Menunggu bukanlah sebuah pekerjaan tetapi sering kita mendengar kalimat,”Menunggu adalah pekerjaan membosankan.” Benar adanya, menunggu memang membosankan bahkan bisa menyakitkan hati. Begitu yang aku rasakan ketika aku menunggu suamiku untuk lepas dari masalah yang dihadapi.
Sakit, gelisah, benci, marah dan rasa ingin berontak saja mengetahui suamiku ada dalam masalah yang tidak pernah dilakukannya. Mengetahui suamiku tidak mampu berbuat apa-apa. Seperti dikelilingi tembok tebal yang tidak mampu didobrak. Tembok tidak berpintu sehingga tidak punya jalan keluar selain menerima keadaan.
Aku menunggu waktu yang lama untuk bisa keluar dari permasalahan yang dihadapi suamiku. Masalah yang harus aku selesaikan bersama.
Di tempat kerjaku, aku yang kelihatan kuat dan tegar, seolah tidak terjadi apa-apa. Itu karena profesionalitas dalam aku bekerja. Tiba di rumah, semua rasa timbul akibat masalah yang ditimpakan pada kami.
Pandanganku terus tertuju pada jam yang tergantung di dinding. Jarum jam seperti lama berputar. Rumahku yang di dalamnya dihiasi dengan kalimat,”Hasbunallah Wanikmla Wakil.” membuat bola mataku terasa perih. Bulir-bulir bening bercucuran. Aku menangis. Mengapa, Ya Allah?
Aku menunggu suamiku setiap hari sampai malam bahkan bisa larut malam. Ia berjuang membuktikan dirinya tidak bersalah, tetapi tetap saja mereka lebih kuat. Waktu 17 tahun yang lalu bukanlah sesuatu yang mudah untuk mendapatkan selembar kertas berukuran buku saku….Ya Allah……
Jam ini sebentar-sebentar ku pandangi. Sudah jam sekian, suamiku belum pulang. Sedang apakah ia di sana? Aku memusatkan pendengaranku, apakah ada suara sepeda motor membuka gerbang rumahku. Aku keluar masuk rumah terus menunggu suamiku. Aku tidak bosan menunggu sampai kapan pun.
Ku gigit bibirku menahan tangisku,..