Abraham Raubun
Ketika bertugas membantu pengungsi pasca integrasi Timor-Timur atau dalam bahasa lokal disebut Loro Sae masuk menjadi bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selama 1979 saya mendapat tugas dari Catholic Relief Services (CRS) tempat bekerja saat itu untuk mengurus pengungsi di beberapa wilayah di Pulau Timor itu. Para pengungsi ini berasal dari beberapa wilayah di bagian barat dan bagian Timur yang sekarang menjadi Republik Demokratik Timor Leste.
Pergolakan yang melibatkan partai-partai politik yang ada saat itu seperti Fretilin, UDT, Trabalista dan sebagainya membawa situasi yang mencekam bagi masyarakat. Sebagian penduduk karena merasa takut meninggalkan pemukimannya untuk untuk menyelamatkan diri bersembunyi di hutan-hutan. Setelah situasi membaik dan Timor-Timur resmi menjadi bagian NKRI dan dinyatakan sebagai provinsi termuda yaitu yang ke 27, penduduk-penduduk yang bersembunyi keluar dari hutan-hutan dan kembali ke pemukiman darimana mereka berasal. Namun ketika kembali sebagian besar dari rumah-rumah yang mereka tinggalkan sudah rusak parah dan ada yang sudah rubuh, tidak mungkin untuk ditinggali lagi.
Kami yang tergabung dalam Satuan Tugas (SATGAS) Pembangunan Timor-Timur yang saat itu dibentuk dibawah komando HANKAM saat itu, mendapat tugas untuk melayani para pengungsi mulai dari membangun rumah-rumahtinggal sederhana sampai dengan menyiapkan dapur umum untuk memberi makan penduduk sebelum mereka dapat menempati rumah dan memulai kehidupan mereka yang baru. Satgas ini terdiri dari anggota militer, Departemen Dalam Negeri khususnya Ditjen Pembangunan Desa (Bangdes), Departemen Pendidikan, Departemen Pekerjaan Umum, wakil-wakil organisasi/lembaga nasional maupun internasional seperti CRS yaitu suatu Lembaga sosial masyarakat (LSM) yang berpusat di New York. Amerika Serikat.
Sebagai seorang Ahli Gizi (Nutritionist) saya mendapat tugas mengkoordinasikan dan mengawasi penyelenggaraan makanan bagi pengungsi di lokasi-lokasi yang dibantu oleh CRS di beberapa wilayah yang jumlahnya cukup banyak mulai dari bagian Barat sampai ke bagian Timur. Jadwal kegiatan dan supervisi terbilang cukup padat dan kami harus bergerak cepat melayani daerah-daerah dimana penduduknya baru keluar dari persembunyian di hutan dan kembali ke daerah asal mereka. Bahkan kadang-kadang hari Minggupun kami harus bergerak ke daerah tujuan dan bergiat karena mendapat informasi yang mendadak dari KOREM ada rombongan penduduk yang baru kembali ke tempat semula dimana merekan bermukim.
Suatu saat kami satu tim terdiri dari satu regu personil bataliyon 512 Banteng Raider dari Jawa Timur, tenaga Kesehatan,dan personil bataliyon Zeni Tempur (Yonzipur) berangkat untuk melaksanakan tugas di daerah Viqueque yang kemudian menjadi kabupaten Viqueque. Viqueque ini terletak di bagian tengah pulau Timor banyak juga penduduk yang mengungsi menyelamatkan diri ke wilayah lain atau masuk kehutan untuk bersembunyi bahkan pergi ke wilayah lain yang dianggap lebih aman. Rumah-rumah baru yang harus dibangun cukup banyak dan dapur umum untuk menyediakan makanan bagi penduduk juga harus bekerja keras menyiapkan porsi makanan yang tidak sedikit.
Untuk sementara sebelum rumah-rumah sederhana selesai dibangun keluarga-keluarga ini tinggal dalam tenda-tenda kompi yang disiapkan oleh personil zipur. Rumah-rumah penduduk yang dibangunpun cukup sederhana. Dindingnya terbuat dari pelepah daun lontar atau siwalan begitu teman-teman dari Jawa Timur menyebutnya, karena di daerah itu banyak ditumbuhi pohon lontar dan penduduk sudah biasa memanfaatkan pelepah daun lontar ini untuk membuat dinding rumah. Lantainya dibuat dari semen dan beratap seng. Beberapa fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus) lenkap dengan pompa tangan juga dipersiapkan, meskipun di beberapa lokasi memang sulit mendapatkan air karena tidak ada sumber air tanah. Memang di Sebagian wilayah ini terdiri dari bebatuan dan kering.
Setelah semua fasilitas selesai di bangun dan penduduk menempati rumah-rumah tinggal, beberapa keluarga mulai memelihara ternak babi. Kami melihat makanan yang diberikan selain umbi-umbian seperti ubi, talas ada juga yang dicampuri dengan buah lontar yang dicacah halus. Beberapa anggota tim dari Jawa Timur kemudian mengambil buah lontar yang muda, mengupasnya dan memakan daging buahnya yang berwarna bening. Kamipun semua mencobanya. Rasanya segar, tekturnya lembut seperti kelapa atau kolang-kaling, enak juga. Beberapa penduduk juga ditawari untuk memakannya. Menurut mereka enak dan mereka suka.
Buah lontar atau sering juga disebut siwalan yang masih muda sering dijual dan dikonsumsi, dijadikan campuran dalam minuman sirup seperti es kelapa muda yang banyak dijual orang. Biji yang masih muda memiliki tekstur yang lunak dan bening serta berair. Di Indonesia, buah lontar banyak tumbuh di bagian timur Pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Pohon buah lontar ini dapat hidup hingga lebih dari 100 tahun. Ternyata buah ini menurut beberapa catatan punya beberapa manfaat antara lain.
- Buah ini mengandung iso tonik yang tinggi Tak berbeda jauh dengan buah kelapa. Buah lontar sering jadi minuman yang enak dinikmati saat cuaca panas. Buah ini bisa menjadi isotonik karena bayak mengandung elektrolit, natrium dan kalium yang berperan penting dalam menggantikan cairan tubuh yang hilang.yang baik bagi tubuh sehingga dapat menghidarkan tubuh dari kekurangan cairan (dehidrasi).
- Karena banyak mengandung air juga dapat membuat kulit lebab dan tidak kering
- Manfaat lain dari buah lontar ini adalah dapat menyehatkan sistem pencernaan. Buah ini mengandung serat peptin yang ketika sampai di usus besar akan difermentasi dengan bakteri baik membentuk asam lemak rantai pendek yang berfungsi untuk regenerasi sel.
- Buah lontar mengandung vitamin dan mineral sehingga baik dikonsumsi untuk ibu hamil. Buah ini mengandung vitamin C yang berperan dalam sistem imunitas dan juga mampu meredakan stres. Sehingga khasiatnya cocok untuk ibu hamil.
Kembali ke kisah siwalan di Vique-que, setelah beberapa penduduk mencicipi buah muda siwalan ini mereka mulai mencarinya sendiri dan mulai mengkonsumsinya. Ketika kami kembali ke daerah itu untuk supervisi dan mencari buah siwalan muda, wah kami sering kecewa karena ternyata buah-buah muda itu sudah jarang kami dapatkan. Rupanya habis dirambah oleh penduduk dan kalaupun kami mendapatkan pohon yang masih ada buah mudanya, kami harus berebut dengan penduduk di sekitar situ. Itulah sekilas kisah berebut buah lontar di Bumi Loro Sae