iptang yugikBagiku”Tangis itu, membuatku menangis, membuatku kuat. Tangis ayahku yang bertanya,”Di mana kamu berada, Nak? Jangan ke mana-mana. Ayah akan selalu ada untukmu, Nak.”
Cobaan hidup yang ku hadapi di usiaku yang sudah setengah abad, di usia pernikahanku yang sudah hampir kepala tiga seakan membuatku tak mampu berdiri tegak. Keluh wanita, yang tampak kian lesu saja duduk di meja kerjanya. Wajahnya yang kian kuyu, matanya sembab dan memerah. Rupaya ia baru saja menangis. Ia tidak menyesali takdir yang membawanya menemui cobaan hidupnya.
Ia menangis mengingat apa yang dialaminya sehari sebelumnya. Ketika itu ia ingin membantu suaminya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Permasalahan yang ditimpakan pada suaminya dan berdampak besar kepada seluruh keluarganya
Langit dirasakannya gelap menyeluruh, Seakan kabut gelap menghimpit bumi. Bumi yang dipijaknya serasa goyang. Raganya seakan tak bertulang. Lemah lunglai dirasakannya. Berita yang diterima membuatnya tak mampu berdiri. Suaminya yang sudah purnatugas dua tahun lamanya. Apa yang ia lakukan selama hidupnya seakan tak ada gunanya. Lepaslah seluruh angan, asa dan harapan hidupnya. Tak pernah ia rasakan cobaan hidup yang sebarat ini.
“Mas, besok aku pergi ya, aku sudah ditelepon oleh teman kerja mas, Katanya, Aku disuruh datang saja ke kantor. Pasti ada jalan keluar dari permasalahan ini. Bicara saja dengan hati. Ini semata-mata bukan kesalahan Mas, kata temannya itu.”
Begitu yang aku sampaikan pada suamiku. Aku yakin bahwa apa yang disarankan teman kerja sumaiku itu akan benar adanya. Aku tak menaruh curiga sedikit pun pada orang itu. Aku yakin orang ini baik dan tak bermaksud jelek kepadaku.
Suamiku yang sudah tahu seluk beluk kantor tidak mengizinkanku untuk pergi. Ia khawatir dengan apa yang akan mereka lakukan padaku nanti. Suamiku tidak yakin mereka akan mengubah keputusannya. Ini semua sudah rencana mereka. ” Aku sudah tidak di sana lagi. Dua tahun aku sudah purnatugas. APa yang bisa aku perbuat ketika aku sudah tidak di sana.” begitu ucap suamiku.
“Jangan pergi, tak ada gunanya. Sudah banyak yang kita lakukan, namun tidak ada artinya. Alih-alih akan dibantu, saya khawatir justru akan dijebak nanti.” ucap suamiki.
Mendengar ucapan suamiku, aku tidak menghiraukannya. Aku tetap dengan keyakinanku. BaTerpenting aku jalani usaha atau ihktiar ini. Semoga Allah SWT mengetuk hati mereka yang mezolimi suamiku. Begitu kekuatan keyakinanku. Aku tambah memberikan alasan mengapa aku harus pergi. Aku ingin membantu suamiku. Aku yakin, Teman suamiku yang satu ini orangnya tulus dan tidak bermaksud menjebak seperti apa yang ditakutkan suamiku. Aku ingin melakukan sesuatu untuk suamiku demi untuk keluargaku. Suamiku yang tampak semakin melemah karena permasalahan yang ditimpakan padanya. Sesuatu yang tidak dilakukannya. Aku tahu itu.
Aku memohon kepada suamiku untuk mengizinkanku pergi, Aku hanya minta pada suamiku untuk diam di rumah dan berdoa. Jam sembilan pagi, aku akan berangkat ke eks kantor suamiku. Kantor yang membuat suamiku sebagai pelayan di sebuah toko.
“Mas, besok jam sembilan pagi, aku akan berangkat ke kantor.” Aku ingin memenuhi arahan teman mas itu. Sepertinya ia orang tulus,” ucapaku. Teman suamiku itu saat itu masih aktif bekerja di kantor. Ia termasuk teman lama sumaiku saat bekerja. Bawahan di kantor bapak ketika itu.
“Saat aku berangkat nanti, mas jangan ke mana-mana, duduk saja di sajadah. Mas sholat dan berdoa. Semoga semua ada jalan keluarnya.” ucapku mengharapkan suamiku memberikan ia izin untuk pergi ke kantor.
Sesekali aku yang duduk di ruang kerja mengusap bulir-bulir bening yang berjatuhan dari sudut mataku. Ujung jilbabku tampak basah kejatuhan air mataku mengingat semua yang di alami suamiku.
