Kalau kita mendengar istilah kritik seni, reaksi kita biasa-biasa saja. Mengapa demikian? Karena kritik seni merupakan kegiatan menanggapi karya seni untuk menunjukkan kelebihan dan kekurangan karya seni dengan tujuan menilai kualitas sebuah karya. Tanggapan dan penilaian tersebut dapat mempengaruhi kualitas sebuah karya bahkan bisa berpengaruh pada harga jual karya tersebut.
Sekarang bagaimana dengan istilah seni untuk kritik? Kita mulai berpikir, bisa jadi maksudnya adalah kegiatan seni atau karya seni yang dijadikan alat untuk mengkritik. Bisa juga pelaku seni yang menjadikan hasil karyanya sebagai alat mengkritik. Kalau itu yang dimaksud, merupakan hal yang sudah biasa juga.
Beberapa contoh pelaku seni yang karya seninya dijadikan alat untuk mengktitik.
Mogi Darusman.
Mogi darusman adalah seorang penyanyi dan musisi Indonesia yang dilahirkan di Bogor Jawa Barat pada tanggal 23 Januari 1947. Ia dikenal sebagai pemusik yang menyuarakan kritik sosial secara terbuka lewat lirik-lirik yang mengkritik pemerintahan Orde Baru. Pada April 1978, Mogi Darusman pulang ke Indonesia setelah melanglang buana di Eropa dan Amerika dan mengeluarkan album perdananya “Aje Gile”.
Album ini menjadi kontrofersial karena mengkritik rezim pemerintahan Orde Baru. Salah satu penggalan bait dari lagunya yang berjudul “Aje Gile” tertulis demikian:
Aje gile, proyek lu gede-gede
numpang nanya dekingan lu siape
e, aje gile, mendingan lu diem aje
daripade bikin ngiler tetangge
Berikutnya penggalan bait dari lagunya yang berjudul “Rayap-Rayap”.
Kau tahu babi-babi
makin gemuk di negeri kita
mereka dengan tenang
memakan kota dan desa
Kemudian penggalan bait dari lagunya yang berjudul “Koruptor”.
Koruptor di dalam cerminmu
wajahnya seperti wajahmu
jutaan rakyat telah kau tipu
aduh
dan pada akhirnya dibredel.
Grup Band D’Lloyd
D’Lloyd adalah grup musik legendaris dari Indonesia yang populer pada tahun 70-an yang memiliki banyak penggemar tidak hanya di tanah air tapi hingga Malaysia dan Singapura. Lagu-lagu D’Lloyd hingga saat ini masih sering terdengar karena banyak diaransemen oleh band-band masa kini. Namun sayang, salah satu lagunya ada yang menjadi kontrofersial karena rezim pemerintahan Orde Baru merasa dikritk. Salah satu penggalan bait dari lagunya yang berjudul “Hidup di Bui” tertulis demikian:
Apalagi penjara Tangerang
Masuk gemuk pulang tinggal tulang
Karena kerja secara paksa
Tua-muda turun ke sawah
dan pada akhirnya syairnya dirubah, penjara Tangerang menjadi penjara zaman perang.
Iwan Fals
Virgiawan Listanto, terkenal dengan nama panggungnya Iwan Fals yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 September 1961. Iwan Fals adalah seorang penyanyi, musisi, pencipta lagu, dan kritikus yang menjadi salah satu legenda di Indonesia. Gaya bermusiknya pop, rock, country, folk pop dan liriknya banyak menceritakan masa-masa kelam era 1970 hingga 1980-an di bidang politik. Salah satu lagunya ada yang dianggap menyinggung anggota keluarga Cendana. Salah satu penggalan bait dari lagunya yang berjudul “Bento” tertulis demikian:
Kotbah soal moral omong keadilan
Sarapan pagiku
Aksi tipu-tipu, lobi dan upeti
Wow, jagonya
Salomo Fedricho Purba
Richo, sapaan akrab Salomo Fredricho Purba, gemar melukis sejak kelas 2 SMA. Richo pun belajar ornament Batak dan menuangkannya dalam bentuk tulisan di kertas. Sosoknya kerap menyuarakan keresahan tentang situasi dan kondisi sosial melalui jalur seni. Dinding kamar pribadi Richo menjadi ruang pertama kalinya ia menuangkan bakatnya melukis. Sedangkan karya pertamanya di jalanan berupa mural dengan tema kritik sosial “Menolak Lupa Munir”. Ada kalanya Richo khawatir aksi muralnya mendapat kecaman dari apparat karena dianggap vandalisme.
Vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya atau perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas. Sedangkan mural menurut Richo tujuannya estetika untuk keindahan. Sebagian besar lukisan Richo menceritakan kritik sosial warisan budaya dan kearifan lokal yang perlu dijaga.
Penghapusan Mural
Belakangan ini bermunculan karya seni mural yang karyanya menjadi kontroversi. Akibatnya terjadi penghapusan mural di sejumlah daerah yang mengundang banyak kecaman. Ada yang beranggapan bahwa mural tersebut tidak pantas karena melibatkan figur kepala negara.
Menghadapi kenyataan ini timbul pertanyaan, apa bedanya era Orde Baru dengan era Reformasi yang mengklaim lebih demokratis? Sementara demokrasi itu sendiri adalah jiwa dan semangat yang terkandung dalam sila keempat Pancasila yang merupakan sarana utama bagi perwujudan kedaulatan rakyat.
Biarkanlah kritik melalui karya seni tetap berkembang sebagai kegiatan menanggapi kinerja lembaga pemerintah untuk menunjukkan kelebihan dan kekurangannya dengan tujuan menilai kualitas lembaga tersebut. Yang terpenting didasari niat dan tujuan yang positif sehingga yang merasa tersinggung dengan kritikan tersebut dapat introspeksi diri untuk memperbaiki kinerjanya menjadi lebih baik lagi.