MERAJUT GENERASI EMAS

Terbaru29 Dilihat

Indonesia memiliki “arutala” yaitu cita-cita mulia. Tahun 2045 kelak generasi emas menjadi dambaan. Generasi emas tentunya generasi berkualitas. Ini sumberdaya manusia (SDM) yang mumpuni, sanggup “survive” dalam menghadapi terpaan perkembangan teknologi yang begitu pesat di era globalisasi yang sarat dengan persaingan ketat. Generasi yang mampu menyejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Anak usia sekolah digunakan sebagai “stepping stone” batu pijakan awal merajut kualitas SDM masa depan. “Entry point” ini memang tepat untuk menggapai “Arutala” yang didambakan itu. Pasalnya anak usia sekolah merupakan kelompok rentan dalam siklus kehidupan manusia (life cycle). Kelompok rentan ini punya kebutuhan dan resiko. Jika kebutuhan tidak terpenuhi, maka timbul resiko. Bilamana resiko terjadi maka sulit untuk diperbaiki kembali.

Gizi merupakan salah satu faktor penting dalam membentuk SDM berkualitas. Abai memperhatikan faktor ini, dampaknya berujung pada masalah terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental di masa depan.

Merujuk data dan informasi tentang status gizi anak-anak Indonesia hasil penelitian yang disajikan berbagai sumber, status gizi yang disuguhkan nampaknya masih jauh dari syarat untuk mendukung terciptanya generasi baru yang berkualitas.

Prevalensi Tengkes (stunting) pada tahun 2023 tercatat sebesar 21.5%. ini masih di atas stadard yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 20%. Padahal pemerintah menetapkan target sebesar 14% pafa tahun 2024. Setidaknya masih harus menurunkan 7.5%. Sumber lain menyampaikan pula informasi yang menunjukkan sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2023 prevalensi Tengkes turun sebesar 9% dengan rerata 1.85% pertahun. Dengan kondisi seperti itu tentu masih diperlukan upaya yang lebih intensif untuk menekan angka prevalensi di bawah 20% atau setidaknya sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Menyasar kelompok usia sekolah dengan memberi makanan bergizi untuk mendorong status gizi yang baik merupakan pilihan tepat untuk menyiapkan SDM berkualitas. Namun namun ada tenggang waktu yang cukup panjang untuk melihat hasilnya yang menunjukkan dampak gizi baik.

Program yang diluncurkan bukan semata-mata hanya tentang penyediaan bahan makanan dan pemberian menu makanan yang sarat zat gizi agar memiliki status gizi baik tetapi mencakup banyak aspek termasuk sosial, budaya, ekonomi bahkan politik. Hal yang tak kalah penting juga adalah sistem monitoring dan evaluasinya. Penyediaan data dasar di awal pelaksanaan program merupakan basis evaluasi dampak pemberian makanan bergizi. Status gizi siswa harus terus dipantau. Pemberian makanan dengan nilai gizi yang baik sudah pasti memberi dampak positif. Tetapi perlu diwaspadai juga tidak tertutup kemungkinan adanya dampak negatif, karena bisa saja terjadi gizi salah berupa kelebihan berat badan atau yang dikenal dengan obesitas. Kasus-kasus obesitas pada usia muda semakin merangkak naik. Karenanya pola makan dengan gizi seimbang harus ditanamkan nelalui pendidikan di sekolah dan di rumah menjadi sikap hidup anak, terutama menghindari kebiasaan jajan makanan kekinian yang mengandung tinggi kalori, lemak, garam dan berbagai zat penyedap rasa dan pengawet makanan. Hal ini memang tidak mudah dikendalikan karena pengaruh lingkungan dan perkembangan teknologi makanan.

Pada dasarnya kecukupan gizi anak sekolah dalam sehari harus dipenuhi guna memastikan tumbuh kembang yang baik. Ini utamanya harus disiapkan oleh keluarga. Namun disadari juga tidak semua keluarga memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan itu secara penuh.

Kini pemerintah berupaya membantu dengan memenuhi 25% dari kebutuhan itu melalui penyediaan makanan di sekolah. Niat luhur ini perlu didukung oleh semua komponen bangsa. Jumlah kebutuhan ini harus dipastikan terpenuhi, jangan sampai berkurang. Karena itu berbagai komponen masyarakat termasuk pemerintah desa yang diandalkan untuk mendayagunakan semua sumber potensi yang ada dan masuk ke desa guna menjamin pelestarian program membangun kualitas SDM ini.

Anak usia sekolah akan tetap ada dalam siklus hidup manusia. Karena itu program pemberian makan anak sekolah harus dijaga keberlanjutannya secara swadaya gotong royong.

Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi yang perlu dikawal dengan ketat. Pengelolaan program yang diluncurkan tentu harus baik sejak perencanaan sampai evaluasi hasil. Karena gagal merencanakan berarti merencanakan kegagalan.

Disadari membentuk generasi emas melalui pemberian makanan anak sekolah bukanlah hal yang mudah. Dalam menjalankan program yang dipilih melalui pemberian makan anak sekolah sifat jujur, bertanggung jawab, konsisten, teguh pendirian, adil, menjadi teladan haruslah nyata diterapkan oleh setiap pihak yang terlibat. Apa yang dilakukan hendaknya menjadi model integritas yang meresap dalam sanubari semua siswa sebagai bekal dalam menjalani hidup masa depan yang penuh tantangan. Inilah bentuk investasi berharga bagi anak bangsa dalam merajut generasi emas sehingga terbentuk anak negeri yang sehat, terdidik, berahlak serta memiliki akses untuk hidup layak sebagai manusia Indonesia seutuhnya.

Tinggalkan Balasan