Ramadhan yang Berbeda

Terbaru19 Dilihat

“Ramadhan yang berbeda,” begitu judul tulisan yang mengisahkan tentang Ramadhan di tahun 1444 Hijriah bertepatan dengan tahun 2023 Masehi yang akan aku jalani.

مَنْ فَرِحَ بِدُخُولِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلىَ النِّيْرَانِ

”Siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.”

Apakah aku bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan?
Tentu saja jawabannya,”Ya.”
Banyak hal yang membuatku gembira. Banyak hal baik yang tidak aku lakukan di luar bulan Ramadhan tetapi pada bulan Ramadhan hal baik itu aku bisa aku lakukan. Baik dalam hal beribadah, kebersamaan dengan keluarga, kegiatan sosial maupun dalam hal makanan. Aku ambil contoh dalam waktu-waktu bersama keluarga. Sebelum Ramadhan, makan bersama jarang sekali dilakukan, tetapi pada bulan Ramadhan, makan bersama sangat dinanti. Menu makan yang aku suguhkan untuk keluarga juga berbeda dengan menu di luar bulan Ramadhan. Menu lebih variatif dan cendrung lebih enak dibandigkan dengan menu di luar bulan Ramadhan.

Ada yang lain pada Ramdahan tahun ini yang membuat Ramadhan yang aku rasakan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ini yang membuat kebahagiaanku sedikit tercabik. Orang terkasih ibuku telah tidak ada lagi di samping ibu pada Ramadhan tahun ini. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasan ibuku Ramadhan ini. Ini adalah Ramadhan pertama kami tanpa ayah.

Biasanya ibuku menjalani semua berdua bersama ayahku. Menyiapkan buka puasa, tarawih dan sahur selalu bersama. Tapi tahun ini, ibuku menjalani semua sendiri. ……..Sekarang ibuku sendiri…

Sehari sebelum Ramadhan, ada cara rowah (bahasa sasak yang artinya syukuran) yang di adakan di kampung kediaman ayahku. Ayah selalu meminta kami (anak-anak) yang sudah tidak tinggal lagi di kampung untuk pulang pada acara rowah tersebut.

Ada banyak makanan yang disajikan. Makanan disusun dalam nampan berisi nasi dan lauk aneka macam. Nasi yang disiapkan diperkirakan cukup untuk 2 atau 3 orang. Nasi ditempatkan di tengah-tengah diatur mirip nasi tumpeng tapi berbentuk gunung tidak seperti kerucut nasi tumpeng. Lalu nasi yang sudah diatur bentuknya itu ditutupi daun. Semua jenis lauk yang sudah disiapkan pada masing-masing piring diletakkan mengelilingi atau melingkar di atas nasi sesuai bentuk nampan yang bundar. Suguhan yang dibuat dalam wadah nampan berbentuk bundar ini disebut dulang (dulang).

Dulang yang sudah siap diantar ke masjid jika rowahnya dilaksanakan di masjid.. Jika rowah di rumah maka dulangnya cukup untuk keluarga saja. Dulang yang dibawa ke masjid boleh dinikmati atau disantap oleh siapa saja yang kebetulan ada di dekat dulang tersebut setelah doa bersama. Pada pelaksanan rowah, orang-orang yang ikut rowah duduk berbentuk melingkar, dulangnya diletakkan di depan orang-orang yang rowah dengan memperkirakan jarak 2 atau 3 orang. Satu dulang disantap atau dinikmati oleh 2 atau 3 orang. Dulang yang disantap atau dinikmati boleh dulang milik siapa saja yang ada di depannya. Dulang milik sendiri boleh disantap sendiri jika ada di depannya. Tidak ada aturan boleh pilih-pilih dulang.
Setelah selesai doa, barulah dulang disantap atau dinikmati. Selanjutnya ibu-ibu akan datang mengambil dulangnya kembali setelah selesai rowah. Bisa jadi dulangnya disantap habis tanpa sisa, bisa jadi pula makanan dalam dulang tersisa banyak.

Biasanya, kami menunggu dulang yang diantar ke masjid di bawa pulang setelah selesai rowah. Ini artinya dulang ini sudah disantap oleh orang lain atau bisa saja oleh ayahku dan keluarga.
Apakah ini makanan sisa?
Ya, ini makanan sisa. Tetapi ada saja isi dulang berupa nasi dan lauk yang tidak habis bahkan tidak disentuh. Mungkin karena banyak macam lauknya atau karena dulang yang dibawa ke masjid berlebihan. Mengapa bisa berlebihan? Sebabnya karena banyak yang hanya sekedar mengantar dulang tetapi tidak ikut rowah. Sehingga besar kemungkinan ada orang yang menikmati dulangnya sendiri. Ayah dan adikku termasuk orang yang sering mengalaminya. Menikmati dulang yang dibawa sendiri.
Rowah di kampungku sehari sebelum puasa dinamakan rowah meresinan. Rowah ini aku tunggu-tunggu setiap Ramadan. Ayahku selalu mengingatkanku tentang rowah meresinan.

Namun tidak kali ini. Tidak ada lagi yang menelponku untuk rowah mersinan. Tidak ada lagi dulang rowah meresinan yang ku tunggu. Tidak ada lagi ramai-ramai membuka dulang rowah yang dibawa pulang dari masjid.
Ayahku sudah tidak ada………Ayahku sudah menghadap Illahi Rabbi. Ini Ramadhan pertama tanpa ayahku. Ramadhan yang terasa berbeda. Ada bulir bening setiap kali mengingat ayah….

Tinggalkan Balasan