Aku keluar dari ruang kerjan menuju tempat parkir motor. Aku mengambil kunci motornya yang ku letakkan dalam ransel. Sambil menuju tempat parkir, aku melewati ruang guru untuk minta izin kepada rekan kerjaku. Aku hanya mengatakan bahwa aku akan pergi ke kantor bapak. Tak ku sampaikan sedikit pun tentang permasalahan yang aku hadapi. Aku bekerja seperti biasa namun tangisku setiap hari di ruang kerjaku. Aku tidak pernah meninggalkan tugas meskipun permasalahan besar aku hadapi. AKu hanya menyampaikan tujuanku yakni pergi ke kantor bapak.
Vario merah yang menemaniku sejak 15 tahun lalu , masih selalu setia menghantarkanku menuju kantor suamku. Segala perasaan bercampur aduk. Perasaan sedih, kecewa dan penuh harap agar masalah yang dihadapi suamiku bisa terselesaikan, diberikan kemudahan, kelonggaran dan keringanan.
Aku berrharap diberikan keringanan karena masalah yang ditimpakan kepada suamiku sudah diputuskan. Segala bantahan, penolakan dan pembelaan tak dapat diterima. Akhirnya hanya memohon keringanan dengan jalan mengetuk hati para penuntut. Hanya aku, anak-anakku, orang tuaku, keluarga besarku dan Allah SWT yang mengetahui bahwa suamiku tidak bersalah.
Vario merah akhinya sampai ke eks kantor suamiku. Hatiku bergemuruh, mataku rasa peruh, lututku terasa lemas memasuki eks ruang kantor suamiku. Darahku rasanya mendidih melihat semua teman kerja suamiku yang berdiam diri dan tega memfitnah suamiku seperti ini. Aku tidak menyalami semua karyawan kantor itu. Aku hanya diam memasuki ruangan kecil yang pernah aku masuki sebelumnya bersama suamiku. Aku duduk di dalam ruangan yang berukuran kurang lebih 1,5 meter x 2 m. Ruangan sempit yang hanya bisa menampung 4 atau 5 kursi saja. Ruangan tanpa kipas angin apalagi AC.
AKu duduk di kursi plastik berwarna biru dengan pikiranku yang berkecamuk dan degub jantung yang berdetak semakin kencang. Aku . Aku memeluk tas ransel itu kuat-kuat untuk mengurangi kegelisahan hatiku. Aku menggigit bibirku untuk menahan tangisku yang akan keluar. Aku langitkan doa pada Illahi Rabbi agar aku selalu dalam lindunganNya. Pikiranku melayang ke sana ke mari. Air mataku mulai tak bisa ku tahan, mengalir menetes ke tas ranselku. .
Aku membanyangkan suamiku yang berada di atas sajadah dengan muka yang masih pucat. Sejak masalah menimpa, kondisi kesehatan suaminya terus menurun. Tubuhnya kurus kering. Mukanya pucat. Tatapannya sayu. Hidup seakan tak bersemangat lagi. Mengingat itu,….Aku menangis.
Aku juga membayangkan suamiku yang berada di ruangan ini dari jam 08.000 pagi sampa malam. Betapa tersiksanya suamiku saat itu.
Handphone di ranselku berdering. Tangisku terhenti. Aku mengambil sarung tangan untuk ku gunakan mengusap sisa-sisa air mataku. Aku berusaha tidak ketahuan menangis ketika menjawab telepon. Aku tahu bahwa yang menelpon itu adalah ayahku. Ayah yang selalu ada untukku bagaimapun keadaanku. Aku menjawab telepon ayahku seakan tidak terjadi apa. Aku ingin membuat ayahku tennag denga suaraku yang terdengar biasa-biasa saja. AKu tidak mau ayahku tahu bahwa aku sedang berada dalam ruang yang kecil, panas dan dibiarkan duduk berlama-lama menunggu orang yang hendak ku temui.
Suara di ujung telepon terdengar justru terdengar parau. Rupanya suara itu disertai tangis. Dadaku serasa sesak mendengar suara itu. Suara itu adalah suara ayahku. Suaranya terbata-bata. Aku tidak pernah melihatnya atau mendengarnya menangis karena aku.
“Di mana kamu, Nak!” Kamu jangan ke mana-mana, Nak! Pulang ke rumah, ya!”kata-kata ayahku terus saja sampai aku tak punya kesempatan untuk menjawabnya.
Ayahku rupanya khawatir jika karena masalah itu, aku tidak pulang ke rumah.
Ayah, ” Aku berada di ruangan, menunggu orang yang akan aku temui. Aku sendiri di sini. Mas, menunggu di rumah.”
Tangis ayahku semakin menjadi-jadi ketika aku mengatakan bahwa aku sendiri di sini.
Ruangan kecil itu menjadi saksi, bahwa aku pernah ada di ruangan itu demi memperjuangkan keluargaku. Segala caci maki, hujatan, pengihanan dan penzoliman aku terima di sana. Ruangan yang merupakan bagian dari ruangan kerja suamiku sebelum purnatugas, dua tahun sebelumnya.
Bagaimana caci maki mereka? ……
Lombok, 11 Ferbruari 2022