Hidup bagai gambar yang bergerak, terus berlanjut dan tak ada yang berulang dengan cara yang sama. “Starting again” sering kali dapat memberikan suatu kesempatan agar dapat berbuat lebih baik lagi daripada sebelumnya.
Keharmonisan rumah tangga adalah idaman bagi dua makhluk yang telah terikat janji suci pada-Nya. Namun, dalam mengarungi samudra kehidupan, bahtera rumah tangga itu pun banyak menemui tantangan, ujian, dan cobaan yang tak diduga-duga. Ombak besar yang menghempas dan menggulung tinggi bahtera dapat saja menerpa. Di sinilah perlunya ketangkasan dan kepiawaian nakhoda untuk bisa menyetir keluar dari tantangan dahsyat tersebut. Jika tak lihai, tak akan bisa melampauinya. Hal demikian sangat manusiawi. Adalah Alina, seorang ibu rumah tangga dan suaminya pun mengalami ombak besar tersebut.
Di awal pernikahan, Alina tak perlu bingung untuk bekerja memenuhi kebutuhan rumah tangga karena Ali, sang suami telah memiliki usaha penjualan roti pisang kemasan dan sejenisnya. Walaupun masih berupa home made dan belum ada karyawan, tetapi omzetnya boleh dikatakan lumayan. Alina dan Ali bekerja sama berikut dalam melakukan pemasarannya. Biasanya roti-roti itu mereka titip jual di kantin-kantin sekolah maupun kantor. Pasangan suami istri ini pun menerima pesanan dari tetangga, ibu-ibu arisan, maupun rekan-rekan pengajian. Hidup mereka berjalan dengan baik. Majelis-majelis ilmu pun rutin mereka hadiri. Pasangan muda tersebut rajin melakukan ibadah bersama-sama. Hal itu terjadi hingga tahun ke-2 pernikahan mereka.
Pada suatu saat Ali, entah apa yang merasukinya … tiba-tiba mengutarakan idenya pada Alina.
“Dik,” sapanya dengan panggilan umum orang Jawa pada istrinya, “Bagaimana, ya? Aku ingin sekali usaha roti kita ini menjadi tambah besar berkembang.”
“Bagus, dong, kalau punya cita-cita gitu, Mas!”
“Hm. Gini maksudku, Dik … kalau kita mengembangkan bisnis ini dengan meminjam dana ke saudara-saudara dan teman-teman, piye? Anggap saja mereka berinvestasi dan kita akan bagi rata hasilnya.”
“Oh, gitu? Yakin ada yang mau bantu?”
“Ya, ikhtiar dulu. Coba aku tanyakan pada mereka …”
“Ya, terserah aja. Tapi kalau aku pikir, begini pun Alhamdulillah. Yang penting lancar terus, Mas. Punya impian boleh, tapi, ya, jangan grusa-grusu … Ojo ngoyo … sesuai kemampuan,”
“Iya, sih. Tapi kalau bisa besar, lebih Alhamdulillah lagi, Dik!”
Hari berganti. Ali gelisah karena tidak ada yang ingin meminjamkan uang padanya. Di saat itu Ali kembali mengutarakan ide pada istrinya.
“Dik, aku sudah ke mana-mana, tapi tak satu pun orang di circle kita yang ingin berinvestasi …”
“Qodarallah, Mas … Mungkin memang harus begini,” istrinya menjawab pasrah. Alina memang seorang istri yang tak pernah banyak tingkah dan tuntutan.
“Hm. Iya, sih … tapi, apa dak pengin kita punya usaha yang lebih maju lagi?” Ali mengulangi pertanyaan yang dulu.
“Ya, penginlah. Cuma caranya bagaimana selain itu?”
“Gini. Bagaimana kalau kita minjam di bank untuk modal usaha tambahan? Daripada begini terus, lama-kelamaan stuck.”
“Astaghfirullah … nyebut, Mas!” Mata bundar Alina melebar. Sontak dia terkejut, dengan ide liar suaminya karena sejatinya mereka itu adalah orang yang sering mengaji. Tiada kebiasaan lain, kecuali mendatangi majelis ilmu. Oleh karena itu, mereka sebetulnya tahu bahwa ketika rajin mengaji, maka tentunya banyak paham pula tentang hukum-hukum. Mereka sewajarnya tahu peringatan-peringatan mana yang boleh dan yang tidak. Mengapa demikian? Ya, karena mengaji memang memberikan cahaya pada sesuatu yang tidak orang pahami. Kali itu suaminya sangat keterlaluan.
