Pilihan Hati Menjadi GTT
Penulis : Rofiana, S.Pd.
Pada hari ketiga tantangan lomba blog “Menulis di Blog Jadi Buku” ini saya akan melanjutkan postingan saya yang kemarin. Kali ini judul yang saya tulis “Pilihan Hati Menjadi GTT”. Pada postingan sebelumnya, saya tulis bahwa tetangga saya yang sorang guru sekolah dasar menanyakan apakah saya sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan yang saya jawab dengan jujur bahwa belum mendapatkan pekerjaan.
Beliau menyampaikan keadaan di sekolahnya, bahwa kedepannya sekolahnya akan kekurangan guru karena ada 2 guru yang lolos seleksi kepala sekolah, salah satunya adalah tetangga saya tersebut. Beliau mengatakan belum tahu kapan akan penempatannya. Jadi, sekolah mengantisipasi dengan mencari tambahan guru jika sewaktu-waktu kedua guru tersebut pindah tugas menjadi kepala sekolah. Dengan adanya antisipasi tentu sekolah tidak akan “kelabakan” jika gurunya akan berkurang 2 orang.
Kemudian saya menyampaikan bahwa ijazah saya bukan PGSD. Beliau berkata, tidak apa-apa asal jurusan pendidikan. Kemudian beliau menyampaikan bahwa saya disuruh untuk berfikir dahulu. Jika saya bersedia diminta untuk memasukkan lamaran di sekolah dasar tempat tetangga saya bertugas, karena memang dibuka lowongan bagi siapa saja yang mau mendaftar. Pertentangan batin dan hati sayapun dimulai. Saya kan kuliah ambil jurusan bukan PGSD yang artinya jurusan yang saya ambil kurang relevan jika mengajar di SD. Ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah untuk mengajar di jenjang SMP sederajat sampai dengan SMA sederajat. Masa iya saya turun kelas malah ngajar di SD. Tidak sesuai dengan jurusan saya dong. Begitulah pikiran yang berkecamuk di dalam batin dan hati saya.
Sayapun kemudian memikirkan langkah apa yang akan saya ambil. Antara iya atau tidak. Antara memasukkan lamaran dan tidak memasukkan lamaran. Apakah saya akan mencoba kesempatan ini? Dalam hati tentu saja berharap bisa mengajar sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Bukan mengajar pada jenjang sekolah dasar. Sayapun memikirkan berulang dan menimbang-nimbang.
Setelah memikirkan dan menimbang-nimbang akhirnya saya putuskan untuk mencoba memasukkan lamaran ke sekolah tersebut. Saya mengambil keputusan tersebut, dengan pertimbangan apa yang ada di depan mata diambil dan dijalani terlebih dahulu. Toh lamaranku di beberapa sekolah belum juga membuahkan hasil. Sambil menunggu nasib dari beberapa lamaran yang sudah saya masukkan tak ada salahnya untuk mencobanya.
Pagi itu lamaran saya masukkan ke sekolah dasar tersebut. Kedatanganku diterima baik oleh Bapak kepala sekolah dan bapak ibu guru di sekolah tersebut. Tidak disangka ternyata di sekolah tersebut malah dipertemukan dengan guru SD saya dulu. Saya ingat betul beliau mengajarku sewaktu saya duduk di kelas III. Gayung bersambut, rupanya beliau juga tidak lupa denganku. Hari itu tidak lama saya berada di sekolah tersebut. Bapak kepala sekolah mewawancaraiku sebentar. Ada beberapa pertanyaan yang beliau ajukan. “Apakah sudah dipikirkan baik-baik akan mengabdi di sini? Karena dengan honorer di sini njenengan akan benar-benar mengabdi bukan mencari gaji”. Kalimat itu yang benar-benar saya ingat. Sayapun menyatakan sanggup dengan segala konsekwensinya jika saya diterima sebagai GTT di sekolah tersebut.
Tidak sampai seminggu dari saya memasukkan lamaran, ada SMS masuk di HP yang berisi bahwa mulai besok pagi saya disuruh berangkat. Pagi itu, hari pertama saya bekerja di sekolah tersebut sebagai GTT. Dengan perjalanan kurang dari 10 menit sudah sampai tempat yang kutuju. Memang SD ini dekat dengan rumahku. Itulah juga merupakan salah satu alasan saya menerima kesempatan mengabdi di sekolah tersebut. Bismillah…kumantapkan hatiku untuk mengabdi di sekolah ini. Kuturuti kata hatiku untuk mengabdikan kemampuanku serta ilmu yang telah kuperoleh di sekolah ini.
Bagaimana kelanjutan kisah ini ? Simak dipostingan selanjutnya ya !
Salam Literasi,
Rofiana
Menulis di Blog Jadi Buku |