Senin dua Agustus 2021 adalah jadwal keberangkatan kami menuju Palembang. Semua keperluan sudah saya siapkan satu hari menjelang keberangkatan. Subuh sebelum berangkat, saya bangun lebih awal. Saya bangun jam satu dini hari. Saya kembali memeriksa pemberkasan yang dibutuhkan untuk keperluan nantinya.
Saya juga memastikan kebutuhan suami selama perjalanan.
Setelah subuh kami berangkat bersama abang tertua dan juga ditemani abak. Waktu yang ditempuh menuju pelabuhan lebih kurang tiga jam. Perjalanan yang melelahkan, terutama bagi suami. Untuk kesembuhan, selagi kami mampu, kuat, serta sanggup akan kami hadapi rintangan itu. Sebenarnya saya masih takut akan kartu vaksin yang belum dimiliki suami tapi suami dengan rasa optimis mengatakan tidak apa-apa semoga di pelabuhan diberi kemudahan.
Kebetulan dua hari sebelum keberangkatan, beliau sempat membaca berita di FB bahwa bapak Erzaldi Gubernur Bangka Belitung meminta petugas pelabuhan semakin ketat melakukan pemeriksaan vaksin dan swab terhadap penumpang yang akan bepergian sehingga di pelabuhan ditugaskan beberapa orang Tim Satgas Covid-19.
MyMelihat kondisi seperti itu, beliau pun memberikan pertanyaan di kolom komentar, “Jikalau yang ingin berangkat tujuan berobat, bagaimana?” Salah satu petugas di pelabuhan mengomentari pertanyaan beliau, “Ada ketentuan yang diizinkan dan tidak diizinkan”. Jawaban yang diberikan menghilangkan rasa cemas saya, sehingga saya tidak merasa terbebani.
Ketika memasuki gerbang pelabuhan, Mobil diminta berhenti dan saya pun turun sementara suami masih menunggu di dalam mobil. Saya pun langsung menemui petugas Satgas dan menunjukkan bukti telah divaksin. Sementara untuk suami saya menunjukkan surat rujukan untuk melakukan kemoterapi. Setelah memeriksa dengan seksama, petugas pun memberikan saya instruksi untuk melakukan Swab antigen dan hasil swabnya nanti dibawa kembali dan ditunjukkan kepada beliau untuk pengesahan.
Saya pun melangkah menuju lokasi swab yang kebetulan suami sudah duluan berada di sana. Abak bersama abang dengan sabar menunggu tiap proses yang kami jalani. Saya menyerahkan KTP untuk keperluan pengisian data dan menunjukkan surat rujukan atas nama suami. Saya dan suami diswab secara bergiliran, selanjutnya kami mesti menunggu lebih kurang 15 menit untuk mendapatkan hasilnya.
Setelah mendapatkan hasil, saya bergegas berjalan menuju meja petugas Satgas Covid-19 di dekat gerbang utama. Saya menyerahkan hasil swab dan dicap oleh petugas. Setelah selesai saya kembali menuju dimana suami beserta keluarga berkumpul.
Setelah bergabung bersama mereka, saya berhenti sesaat dan kemudian melanjutkan membeli tiket kapal. Saya menghampiri loket tanpa bertanya apakah loket yang saya tuju adalah loket Express Bahari. Ketika sampai di loket, saya melihat petugas masih di luar karena ruangannya sedang dibersihkan. Sambil menunggu saya melihat Kiri kanan, terdengarlah suara suami berteriak, “Tanya dulu benarkah di situ loket nya”
Saya masih cuek dan kembali memesan tiket ketika petugas telah masuk. Saya menyerahkan KTP dan didaftarkanlah kami sebagai penumpang. Saya sangat kaget ketika petugas mengatakan jumlah nominal nya, “Delapan puluh ribu?” saya berguman. “Jam berapa kapal nya berangkat?” Saya kembali bertanya. Petugas pun menjawab, “Jam 10.00”
Merasa ada yang tidak beres dengan harga tiket, saya pun kembali bertanya, “Maaf bang ini loket Express Bahari ya? Petugas pun menjawab, “Bukan bu, ini khusus tiket ferry.” Kemudian saya meminta maaf, dan mengatakan saya salah tempat. Saya pun kembali berkata, “Apakah boleh saya membatalkan tiket tersebut?” Dengan sopan beliau menjawab, “Boleh, bu”
Sesuai arahan petugas tadi saya menyusuri jalan kecil menuju kantor Express Bahari. Tak lama kemudian suami pun menyusul. Saya ditemani abang mencari kantor tempat penjualan tiket. Setelah menyusuri beberapa tempat, akhirnya ketemu. Saya pun memesan dua tiket VIP karena ingin suami merasa nyaman. Ketika selesai, saya pun kembali berkumpul di ruang tunggu pelabuhan. Karena masih pagi, jadi ruangan tersebut sangat sepi sehingga Kami leluasa beristirahat. Untuk mengganjal perut, kami makan roti yang dibawa sebagai bekal. Tapi suami tidak makan seperti kami, beliau pun hanya minum susu nutrisi.
