MENGANGKAT MARWAH PROFESI GIZI DALAM UPAYA PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING

Terbaru187 Dilihat

Abraham Raubun, B.Sc, S.Ikom

Profesi adalah kata serapan dari bahasa Yunani, bermakna: “Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen”. Sedangkan
Seseorang yang menawarkan jasa atau layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya, disebut profesionalisme demikian menurut Wikipedia.

Gizi, juga sudah menjadi suatu Profesi dengan ciri-ciri ada organisasi profesinya, personilnya terlatih, tersertifikasi dan memberikan Pelayanan pada publik. Menarik untuk ditelisik sejauh mana peran para insan berprofesi Gizi dalam era pembangunan Nasional dewasa ini.

Pembangunan Nasional merupakan upaya meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Juga merupakan proses pembangunan keseluruhan sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan tujuan nasional.

Salah satu elemen penting dalam melakukan upaya tersebut adalah kapasitas sumber daya manusia yaitu kemampuan seseorang atau individu, suatu organisasi (kelembagaan), atau suatu sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi atau kewenangannya guna mencapai tujuan yang ditetapkan secara efektif dan efisien (Winidyaningrum & Rahmawati, 2010).

Era perkembangan komunikasi dan teknologi berbasis digital yang begitu pesat dewasa ini menuntut kesiapan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi memadai yang mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja agar mampu menyikapi perkembangan pembangunan yang dinamis secara responsif. Faktor yang berpengaruh besar dalam membentuk kapasitas SDM ini diantaranya adalah keadaan Gizi masyarakat.

Indonesia saat ini menghadapi masalah gizi ganda, bahkan akan menjadi “triple”. Masalah kekurangan Gizi makro yaitu kekurangan energi protein yang belum tuntas tertangani, kini harus sudah menghadapi masalah kekurangan Gizi mikro seperti Iodium, vitamin A, zat bezi, zink dan lain sebagainya. Kekurangan zat gizi mikro ini tidak saja mempengaruhi pertumbuhan fisik tetapi juga perkembangan intelektual SDM generasi di masa depan. Masalah lain yang mulai dihadapi adalah berat badan yang berlebihan (obesitas) yang menyasar generasi muda.

Survei Status Gizi Indonesia
tahun 2021 mencatat prevalensi stunting menunjukkan penurunan dari 27,7% di tahun 2019 menjadi 24,4%. Namun, prevalensi underweight mengalami peningkatan dari 16,3% menjadi 17%.

Pemerintah saat ini tengah memacu upaya penurunan stunting yaitu kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi di seribu hari pertama kehidupan anak. Kondisi ini berefek jangka panjang hingga anak dewasa dan lanjut usia.

Komitmen pemerintah untuk menanggulangi kondisi ini lewat regulasi, sudah dilakukan sejak tahun 2018. Di tahun 2021, Pemerintah kembali mendorong percepatan penurunan stunting melalui Perpres nomor 72. Selain merupakan payung hukum untuk melaksanakan strategi nasional percepatan penurunan stunting, Perpres ini juga untuk memperkuat kerangka intervensi yang harus dilakukan dan kelembagaan dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting.

Target yang ditetapkan pada tahun 2024 sebesar 14%. Suatu target yang tentu saja menuntut upaya yang tidak dapat dilakukan dengan cara-cara yang biasa-biasa saja (business as usual). Karena berdasarkan capaian di tahun 2024 ini juga akan ditetapkan target pembangunan berkelanjutan di tahun 2030.

Ada lima pilar dalam percepatan penurunan stunting yang ditetapkan dalam Perpres tersebut.
Berdasarkan Lima Pilar ini disusun Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk mendorong dan menguatkan konvergensi antar program melalui pendekatan keluarga berisiko stunting. Hal ini
bertujuan agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal dan maksimal, dengan disertai kemampuan emosional, sosial, dan fisik yang siap untuk belajar, serta mampu berinovasi dan berkompetisi di tingkat global. Setidaknya itu harapan yang didambakan di tahun 2045 mendatang.

Ketahanan Pangan dan Gizi, merupakan salah satu Pilar yang ditetapkan disamping komitmen dan visi kepemimpinan nasional dan daerah; komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat; konvergensi intervensi spesifik yaitu kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting dan umumnya dilayani oleh sektor kesehatan seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular dan sebaiknya. Selain itu juga dilakukan intervensi sensitif. Secara sederhana dimaknai sebagai upaya mengatasi penyebab stunting yang tidak langsung, seperti penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi serta peningkatan akses pangan bergizi baik di pusat dan daerah; serta penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset, dan inovasi.

