Menjadi MC pada pesta hajatan bagi Manto bukan pekerjaan profesional yang menghasilkan uang. Itu dilakukan sebagai wujud partisipasi sebagai tetangga, rewang (istilah Jawa perantauan untuk kata membantu tetngga hajatan). Seperti hari Minggu ini, dengan berbaju batik ia naik ke panggung. Menyapa hadirin dan membawakan acara resepsi dari pembukaan hingga paripurna, makan siang. Jadi, meskipun bekerja, ia tetap membawa sebuah amplop berisi rupiah sebagai tanda ikut bersuka cita.
Selesai acara resmi, tiba giliran para tamu undangan makan siang. Sebelum azan dzhuhur, hiburan organ tunggal pun berkumandang. Mereka menghibur tuan rumah, panitia, dan tetamu yang menikmati hidangan. Sudah kebiasaan, sebelum turun, Manto menyanyikan lagu kesayangan. Lagu langgam jawa berjudul “Wuyung” ia nyanyikan untuk mengiringi tamu yang menikmati hidangan. “Agar mengunyah makanannya tidak terburu-buru. Coba diiringi musik remix, saya takut mereka tersedak,” katanya berseloroh. Sebelum Manto menyerahkan mikrofon kepada MC hiburan, catatan acara ia lipat dan menyimpannya di kantong celana. Setelah turun dari panggung, ia bergegas menemui tuan rumah dan memasukkan amplop terlipat itu ke kotak yang disediakan. Ia tidak mau kejadian bulan lalu terulang. Akibat asyik mengatur acara di panggung hiburan, ia langsung pulang setelah berpamitan kepada tuan hajatan. Alhasil, amplop sumbangan lupa diberikan.
“Mas, kok amplopnya dibawa pulang?” tanya istrinya dari luar kamar mandi. Mana mungkin? Turun dari panggung Manto langsung mengisi kotak sumbangan. Ia takut kelupaan, malu, seperti bulan lalu. “Kertas susunan acara masih ada di kantong kanan celana?” teriak Manto dari kamar mandi. “Kosong, Mas!” Sabun yang membasahi badan seperti berhenti mengalir. “Lalu, yang masuk kotak tadi kertas apa?”
#Pentigraf