“Mas, seperti tak tahu hukumnya aja … kan, kita sudah tahu bahwa itu, haram? Riba, Mas! Ayolah, jangan berpikir gegabah … ”
Ali mengindahkan kata-kata istrinya. Namun, suatu ketika dia merayu Alina dengan perumpamaan, pengandaian, ilustrasi dan entahlah … Pokoknya, segala bujuk rayu dia sampaikan.
“Dik, gini, Dik … dengar dulu. Bagaimana kalau kita nanti mendapatkan pinjaman, dan usaha kita maju? Bisa jadi marjin perusahaan kita akan besar, nah, kita banyakin aja sedekah agar menghapus dosa riba kita … salatnya juga dibanyakin …”
Alina tambah tak menentu. Dia memilih memalingkan wajahnya ke kiri agar tak beradu pandang dengan suaminya. Sementara itu, keningnya berkerut tatapannya bertambah tajam dalam picingan mata. Di satu sisi dia tidak setuju, di sisi lain dia tidak ingin berdebat dengan suaminya lebih jauh lagi.
Dan, benar saja setelah Ali melakukan apa yang dimauinya, usaha roti mereka pun berkembang. Varian bertambah pula, seiring makin banyaknya permintaan pelanggan. Sungguh suatu perubahan yang diidam-idamkan oleh Ali. Dia senang sekali, menurutnya usahanya berhasil. Namun demikian, ada juga kebiasaan lain yang muncul. Yang dulunya suami istri itu rajin hadir di pengajian, saat itu menjadi jarang kelihatan batang hidungnya. Kebiasaan baik itu telah luntur. Ke masjid pun sudah sekadar hingga tak pernah lagi, kesibukan bertubi-tubi. Hingga suatu masa membuat mereka benar-benar berbalik 180 derajat.
Ali, suami yang dibanggakan Alina, bukanlah nakhoda yang tangguh lagi. Tak dapat diandalkan dan tak bisa menjadi panutan. Pintu perzinaan pun terjadi dengan seorang wanita. Sulit bagi Alina untuk memaafkan suaminya. Belum lagi, uang banyak yang didapat, malah habis di meja judi.
“Aku minta, perusahaan dibagi dua,” demikian desak Alina, walaupun sebetulnya memang prosentase saham juga diatasnamakan Alina.
Ketika bisnis mereka itu telah dibagi dua, aset-aset dibagi dua, perusahaan menjadi semakin limbung. Tak perlu waktu lama untuk bahtera itu menjadi oleng, terombang-ambing diterpa ombak ganas, dan kemudian kandas seiring hancur leburnya mahligai pernikahan Alina dan Ali. Nakhoda sudah tak lurus lagi pegang kendali. Setir bahkan terlepas akibat guncangan dahsyat di samudra. Perpisahan keduanya tak dapat dihindari di usia pernikahannya yang ke-7 tahun. Semua yang telah diperoleh sebelumnya menjadi sia-sia tanpa keberkahan. Ya, boleh percaya boleh tidak. Namun, itulah yang terjadi.
Ketika orang sudah mengerti bagaimana kelamnya masuk ke lembah riba, namun tetap menjalankan, menabrak batasan, seperti merusak diri yang disengaja. Untungnya, di tengah galaunya hati, Alina berusaha bangkit dari keterpurukan. Majelis ilmu mulai didatangi lagi. Pengalaman hidupnya yang mencari rezeki dengan melalaikan rambu-rambu peringatan dari Allah, diceritakan kepada teman-temannya agar mereka pun tak terjerumus perbuatan keji seperti dirinya. Benar-benar sebuah perjalanan hidup yang harus dia tebus dengan perbuatan baik ke depan. Keburukan yang sangat menamparnya keras. Peringatan Sang Mahadaya diabaikannya demi menggenggam kesenangan dunia yang hanya fatamorgana. Sungguh memalukan!
Kala itu, salah seorang sahabatnya berempati dengan apa yang telah menimpa perempuan tegar itu. Dari modal pemberian sahabatnya yang tanpa imbalan itulah Alina berjuang lagi untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya dengan berjualan roti seperti sebelumnya. Bahkan, sahabatnya memberikan sebuah sepeda bekas. Sepeda itulah teman sehari-harinya. Pulang pergi ke warung-warung, kantin sekolah, kantin kantor, maupun ke pasar membeli bahan jualan, dia mengayuh sepeda tersebut. Hal sesederhana itu membuat hatinya bahagia tak terkira. Wanita bertubuh mungil itu malah terlihat segar bugar. Sinar matahari pagi membuat wajahnya merona. Alina telah berdamai dengan masa lalunya. Diserahkannya jiwa raganya hanya untuk kehidupan kelak di akhirat yang lebih baik dengan berharap rida-Nya. Alina is “Starting Again.”