Secara Nasional gerakan percepatan ini telah dicanangkan. Gerakan ini dititik beratkan pada upaya Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif yang dilaksanakan secara konvergen, holistik, integratif, dan berkualitas melalui kerja sama multisektor di pusat, daerah, dan desa.

Dukungan politis secara Nasional untuk percepatan penurunan stunting ini dikoordinasikan oleh BKKBN. Sistem dan prosedur, organisasi dan tata laksana, serta sistem informasi yang didasarkan pada evaluasi dan monitoring yang efektif dan efisien serta sumber daya manusia telah dikembangkan.

Di lini lapangan, kelembagaan dan organ-organ pelaksana baru untuk mempercepat penurunan stunting telah di bentuk. Nampaknya tenaga-tenaga yang ada di lapangan sampai saat ini, diantaranya Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) di Puskesmas yang merupakan salah satu tenaga potensial yang selama ini tersedia untuk melakukan berbagai kegiatan teknis dalam mencapai target penurunan stunting yang ditetapkan mungkin dianggap belum memadai baik secara kuantitas maupun kualitas.

Tugas pokok TPG yang diatur dalam regulasi meliputi melaksanakan kegiatan pelayanan Gizi, konsultasi, perencana kebutuhan serta penyusunan indeks bahan makanan sesuai aturan yang berlaku. Sedangkan fungsinya meliputi melaksanakan Pelayanan Gizi, melatih kader Gizi, menerima konsultasi di bidang gizi.

Kiprah para TPG di lapangan selama ini nampaknya luput dari sorotan. Informasi tentang peran dalam melaksanakan tugas dan fungsi mereka sangat terbatas. Tak pelak berbagai pertanyaan tersirat menggambarkan rasa keingitahuan tentang berbagai hal terkait kinerja TPG.

Tidak heran keingitahuan ini dipicu pula oleh informasi Balitbangkes di tahun 2005 bahwa ada indikasi rendahnya kinerja tenaga pelaksana gizi di lapangan.

Terbersit pemikiran jika itu indikasi yang diperoleh 17 tahun silam, lalu bagaimana situasi kini. Adakah tindakan kongkrit sebagai solusi memperbaiki kondisi tersebut. Beragam tinjauan dan penelitian lapangan di berbagai daerahpun pernah dilakukan. Ada yang terkait dengan kinerja, karakteristik, pengaruh penatalaksanaan Gizi dan pengetahuan tenaga Pelaksana Gizi terhadap keberhasilan perbaikan status Gizi pada Balita Gizi buruk dan banyak lagi kegiatan serupa yang dilakukan.

Kesemuanya itu pada dasarnya menyediakan data dan informasi. Pertanyaan berikut yang terbersit adakah upaya serius menindaklanjuti dengan melakukan interpertasi kemudian mengemasnya dalam bentuk tindakan kongkrit yang diterapkan di lapangan oleh para TPG.

Mungkin ini hanya sebatas keingitahuan belaka mengingat banyak data tersedia namun analysis, interpertasi dan aplikasi dalam tindakan nyata di lapangan sangat samar. Atau kesemuanya itu terbatas hanya untuk konsumsi intelektual di kalangan akademisi dan lembaga terkait demi eksekusi alokasi anggaran tahunan yang tersedia. walahualam.

Senyatanya kini pemerintah harus mendorong percepatan penurunan stunting. Jika harus didorong agar terjadi percepatan penurunan, asumsinya pergerakan di lapangan selama ini dianggap tidak cukup menimbulkan dampak akselerasi penurunan prevalensi stunting, bahkan penanggulangan masalah gizi secara umum.

Memang ini bukan hal yang mudah karena menuntut konvergensi yang dilakukan bersama secara multi sekroral. Namun masih tersisa pertanyaan yang ada di benak. Sebagai insan pemerhati Gizi terbersit harapan para pemberdaya masyarakat di lini terdepan memiliki pemahaman dan kompetensi yang memadai dalam bidang gizi. Sudahkah hal ini terwujud? Jika belum tugas dan tanggungjawab siapa yang harus melakukanya. Menilik tupoksi TPG, nampaknya merekalah sebagai Garda terdepan yang paling sesuai untuk mengemban tugas tersebut. Pertanyaan tak berhenti sampai di situ. Jika kinerja TPG sendiri masih dipertanyakan, lalu upaya apa yang harus dilakukan. Sejauh mana peran organisasi profesi dalam menyikapi situasi seperti ini. Atau Profesi gizi ini tersamar oleh kiprah para pemeran dalam gaung kegiatan dalam kemasan kata “stunting” tanpa mendalami ranah penanganan masalah gizi secara menyeluruh. Dalam artian Profesi gizi dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus menyandang gelar “Ahli Gizi atau Tenaga Pelaksana Gizi” secara formal.

