MENELISIK PERAN TENAGA PELAKSANA GIZI DI PUSKESMAS

Terbaru216 Dilihat

Abraham Raubun, B Sc, S.Ikom

Puskesmas atau Pusat Kesehatan Masyarakat adalah unit pelaksanaan teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan disuatu wilayah kerja (DepKes RI, 2004).

Dikatakan juga merupakan ujung tombak dari penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat maupun perorangan terdepan.

Salah satu pelayanan Kesehatan yang dilaksanakan adalah Pelayanan Gizi. Ini secara operasional menjadi tanggung jawab TPG (Tenaga Pelaksana Gizi).

Ungkapan pengalaman para TPG ketika melakukan bincang-bincang dalam Forum Komunikasi Pegiat Gizi, 11 Januari 2022 menarik, sekaligus mengundang banyak pertanyaan. Apa pasalnya?

Tugas dan Fungsi TPG yang diatur regulasi, cukup banyak. Ada tugas pokok dengan 19 Fungsi. Ditambah lagi dengan 14 tugas terintegrasi dan 3 tugas tambahan. Mampukah seorang TPG melaksanakan itu semua?

Jawabannya bisa Iya bisa tidak. Iya jika memang TPG tidak bekerja seorang diri. Artinya ia bekerja dalam Tim. Untuk bekerja dalam Tim tentu harus mampu mengembangkan komunikasi dialogis dan keterampilan fasilitasi yang tinggi. Mampu menjalin hubungan kerja yang baik dengan berbagai komponen atau pemangku kepentingan lain yang ada di dalam dan di luar Puskesmas juga.

Bukan hanya kemampuan komunikasi atau hanya menguasai kemampuan teknis di bidang gizi, tetapi juga dari disiplin ilmu lain yang terkait.H al ini tidak mengherankan karena ilmu Gizi pada dasarnya memang bersifat multi disiplin.

Dari sisi dukungan penganggaran saat ini seharusnya tidak menjadi hambatan. Desa kini  sekurangnya punya 7 sumber pendapatan. Dana Desa hanya Salah satu sumber dari APBN. Sumber Pendapatan Asli Desa (PAD) yang berbasis potensi desa belum dapat sepenuhnya mendukung karena masih memerlukan upaya pengembangan yang juga memerlukan kreativitas yang didukung teknologi.

Dari aspek regulasi, TPG nampaknya perlu memahami regulasi terkait pembangunan Dan penyelenggaraan pemerintah Desa. Kedua hal ini menjadi ranah pembinaan 2 Kementerian, Kemendagri Dan Kemendes. Di tingkat  kabupaten tanggungjawabnya berada di Dinas PMD.

Catatan lapangan menunjukkan, alokasi anggaran untuk mendukung kegiatan Gizi di posyandu misalnya secara umum masih terbatas. Nampaknya soal gizi belum menjadi prioritas. Sejauhmana TPG memahami regulasi perencanaan pembangunan Desa yang menjadi tanggungjawab Pemerintahan Desa yaitu kepala Desa dibantu perangkatnya serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD), titik-titik kritis dalam siklus perencanaan tahunan masih perlu ditelusur. Alangkah idealnya kalau TPG dapat bekerjasama dengan para pendamping Desa dan  pendamping lokal desa memfasilitasi proses perencanaan di tingkat musyawarah dusun (musdus). yang menjadi tanggungjawab BPD. Ini titik Kritis  pertama yang perlu dikawal dengan baik karena hal-hal Strategis dibahas di sini. Keluarannya berupa rancangan Usulan yang akan di bahas di forum musrenbang desa yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Desa. Jadi jika TPG hanya secara formal diundang di sini, besar kemungkinannya tidak dapat berpengaruh banyak terhadap Usulan tentang Gizi dalam kaitannya dengan kegiatan Posyandu.

Padahal secara regulasi Posyandu merupakan kewenangan Desa berdasarkan kewenangan lokal berskala desa sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa. Juga posyandu diatur melalui Permendagri no 18 tahun 2018. Di situ Posyandu ditetapkan sebagai Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) yang pembinaannya berada pada Pemerintah Desa. Akan arif jika TPG memahami Hal seperti ini, sehingga dapat melakukan pendekatan yang tepat untuk mempromosikan Gizi

Nampaknya saat ini seorang TPG tidak mungkin melaksanakan semua tugas yang dibebankan secara maksimal. Apa sebab? menilik apa yang diungkapkan pelaku di lapangan banyak hal yang menghadang dan menghambat.

Karena kalau kenyataan di lapangan yang dipaparkan, orang gizi paling repot. Hampir 80% TPG mendapat tugas rangkap. Bisa menjadi pengelola keuangan, tim entry vaksin selain entry hasil penimbangan balita dalam jumlah yang tidak sedikit dan tugas-tugas administrasi lain.

Alasannya? orang-orang gizi ulet, rajin, bisa menjalankan komputer. Suatu pengakuan baik jika dilihat dari sisi positif. Ini harus disikapi sebagai peluang yang harus dimanfaatkan untuk mengembangkan jejaring kerja dalam mencapai sasaran dan tujuan program.

