Literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik (Kemendikbud, 2016).
Tujuan diselenggarakannya GLS secara umum adalah untuk menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Sedangkan tujuan secara khususnya adalah untuk menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah, meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat, menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan dan menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan dan mewadahi berbagai strategi membaca.
Latar belakang digalakkannya GLS adalah adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2016 terhadap 61 negara di dunia, yang menunjukkan masih rendahnya kebiasaan membaca di Indonesia. Indonesia berada di peringkat kedua dari bawah atau peringkat 60 dari 61 negara, hanya satu tingkat di atas Botswana.
Ada empat indeks literasi yang dikeluarkan oleh Kemendikbud yaitu: dimensi kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. Keterbatasan akses menjadi alasan yang paling utama dari rendahnya kebiasaan membaca di Indonesia, padahal potensi minat baca di Indonesia tergolong tinggi.
Untuk itu langkah pertama untuk menyukseskan program Gerakan Literasi Sekolah adalah dengan memenuhi akses akan kebutuhan buku-buku bacaan.
Sekolah sebagai garda terdepan dalam Gerakan Literasi harus menjadikan GLS sebagai sebuah program yang gaungnya dirasakan oleh seluruh warga sekolah.
Sekolah harus mampu memenuhi akan kebutuhan buku-buku bacaan penunjang Literasi, membuat petunjuk teknis pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah yang terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran.
Untuk selanjutnya langkah-langkah dalam menyukseskan GLS adalah dengan selalu mensosialisasikan kegiatan ini sesering mungkin dan masif.
Canangan program pencapaian tahapan dalam literasi harus jelas. Perlu diketahui, bahwa GLS memiliki tiga tahapan yaitu, tahap pembiasaan, tahap pengembangan, dan tahap pembelajaran. Katakanlah setiap tahapan membutuhkan waktu dua tahun, yang berarti tingkat keberhasilan GLS dapat dievaluasi setelah enam tahun.
Semenjak digulirkannya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) pada tahun 2016, seharusnya efek positif dari gerakan tersebut sudah mulai nampak. Namun apakah benar demikian?
Tentunya antara satu sekolah dengan sekolah lainnya menunjukkan hasil yang berbeda. Ada sekolah yang sudah mencapai tahap ketiga dalam GLS, namun tidak jarang masih banyak sekolah yang belum beranjak pada posisi tahap pembiasaan. Untuk itu diperlukan perencanaan secara spesifik, terukur, dapat dicapai, dan ada tenggat waktunya.
Ujung dari indikator keberhasilan GLS adalah meningkatnya minat baca peserta didik yang pada akhirnya akan berkorelasi dengan Penilaian Hasil Belajar peserta didik secara otentik.
Peserta didik yang sudah gemar membaca, dengan sendirinya akan mempunyai kemampuan nalar yang baik dan secara perlahan namun pasti akan mempunyai keterampilan menulis, baik yang sifatnya fiksi maupun non-fiksi.
Keberhasilan Gerakan Literasi akan membawa dampak pada terbangunnya kemampuan berpikir kritis, inovatif, dan kreatif dari para peserta didik.
Semoga kabar GLS hari ini lebih baik dari hari kemaren, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Jika tidak, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa selamanya hanya akan menjadi angan-angan belaka.***