Terdorong oleh rasa keingitahuan ini, beberapa pemerhati Gizi bekerjasama dengan Pengurus DPP PERSAGI mencoba menggali pengalaman di lapangan dari para TPG. Lebih dari 150 orang TPG Puskesmas, Ahli Gizi Rumah Sakit, Ahli Gizi di dinkes provinsi dan kabupaten dan Poltekes jurusan Gizi di tiga provinsi Jabar, Sulsel dan NTT berpartisipasi dalam forum komunikasi pemerhati Gizi di bulan April 2022 lalu.

Memang tak jauh dari dugaan permasalahan dan harapan yang di ungkap oleh para pelaku di lapangan berkisar dalam ranah keterbatasan peluang untuk meningkatkan kompetensi baik secara formal dan non formal, beban tugas tambahan yang berdampak pada tidak maksimalnya pelaksanaan tupoksi bidang gizi karena keterbatasan personil di Puskesmas, belum ada regulasi mengatur dan menegaskan peran TPG dalam melaksanakan Pelayanan Gizi sebagai prioritas peningkatan Gizi masyarakat sehingga Profesi gizi tidak dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memiliki landasan profesionalisme di bidang gizi, keterbatasan sarana khususnya untuk melakukan pengukuran antropometrik, tingkat kesulitan geografis dan sebagainya. “Last but not least” kemampuan analisis data, interpertasi informasi dan formulasi kegiatan kongkrit sebagai alternatif kongkrit, inovatif dan kreatif.

Ada hal yang sama di alami oleh para TPG dalam proses perencanaan di tingkat desa. Pada umumnya tenaga Kesehatan dari Puskesmas hanya dilibatkan pada forum Musyawarah pembangunan Desa (Musrenbang Desa). Suatu Forum perencanaan pembangunan yang merupakan tanggungjawab Pemerintah desa yaitu Kepala desa dibantu prangkat desa. Dalam forum ini perencanaan pembangunan desa untuk tahun anggaran berikutnya yang diusulkan oleh masyarakat dan dari tingkat kabupaten di bahas dan disetujui.

Tidak salah keterlibatan TPG sebagai unsur organisasi perangkat daerah kabupaten di kecamatan dalam forum ini. Hanya saja nampaknya advokasi atau pun masukan-masukan terkait pentingnya peningkatan Gizi masyarakat sebagai hal yang strategis yang disampaikan menjadi kurang efektif mengingat forum Musrenbang Desa sifatnya tidak lagi membahas hal-hal yang strategis melainkan lebih pada menyepakati rencana yang sudah diusulkan dari masyarakat.

Sebenarnya ada satu tahap perencanaan partisipatif di tingkat desa sebagaimana diatur dalam Permendagri nomor 44 tahun 2014 yaitu Musyawarah Desa (Musdes) yang terlepas. Forum ini menjadi tanggungjawab Badan Permusyawaratan Desa ( BPD). Gunanya untuk membahas hal-hal strategis untuk diajukan sebagai rencana pembangunan desa yang diajukan dan di bahas dalam Musrenbang Desa. Sejatinya Musdes menjadi sarana yang efektif bagi TPG untuk menjadikan bidang gizi secara lebih kuat sebagai hal yang strategis dan prioritas dalam rencana pembangunan desa. Dengan demikian akan mendapat perhatian penuh seluruh pemangku kepentingan terutama dalam alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan intervensi penanganan masalah gizi.

Tentu saja prasyarat yang harus dimiliki oleh TPG adalah memahami regulasi penyelenggaraan Pemerintahan desa yang diatur dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, khususnya kewenangan desa di bidang perencanaan, pengelolaan keuangan desa, pembinaan kelembagaan masyarakat dan pemberdaya masyarakat.

Sejauh mana dan bagaimana hal-hal yang diangkat dari para pelaku di lapangan dapat diwujudkan sebagai tindakan kongkrit dengan peran utamanya para TPG. Terbetik usulan peran organisasi profesi PERSAGI baik di tingkat pusat untuk mengambil langkah proaktif, setidaknya membuka peluang komunikasi secara virtual dan membuat forum-forum peningkatan kapasitas secara virtual.

Dengan demikian kiprah para Tenaga Pelaksana Gizi direkognisi dan diapresiasi profesionalismenya dalam kancah percepatan penurunan prevalensi stunting di seantero tanah air.

 

Tinggalkan Balasan