pagar tembok bandara, juga sudah bertetangga dengan pekuburan umum. Pasalnya TPU (taman pemakaman umum) di tengah kota Makasar, sudah penuh dan tidak dipakai mengubur jenazah lagi. Pindah ke lahan baru di pinggir bandara baru.
Makin tidak nyamanlah suasana di tanah kelahiran saya. Selain suara pesawat, hampir setiap saat terusik juga oleh suara serine ambulan pengangkut jenazah yang mau dikubur. Makin lengkaplah suara berisik di sekitar kampung.
Suara deru mesin pesawat “berkolaborasi” dengan serine ambulan. Serem banget kan dengarnya? Anehnya, lama-lama warga sudah terbiasa. Saya sendiri yang kalau pulang kampung, harus belajar dengan susah payah untuk menyesuaikan diri. Tokh gagal. Tidur terganggu.
Saya jadi ingat cerita teman saya yang tinggal dekat bandara Cengkareng, Tangerang, Provinsi Banten. Atau yang rumahnya di sekitar bandara Halim Jakarta Timur dan Kemayoran Jakarta Pusat. Mereka juga merasakan apa yang dialami warga di kampung saya. Hidup dengan “nyanyian” deru pesawat terbang hehe…
Kampung di Bekasi
Atau ada juga cerita tetangga saya di Bekasi, yang pernah tinggal puluhan tahun di pinggir rel kereta api di Jakarta. “Orang yang tinggal dekat rel kereta itu rata-rata punya anak banyak,” katanya. Loh apa hubungannya ya antara suara kereta dengan produksi anak?
Katanya, awal pertama tinggal di pinggir rel, gak bisa tidur karena kebisingan suara kereta api. Lama-lama sudah terbiasa. Gampang tertidur meski kereta setiap saat melintas.
Yang belum “nyambung” dengan pikiran dan akal sehat saya, ya itu tadi. Apa hubungannya antara suara bising kereta dengan jumlah anak?
Ah ada-ada aja ya hahahaha….
Kembali ke cerita soal kampung halaman. Adakah perubahan sosial budaya dan pola hidup masyarakat seperti dilukiskan Iwan Fals di atas, juga terjadi di daerah Anda? Itulah yang terjadi, setidaknya di kampung saya.
Sahabat saya, Amin Idris –– di media sosial menggunakan nama Abu Bagus, bapaknya Bagus — juga merasakan “kehilangan” kampungnya di Bekasi. Itu baru dia sadari setelah wartawan senior ini melakukan napak tilas berdua isteri, jalan kaki keliling kampung. Sekali waktu naik motor. Capek jalan kaki rupanya hehe…
Diolahnya cerita perjalanannya itu dengan gaya bertutur dialek Betawinya kental dalam versi tulisan. Bahasanya ringan, lugas, kadang nakal, juga getir karena sentilannya. Ya, seolah kita membaca majalah Tempo: “enak dibaca dan perlu”.
Banyak kampung di Bekasi telah dicarinya. Dari ujung Selatan ke Utara, dari Timur ke Barat. Satu dari banyak nama kampung yang ditemukannya sudah “hilang” (loh, ditemukan tapi hilang? Bagaimana mendeskripsikan ya), adanya di Babelan, namanya Pulo Timaha. Nyaris seluruh lahannya sudah disulap menjadi perumahan :
Kata Abu Bagus, banyak cerita di balik nama kampung ini. Tentang kedigjayaan, orang Pulo kesohor sebagai orang yang jago “berantem”, tidak pernah takut “ngadepin” siapa aja. Lawan yang paling kondang ya orang Gabus. Pulo dan Gabus adalah musuh bebuyutan. Itu dulu.
Di Pulo juga banyak santri. Di sini ada masjid besar dan madrasahnya, Attaqwa. Melalui lembaga ini KH Noer Alie membina masyarakat Pulo Timaha sampai melahirkan banyak tokoh ulama, cerdik pandai.
Jejak dan eksistensinya masih nyata sampai hari ini melalui sebuah masjid dan madrasah Attaqwa. Selain perkampungan, wilayah Pulo mayoritas lahan persawahan. Maka penduduk kampung ini kebanyakan petani.
“Tapi wajah Pulo Timahanya hilang. Nama berganti menjadi Grand Guta. Klasternya Manhattan. Di tanah Kampung Pulo saya tidak menemukan secuilpun jejak Pulo Timaha, kampungnya para jagoan hebat,” tulis Abu Bagus. Sedih.
Ada Manhattan? Nama dari kampungnya Pak Biden. “Pantas dia takut-takuti kite. Katanya dalam 10 tahun, Jakarta akan tenggelam. Yang pasti perubahan akan terus terjadi. he..he..hee,” canda Baharuddin Aritonang, sahabat Abu Bagus yang “Orang Senayan” — mantan anggota DPR RI, mantan anggota BPK dan pensiunan Depkes itu.
Yang pasti, itulah yang saya rasakan sekarang ini. Merasa kehilangan kampung. Juga sahabat saya Abu Bagus, dan tentu Anda sekalian yang punya kampung tapi sudah “hilang”. Seperti lirik lagu Iwan Fals:
Nama dusunku Ujung Aspal Pondok Gede/ Rimbun dan anggun ramah senyum penghuni dusun/ Kambing sembilan motor tiga bapak punya/ Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya/ Sampai saat tanah moyangku/ Tersentuh sebuah rencana/Dari serakahnya kota…
Salam Literasi
#NurTerbit #KMAA 10 #Kampungku