Tentang Diri Dengan Rasa Berbeda

Terbaru24 Dilihat

Oleh Nuraini Ahwan

Tentang diri, dalam dua kisah di tahun 2018 dan tahun 2020.

Tahun 2018, ketika terjadi gempa bumi Lombok dan Sumbawa, saya boleh dikatakan sosok pemberani (ukuran sendiri tanpa membandingkan dengan orang lain, atau ukuran untuk seorang wanita). Kondisi Lombok di pagi hari sunyi mencekam setelah semalaman diguncang gempa bumi tanpa henti.

Di pagi dengan kondisi seperti itu, memberanikan diri ke sekolah, menyusuri ruang demi ruang yang sunyi sepi. Dengan menenteng kamera layaknya seorang fotografer handal. Mengambil gambar dari sudut satu ke sudut lainnya. Sehingga terekam semua kondisi bangunan sekolah. Dari kndisi yang masih utuh sampai pada kondisi terdampak gempa. Terutama yang dikhawatirkan sekali adalah gedung bertingkat yang baru saja selesai dibangun. Tampak retakan di beberapa titik. Beruntung sekolah tidak berada di jalur gempa seperti rumah yang saya tempati. Rumah yang berguguran atapnya layaknya hujan turun atau seperti rontoknya dedaunan di musim gugur.

Sebelum berangkat, anak di rumah tampak keberatan dengan mengatakan, “Murid ibu saja yang ibu perhatikan, Bagaimana kita yang di rumah kalau ada gempa? Sekolah saja yang ibu perhatikan, lihat rumah kita saja hancur seperti ini! Perkataan anak saat itu tidak saya indahkan. Saya tetap meninggalkan rumah dengan mengendari si pink, motor vario yang selalu menemani sejak sebelas tahun yang lalu.

Keberanian melangkah di tengah goncangan yang terus saja terjadi dengan intensitas sampai ribuan kali getaran saat itu, didorong oleh motivasi diri untuk melihat bagaimana kondisi rumah kedua saya. Rumah kedua juga bagi seluruh peserta didik, generasi emas bangsa ini.

Ketika melihat peserta didik  tidak ada yang berani masuk sekolah meskipun kondisi sudah dinyatakan aman membuat saya kala itu berkeliling dari satu tempat pengungsian ke tempat pengungsian yang lainnya. Berbekal makanan ringan, snak, permen dan mainan anak-anak untuk sekedar mengunpulkan mereka di tempat pengungsian. Menghibur mereka untuk sekedar menghilangkan sedikit trauma mereka akibat gempa. Sedih mendengar cerita mereka.

Berjuang mengajak peserta didik  untuk kembali ke sekolah dengan tidak ada rasa takut memang dirasakan sangat berat. Berkeliling dari kampung yang satu ke kampung yang lain. Dari pengungsian yang satu ke pengungsian yang lain. Semua dilakukan dengan tujuan menguatkan hati dan keberanian peserta didik. Menghilangkan trauma mereka terhadap kejadian gempa bumi Lombok dan Sumbawa

Tidak sekali, dua kali bahkan berkali kali mencari mereka ke pengungsian. Memberikan pengertian kepada orang tua agar putra putrinya diijinkan untuk sekolah.

Apa bedanya dengan masa pandemi?

Bencana gempa bisa dirasakan sehingga kita bisa mencari tempat yang aman. Bedanya dengan si corona. Kita tidak bisa berlari, karena kita tidak melihatnya dan tidak pula  merasakannya (semoga tidak)
Di depan guru, saya tampak paling berani ketika awal mulai masuk pasca gema.  Ketika teman masuk kelas mengajar berapa saja peserta didik yang berani masuk, ibu-ibu guru membuka sepatu, ibu guru tidak berani memakai rok ketika hendak mengajar, mereka memakai celana panjang. Kata mereka supaya gampang berlari kalau ada gempa.

Sayalah yang sepertinya paling berani saat itu. Saya katakan pada semua guru bahwa  guru tidak boleh tunjukkan rasa takut  pada peserta didik. Kalau guru saja takut, bagaimana dengan peserta didik kita?
Wah…..saya berlagak seperti pemberani saja, padahal takutnya juga luar biasa. Seng berbunyi saya mengira gempa yang datang. Getaran mobil yang lewat juga saya kira gempa. Tak jarang saya berdiri dan hendak berlari ketika kendaraan puso melintas di depan sekolah.

Tidak dengan tahun ini, ketika wabah corona virus disease 19 (covid 19) melanda negeri.

Saya tidak memiliki keberanian lebih untuk berkunjung ke rumah peserta didik, dari kampung ke kampung asal peserta didik. Saya tidak memiliki kepercayaan diri lebih untuk meminta teman guru mengunjungi peserta didik di rumahnya. Mungkin saya adalah seorang yang penakut, meskipun protokol kesehatan sudah dipatuhi.

Aturan sosial distanching, psyical distancing dan aturan aturan lainnya yang saya pikirkan. Bayangan pasien covid dan pemakaman yang begitu ngeri yang saya pikirkan.
Apakah ini takut yang berlebihan?
Apalagi ketika di sekitar sekolah ada yang positif covid 19, dengan suasana yang mencekam. Setiap gang ditutup dan pemasangan portal yang kokoh. Ada gang yang ditutup mati dengan tulisan besar”Kampung kami, RT kami tidak menerima tamu”

Meminta teman untuk  berkunjung ke rumah peserta didik juga membutuhkan pemikiran yang matang. Ada keraguan dengan munculnya kalimat ini dalam pemikiran, “Jangan..jangan……..!”
Jangan-jangan nanti kalau guru ke sana orang tua tidak terima. Jangan-jangan balik dari sana guru-guru ierpapar juga..Jangan-jangan ada orang tanpa gejala atau OTG. Lalu salah siapa?.

Orang pasti akan mengatakan.”Salah  yang menyuruh….?
Inilah tentang diri di saat bencana gempa bumi Lombok dan di saat covid 19.
Diri yang sama, rasa yang berbeda

Jadi tingkat ketakutan saya di dua kejadian ini berbeda. Di saat bencana gempa bumi, saya masih bisa berbuat di sela -sela rasa takut, tetapi ketika wabah corona ini, ibarat perang dengan musuh yang tak kelihatan. Ketakutan saya melebihi ketika gempa dulu.

Di masa pandemi covid 19 ini, saya tidak bisa berbuat lebih untuk tugas selain mengandalkan daring, memberdayakan yang ada, memaksimalkan kegiatan dan meminimalisir kekurangan. Menjalin kerjasama yang lebih dengan orang tua meskipun tak bisa bertatap pandang secara langsung. Meminta wali murid/peserta didik untuk berbagi, tolong menolong dan gotong royong dengan wali murid/peserta didik yang tidak bisa mengakses pelajaran karena tidak memiliki handphone android. Saya sebatas menggunakan aplikasi whatshap grup kelas.

Kisah tentang diri, saya tuliskan untuk melukiskan inilah diri ketika dihadapkan pada pilihan antara tugas dan melawan rasa takut. Antara tugas dan keselamatan baik diri maupun rekan kerja. Keselamatan diri untuk melindungi keluarga. Keselamatan diri untuk keselamatan pendidik dan peserta didik

Tinggalkan Balasan