Menjelang jam sebelas, abang dan abak akhirnya nya pamit dan meninggalkan pelabuhan serta kembali meneruskan perjalanan menuju sekolah sang abang. Setelah pulang dari sana, mereka langsung menuju desa Sangku tempat dimana mereka mengambil pemesanan buah duku, selanjutnya mereka kembali menuju Pangkalpinang.
Sambil menunggu jam satu, suami beristirahat mencoba memejamkan mata untuk menghilangkan penat dan lelah, sementara saya mulai hanyut dalam tiap tulisan yang dihasilkan. Ini adalah perlayaran pertama saya setelah sekian tahun. Rasanya banyak yang berbeda sehingga saya sempat kebingungan. Tiada disangka saya akan berangkat bersama suami dalam situasi seperti ini.
Jika disadari, memang ini moment langka. Kami jarang sekali berpergian bersama dan suami sudah lama sekali tidak pulang kampung. Ketika hari kelulusan pasca sarjana pun kami juga tidak pulang bersama tahun 2017. Beliau pulang membawa si sulung yang masih kecil bersama anggota keluarga lain, sementara saya masih di Padang menyelesaikan semua urusan. Saya pun mencoba mengingat, dimana kami pernah satu ruangan dalam melakukan perjalanan jauh. “Rasanya memang belum”
Ya, Inilah kali pertama kami berpergian bersama-sama setelah dikarunia tiga anak. Tuhan memang punya cara untuk hambanya meskipun dalam situasi yang berbeda. Waktu serasa lambat berputar sehingga membuat kami tenggelam dengan keasyikan masing-masing. Meskipun sangat lelah, suami berusaha untuk sabar. Yang ingin dilakukan suami adalah berbaring dan beristirahat dengan tenang. Karena kita berada di sini, terpaksalah dienak-enakkan.
Makin siang, penumpang pun makin ramai hingga suasana ruang tunggu pun berubah menjadi sesak. Saya menoleh sekeliling terlihatlah mereka-mereka yang asik dengan aktivitas masing-masing. Anak-anak berlarian kesana kemari, petugas silih berganti berlalu lalang. Suasana menjadi sangat ramai sehingga sulit untuk beristirahat.
Ketika kami asik mengobrol, datang lah seorang gadis keturunan duduk di belakang tidak jauh dari kami. Karena jarak nya yang dekat membuat kami mendengar pembicaraan mereka. Kami sempat penasaran ketika dia menyebutkan kalau dia tinggal di rumah singgah.
Suami sempat mencolek saya untuk menanyakan keberadaan rumah singgah tersebut. Tapi saya mengatakan tunggu sampai dia selesai mengobrol.
Ketika dia sendiri, suami memulai pembicaraan dan menanyakan perihal rumah singgah. Kami pun menanyakan secara detail bagaimana cara mengurus nya. Setelah berbasa-basi tentang seputaran tujuan ke Palembang serta penyakit yang dialami, kami pun berhenti bercerita ketika ada hal lain yang mesti dilakukan. Tuhan Maha Adil Maha Tahu Segala nya. Lagi dan lagi, kami diberikan petunjuk penting untuk tujuan keberangkatan kami.