Dari sisi negatif ini bisa dianggap posisi tawar TPG rendah. Gampang disuruh-suruh. Ini bisa disebabkan oleh faktor internal atau pun eksternal.

Secara internal TPG bisa saja kurang percaya diri. Karena dari pernyataan yang terungkap antara lain untuk meningkatkan kompetensi pun TPG sangat kesulitan, tidak semudah kebidanan atau perawat, yang kuliahnya di sabtu minggu dan gampang sekali mendapat gelar SKep dan Ners atau SSt kebidanan. Tentu ini terkait dengan sistem institusi pendidikan. Sejauh mana sistem pendidikan mendukung atau menyediakan peluang untuk meningkatkan jenjang pendidikan secara linier di bidang gizi, apakah di bidang vokasi atau pun Profesi.

Dalam pembuatan STR (Surat Tanda Registrasi) gizi pun sangat kerepotan, berbeda dengan nakes lain yang persyaratannya relatif lebih mudah. Untuk mendapatkan STR ini memang seharusnya didasarkan pada kompetensi. Jadi kalau prosesnya terlalu mudah bisa saja memancing kesan asal-asalan. Selain itu jika memiliki STR sejauh mana nilai pemanfaatannya dalam mendukung Pengembangan atau peningkatan karir di tempat bekerja.

Untuk jenjang peningkatan golongan kepangkatan di Puskesmas memang nampaknya terbatas. Ini tentu sesuai formasi yang ada pada institusi yang bersangkutan. Kalau mau naik golongan terpaksa bergeser mencari formasi ke tingkat yang lebih tinggi di institusi lain.

Terkesan dari pengalaman yang diungkapkan, para TPG bisa mengerjakan apa saja bahkan ada yang jauh menyimpang dari tugas pokok dan fungsinya. Apakah hal ini terjadi dan dialami TPG di semua daerah? Tentunya menarik untuk ditelisik lebih jauh.

Faktor lain, adakah sistem yang sudah tersedia untuk meningkatkan kapasitas TPG selama ini, jika ada sejauh mana efektivitasnya untuk mendorong peran TPG secara proportional melaksanakan tupoksinya. Jika belum, sudah saatnya mulai dikembangkan, mengingat mereka adalah Garda terdepan yang punya akses besar dalam menjangkau sasaran di masyarakat. Namun masih ada hal yang mengganjal yaitu standar Pelayanan Gizi yang belum tersedia di tingkat Puskesmas.

Lalu sejauh mana peluang untuk mendorong ke arah peningkatan peran tenaga-tenaga gizi itu? Lagi-lagi ini terkait dengan kebijakan atau “political will’ pemerintah dalam memberikan perhatian pada bidang Gizi.

Sebagai bahan perenungan, bagaimana peran insan Gizi saat ini ? Terlebih dalam mendukung upaya pemerintah melakukan percepatan penurunan stunting yang dipatok pada angka 14% pada tahun 2024 mendatang.

Percepatan penurunan prevalensi stunting yang digelar pemerintah memang tidak tangung-tanggung. Rata-rata setiap tahun harus turun 2.7%, bahkan tantangan yang diberikan Presiden sebesar 3%. Suatu upaya yang tidak mudah dilakukan.

Apalagi meski erat kaitannya dengan bidang Gizi, tetapi “leading” sektornya bukan orang Gizi. Jika insan Gizi tidak bebenah diri dan mengambil langkah progresif dan proaktif tentu tidak akan dilirik banyak pihak sebagai salah satu komponen yang sebenarnya memainkan peran signifikan dalam upaya percepatan penurunan stunting.

Harus ada terobosan lewat organisasi profesi yang ada. Satunya gerak langkah dari berbagai organisasi profesi yang ada di bidang gizi menjadi penting. Sejauh mana upaya merekat dan merapatkan barisan untuk mengangkat perhatian di tatar kebijakan perlu segera diinisiasi.

Upaya DPD PERSAGI Jabar misalnya perlu diapresiasi. Hasil Kaji Cepat atau “mapping” tenaga gizi menunjukkan 38% tenaga gizi berada di Puskesmas. Suatu potensi yang sebenarnya tidak cukup besar dibanding ranah garapan Pelayanan Gizi yang harus diemban TPG sebagai ujung tombak dan Garda terdepan guna menjangkau sasaran di masyarakat. Tinggal bagaimana menambah kuota serta mendayagunakannya untuk lebih berperan, sehingga Profesi Gizi lebih diapresiasi.

Memang mengatasi masalah gizi menuntut keterlibatan banyak pihak secara konvergen. Suatu hal yang tidak mudah untuk diterapkan. Banyak pihak mengambil bagian di dalamnya, namun apakah secara teknis pemahaman tentang pergizian cukup memadai? Jangan sampai upaya Perbaikan Gizi menjadi “every body’s business, but no body’s responsibilities”.

 

Tinggalkan Balasan