Ibu itu, Kafir!
Sudah 1-2 hari aku tidak berani terang-terangan bertanya, dia dari mana, sama siapa, kegiatan apa, mengapa, ini baju siapa, baju sekolahnya mana dan sebagainya. Aku masih melihat matanya yang memandangku tidak seperti sebelumnya, agak aneh. Ketika kupancing tanya sedikit-sedikit, tidak mau cerita seperti biasanya. Aku kuatir kalau didesak menjawab, dia malah menghilang lagi. Nauzhubillah…
Yang penting bagiku dia sudah kembali, mau makan minum yang disuguhkan meski tidak lahap seperti dulu, aku sudah bersyukur. Mau mandi yang bersih meski agak malasdiingatkan berkali-kali. Yang lebih aneh sholatnya kuperhatikan lama betul. Zikirnya sampai 1-2 jam sehingga kulihat dari belakang punggungnya sampai terbungkuk-bungkuk. Mata terpejam, mungkin juga ketiduran. Ada apa ini? Sebentar lagi dia mau ujian akhir. Kuajak dan kukawal dia mengurus persiapan ujiannya ke sekolah. Aku ambil cuti besar di kantor untuk memperhatikannya dan mengawalnya sampai ujian dan setelah selesai ujian.
Selain itu beberapa kali kucari ke kos an ustads, kosong. Tanya RT, katanya belum kembali, ditelpon tidak nyambung-nyambung. Nomor telpon ketua RT pun kucatat untuk kupantau jika si ustadz datang. Namun si ustadz tidak pernah kembali lagi, nampaknya dia sudah siap meninggalkankan kos nya. Barang-barangnya sudah tidak ada lagi, kata Ketua RT. Aku juga lapor ke polsek bahwa anakku sudah kembali. Tolong anakku jangan dipanggil atau ditanyain dulu karena dia mau ujian akhir SMP.Lagian kuatir anakku marah padaku, lalu pergi lagi. Tas sekolah yang dibawanya iam-diam kuperiksa. Tidak ada apa-apa selain buku sekolahnya. Cuma ada secarik kertas yang berisi satu nomor telpon. Ketika kutelpon-telpon nomor itu tidak pernah diangkat.
Ketika kulihat kekakuannya mulai mencair dan agak semangat ikut mengurus persiapan ujian dan sudah ketemu teman-temannya dan mungkin juga sudah dinasehati wali kelasnya, aku mulai bertanya.
“Kahfi, kemaren itu 2 hari 2 malam kemana aja, ga bilang2. Kami sampai nyariin Kahfi kemana-mana”.
“Memang ibu nyariin kemana?” jawabnya
“Ke sekolah, ke rumah Umar, ke kos ustadz ngaji, ke polsek, ke masjid-masjid di Kuningan, ibu sampai binguuung sekali….”.
“Ngapain ibu sampai heboh begitu?” Matanya tajam memandangku
“Kahfi kan sudah gede, lagian ikut ustadz, ga mungkin macam-macam”. Jawabnya lagi
“Iya alhamdulillah.. baik-baik saja, ibu bersyukur Kahfi kembali dan sekarang fokus persiapan ujian”.
Aku belum bisa berkata apa-apa lagi karena jawabannya yang ketus itu mengejutkan, tidak biasa dilakukannya. Astagfilullah.. tolonglah hamba. Namun aku tetap ingin tahu dan tetap akan bertanya, tinggal tunggu timingnya. Nomor satu urusan ujian akhirnya dulu supaya dia bisa fokus dan lulus. Meski dalam hati aku kuatir melihat sikapnya yang berbeda, dengan teman-temannya tidak seramah sebelumnya. Terlihat ada kegelisahan tertentu. Matanya sering melihat kesana kemari seperti takut ada yang mencarinya. Dan solat serta zikir dan doanya lamaaa sekali. Persiapan fokus pada ujian nampaknya cukup mengkhawatirkanku.
Suatu ketika, aku bertanya lagi.
“Diajak ustadz pengajian dimana? Lebih khusuk ya…. ibu lihat solat, zikir doanya. Alhamdulillah kalau memang lebih baik, nanti kita kesana lagi, ibu mau ikut. Sekarang fokus menghadapi ujian dulu”.
Cepat dia menoleh padaku: “mau ikut kemana? Ibu ga boleh ikut, ibu masih Kafir!”.
“……….. Kafir??…….. Ibu kan solat ngaji puasa”.
“Iyaa… tapi ibu belum dibai’at”. Jawabnya masih ketus
“Bai’at??….. oleh siapa? Dimana?……”.
”Ibu harus di bai’at dulu kalau mau ikut”. Jawabnya tanpa memnjawab pertanyaanku.
“………………. Iyaa ga apa-apa, ibu mau kok dibai’at, asalkan perginya bersama Kahfi”. Jawabku nekad. Kembali dia menatap tajam ke mataku.
“Betul? Ibu mau dibai’at seperti Kahfi, sudah masuk Islam karena sudah dibai’at?”.
“Iya mau, ga apa apa… nanti kita pergi sama-sama” jawabku pasti
“Tapi sekarang Kahfi fokus dulu belajar, hadapi ujiannya”.
Dia diam, seperti orang bingung. Aku kasihan dan tidak mengejar dengan pertanyaan lagi.
Ujiannya berlangsung dalam pengawalanku. Kuantar dan kutunggu di mobil sampai dia keluar dan pulang bersama. Di rumah selalu kuawasi gerak geriknya yang masih seperti orang cemas, ketakutan, sebentar-sebentar menengok ke halaman rumah kiri kanan.
Situasi ini sangat menggelisahkanku juga. Sementara aku ingin dan berharap ujiannya jangan sampai terganggu. Meski aku merasakan hasil ujiannya kemungkinan besar tidak maksimal.
Ujian SMPpun berakhir juga.