MALU, Kalahkan Minder Menulis

Terbaru73 Dilihat

Kata minder itu bukan dari kata mind (pikiran) ditambar -er seperti pada kata worker, writer, atau reader. Minder itu bentuk adjektiva (kata yang menjelaskan nomina atau pronomina) dalam ragam cakapan yang berarti rendah diri. Rendah diri secara harfiah bermakna merasa diri kurang.

Pernah ‘kan merasa diri kurang? Merasa kurang pandai, merasa kurang cantik, merasa miliknya lebih jelek, dan sebagainya. Pokoknya menganggap diri lebih rendah, lebih tidak pantas ketimbang orang lain. Saya pernah, bahkan kadang perasaan itu kerap kali muncul.

Jika ditanya, enak nggak sih punya rasa minder? Saya pasti akan menjawab tidak enak. Sangat tidak enak, bahkan. Namanya juga merasa serba kurang. Jadi, ketika tampil di hadapan orang lain tidak percaya diri, kikuk. Akhirnya, jika sendirian bisa mengerjakan sesuatu dengan penuh percaya diri, ketika bekerja di hadapan orang lain menjadi canggung dan akhirnya ragu-ragu melakukan sesuatu.

Minder bisa melanda diri dalam banyak hal, termasuk menulis. Merasa tulisan kurang bagus, khawatir tidak ada yang membaca, dan berbagai bentuk kekhawatiran yang ada. Oleh karena itu, motivasi dari para senior, sebut saja Prof. Eko Indrajit, Mr. Emcho (Much. Khoiri), Omjay, Pak Thamrin Dahlan, atau Bu Sri “Kanjeng” Sugiastuti sungguh sangat berarti.

Belajar pada Usia yang Tidak Muda

Ketika masuk kelas menulis, berkenalan dengan dunia tulis-menulis, penerbitan, dan pernak-pernik literasi, usia saya sudah tidak muda lagi. Beberapa bulan setelah saya belajar dengan para senior pada bulan Agustus 2020, usia sudah menjelang setengah abad. Usia lima puluh baru mulai belajar menulis adalah satu poin penambah rasa minder.

Jika tidak karena para tokoh yang saya tahu pernah memberi motivasi secara tidak langsung melalui grup menulis seperti yang saya sebut di atas, tentu keberanian ini tidak akan tumbuh. Oleh karena itu minder menulis karena usia harus dilawan dengan rasa malu, malu jika tidak menulis.

MALU untuk Melawan Minder Menulis

Di grup penulis yang saya ikuti, ada ajakan dari seorang penggiat literasi nasional, Ibu Sri “Kajeng” Sugiastuti, M.Pd. Para penulis diminta menjadi kontributor buku besutan beliau dengan tajuk Jejak Digital Motivator Andal, Antologi Artikel Gelombang 16 Menggali Potensi Penulis PemulaSebagian besar para kontributor berusia tidak lagi muda. Masa kerja sebagai pendidik pun rata-rata juga sudah cukup lama. Paling hanya satu yang masa kerjanya baru satu tahun. Satu tahun menjelang pensiun! Siapa lagi kalau bukan sang penggiat dan penggagas buku antologi tersebut, bu Kanjeng! Sok menjadi motivator, saya berkomentar “maju aja lupakan umur”. Saya tidak tahu apakah “kata-kata motivasi” itu manjur atau tidak. Tetapi akhirnya, para penulis satu demi satu menyerahkan naskahnya.

Kata-kata motivasi dari saya pun berlanjut di grup lainnya. Ada teman yang “ngos-ngosan” menyetorkan tulisan hari ke-18 hingga hari ke-25Ia berkomentar malu lantaran merapel “tugas” yang harus diselesaikan hingga hari ke-28 nanti. Kembali saya bak berkomentar “maju aja lupakan umur” karena saya tahu beliau pun bukan guru yang masih belia.

Apa yang saya katakan “maju aja lupakan umur” jika diambil huruf depan setiap kata tersebut, jadilah kata MALU. Cocok. Namun dalam konteks menulis, kata “maju” saya ganti dengan kata “menulis”. Berbekal kata-kata motivasi dari bu Kanjeng dan semangat membara para peserta, saya jadikan “MALU” untuk melawan minder menulis. MALU, Menulis Aja Lupakan Umur. Lupakan malu, lupakan rendah diri, lupakan minder menulis.

 

Musi Rawas, 21 Agustus 2021

#KMAA, #4oHariMenulis

Tinggalkan Balasan

7 komentar

  1. Normal saja sebagai manusia memiliki rasa minder akan sesuatu.
    Pilihannya hanya dua mundur sekarang atau maju sekalian.
    Keduanya tidak akan menyelesaikan masalah, namun pilihan maju sekalian akan dapat merubah minder menjadi pengalaman.

    Tulisan luar biasa Pak D, kalahkan minder dengan malu…