Nama : Putri Sofyana
NIM : 21095
Kelas : 1B
Tugas : Pancasila ( sila pertama butir ke lima)
“Ketuhanan yang maha esa”
( Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.)
Pancasila Sila ke-1 “Ketuhanan Yang Maha Esa” Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 Ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; serta (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Rumusan tersebut, menurut Weinata Sairin dalam tulisan “Berbagai Dimensi Kerukunan Hidup Umat Beragama” yang terhimpun dalam Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa: Butir-Butir Pemikiran (2002), menegaskan bahwa peranan negara sangat penting dalam memberikan jaminan bagi setiap penduduk untuk memeluk agamanya dan untuk beribadah menurut agama masing-masing. Negara, lanjutnya, berfungsi untuk menjamin, memperjuangkan, mengupayakan, dan membantu agar tiap-tiap penduduk memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk memeluk agamanya erta mengekspresikan keberamannya itu. Jaminan negara tidak hanya terletak pada “memeluk agamanya masing-masing” tapi juga mencakup kepada “beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu”. Negara tidak mengatur dan mencampuri ibadah dari agama-agama dan kepercayaan, melainkan negara menjamin agar pemeluk agama dan peribadatan berjalan dengan baik. Dengan demikian, Sila ke-1 dalam Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” memberikan peluang yang amat besar bagi terwujudnya kerukunan hidup antarumat beragama yang bernaung di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada era orde baru terkait sila pertama berkaitan dengan pengaturan agama
terdapat pola politik akomodasi yang dilakukan oleh pemerintahan masa orde baru.
Pola tersebut terdiri dari “akomodasi struktural”, dengan direkrutnya para
pemikir/aktivis Islam untuk menduduki posisi‐posisi penting dalam birokrasi negara
maupun badan legislatif; “akomodasi infrastruktur”, yakni penyediaan dan bantuan
infrastruktur bagi kepentingan umat Islam menjalankan kewajiban agama mereka,
seperti pembangunan masjid‐masjid yang di- sponsori oleh negara; “akomodasi
kultural”, yakni diterimanya ekspresi kultural Islami ke dalam wilayah publik, seperti
jilbab, baju koko, sampai pengucapan assalam’ualaikum yang mewarnai hampir
semua tayangan televisi; dan,,
“akomodasi legislatif ”, yakni upaya untuk
memasukkan beberapa aspek hukum Islam menjadi hukum negara, meskipun
hanya berlaku bagi umat beragama yang bersangkutan.
Akomodasi Legislatif yang dijalankan :
• Instruksi No. 14 Tahun 1978 tentang Kebijaksanaan mengenai Aliran‐Aliran
Kepercayaan kepada Kabalitbang Depag RI, Kepala Kanwil Depag untuk melakukan
penelitian dan pen-dataan terhadap penganut aliran kepercayaan sebagai bahan bagi
Menag untuk memberi pendapat tentang aliran kepercayaan sebagai bahan bagi
Menteri Agama untuk memberi pendapat tentang aliran kepercayaan.
• Disahkannya Undang‐Undang Pendidikan Nasional tahun 1989;
• diberlakukannya UU Peradilan Agama tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam tahun
1991;
• diubahnya kebijakan mengenai jilbab tahun 1991
• dikeluarkannya keputusan bersama tingkat men-teri berkenaan dengan BAZIS
(Badan Amil Zakat, Infak dan Shodaqah) tahun 1991; dan
• dihapuskannya SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) tahun 1993.
Kebijakan Kerukunan Antar Umat Beragama
• Undang‐undang Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan yang
mengatur tentang Organisasi Sosial Keagamaan dan Lembaga Keagamaan adalah
susatu organisasi kemasyarakatan yang dibentuk atas dasar kesamaan baik kegiatan
maupun profesi, fungsi dan agama
• Masalah pendirian tempat ibadah diatur dalam Surat Kepu-tusan Bersama (SKB)
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/MDG‐MAG/1969 Tentang Tata
Cara Pendirian Tempat Ibadah. Dalam prosedur pendirian tempat ibadah, SKB itu
mengatur bahwa “…Setiap pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari
Kepala Daerah atau pejabat pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk itu”.37
Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1)