Mutu Pendidikan Indonesia Pasca 75 Tahun Merdeka

Humaniora, Sosbud98 Dilihat
Sumber gambar: duniadosen.com

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Mutu pendidikan di Indonesia masih terbilang memperihatinkan. Berdasarkan laporan PISA (Programme for International Student Assessment) yang dirilis, Selasa 3 Desember 2019, skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 78 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara.

Penyebab masih rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat disebabkan oleh banyak hal, bisa berupa masalah efektifitas, efisiensi maupun standarisasi pengajaran. Secara garis besar permasalahan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Sikap guru dan orangtua terhadap kreativitas. Sering dijumpai guru dan juga orang tua siswa lebih menyukai siswa dengan kecerdasan tinggi daripada yang rendah.

Para orang tua khususnya, masih sangat mengutamakan kecerdasan Intelektual (IQ), karena mereka menganggap hal inilah yang sangat mempengaruhi masa depan dan kesuksesan anaknya kelak. Sikap yang demikian justru akan mematikan kreatifitas anak, sehingga mereka hanya akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang kaku dan mudah stress.

2. Sumber daya pendidikan yang belum memadai. Sumber daya pendidikan yang dimaksud mencakup hal-hal seperti, kinerja mengajar guru di kelas, kualitas budaya belajar siswa,  sarana dan prasarana pendidikan, maupun anggaran pendidikan.

Sumber daya pendidikan lebih banyak difokuskan pada urusan administrasi dari pada diarahkan pada proses pembelajaran secara utuh, total dan menyeluruh.

3. Sistem pembelajaran lebih banyak menitikberatkan pada kuantitas hasil dari pada kualitas proses. Hal ini tercermin dalam semangat penyelenggaraan penilaian, baik yang sifatnya Penilaian Harian, Penilaian Tengah Semester, Penilaian Akhir Semester, ataupun Ujian Sekolah.

Para guru dan orang tua lebih memperhatikan kuantitas nilai yang diperoleh siswa, ketimbang proses yang telah dilalui untuk meraih nilai tersebut.

Pihak sekolah, selaku penyelenggara pendidikan lebih memusatkan perhatiannya pada jumlah lulusan daripada memperhatikan kualitas proses pembelajaran. Membahas soal-soal lebih diminati daripada mengkaji dan mengembangkan konsep-konsep dan teori-teori ilmu pengetahuan.

4. Kurikulum, proses pembelajaran, sistem evaluasi masih bersifat parsial terhadap tujuan pendidikan nasional.  Hasil belajar belum mencerminkan terwujudnya tujuan pendidikan secara utuh.

Banyak ditemui siswa dengan nilai hasil belajar yang tinggi, namun belum memiliki nilai-nilai karakter dan watak yang bermartabat, dan sebaliknya tidak sedikit siswa yang memliki karakter yang baik, namun tidak didukung oleh nilai akademis yang memadai.

5. Pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan belum didukung oleh sistem, kultur dan kinerja mengajar, serta budaya belajar secara komprehensif.

Secara konseptual standar tersebut dianggap telah mewakili standar kualitas yang diharapkan, namun dalam praktiknya belum didukung oleh sistem, kultur dan kinerja mengajar, serta budaya belajar siswa secara komprehensif. Kita mengenal delapan Standar Nasional Pendidikan, meliputi Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Tenaga Pendidik dan Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian.

Namun delapan standar tersebut baru akan ‘dilihat’ manakala sebuah sekolah akan mengkuti sebuah penilaian, baik yang sifatnya tahunan atau lima tahunan sekali.

6. Adanya penyempitan makna Pendidikan menjadi pengajaran, bahkan pengajaranpun telah dipersempit menjadi proses transfer ilmu yang puncaknya adalah ujian demi ujian.

Konsekuensi dari masalah ini adalah akan menciptakan kegiatan belajar yang hanya menekankan pada unsur pengetahuan dengan sistem hapalan. Siswa dibiasakan dan dibentuk untuk dapat mengerjakan setiap soal ujian tanpa mengerti makna dan manfaat dari setiap permasalahan yang diangkat dalam soal-soal tersebut.

Untuk memecahkan permasalahan-permasalahan pendidikan di atas bukanlah perkara mudah. Meskipun saat ini Indonesia sudah menginjak usia kemerdekaan yang ke-75, namun tetap saja salah satu cita-cita kemerdekaan “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa” belum juga terwujud secara paripurna. Paling tidak ada dua sasaran pembangunan pendidikan yang harus terus dilakukan, yaitu pembangunan manusianya dan  pembangunan infra strukturnya.

Pembangunan manusia yang dimaksud adalah dengan membangun kesadaran manusia Indonesia akan peran dan fungsinya sebagai manusia di  muka bumi ini. Sebagai hamba Tuhan, seyogyanya setiap manusia sadar apapun aktivitas yang dilakukan, semuanya harus berlandaskan iman dan takwa.

Kalau ini sudah menjadi landasan bersikap, landasan berpikir, dan landasan bekerja, maka kita tidak akan lupa akan jati diri kita. Sehingga pada akhirnya ilmu pengetahuan yang didapat tidak akan menjadikannya manusia -manusia yang sombong, yang merasa paling pintar, dan mengambil keuntungan dari orang lain dengan berbagai cara yang merugikan.

Sebaliknya, jika iman dan taqwa sudah dijadikan landasan, maka apabila mengalami kegagalan tidak akan mudah putus asa, stress, dan bertindak diluar norma-norma yang berlaku.

Jika mentalitas manusianya sudah terbentuk (mentalitas ketakwaan, kedisiplinan, kejujuran, tanggung jawab, dan pantang menyerah), maka pembangunan infra struktur di bidang pendidikan dengan sendirinya akan bernilai efektif dalam menstimulasi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.

Sudah cukup lama kita  menghirup udara kemerdekaan, namun rasanya kita belum benar-benar merdeka. Kita masih dijajah oleh kebodohan dan kesenjangan akses antara masyarakat desa dan kota.

Sudah saatnya kita bangkit, dan salah satu energi penggerak untuk bangkit dan mengejar ketertingggalan dengan bangsa lain di dunia adalah melalui pendidikan.

Meningkatkan mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dari mengubah cara pandang kita terhadap “korps guru”. Guru harus ditempatkan pada posisi yang terhormat, karena dipundaknyalah beban amanah berat untuk mencerdaskan anak bangsa berada.

Mereka tidak butuh janji-janji yang manis, mereka hanya butuh kenyamanan dalam berbakti untuk nusa dan bangsa. Jangan sampai kenyamanan mereka dalam berbakti untuk nusa dan bangsa diganggu oleh masalah domestik seperti ketiadaan kesejahteraan yang jauh dari cukup.

Sementara itu, anggaran pendidikan yang sejatinya minimal 20 % dari APBN harus digunakan seefektif mungkin tanpa adanya kebocoran di sana-sini. Kita sudah bosan mendengar cerita-cerita penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan pribadi atau golongan.

Kita berharap di usia Republik Indonesia yang ke-75 ini, kita songsong Indonesia Maju dengan menjadikan pendidikan sebagai lokomotif perubahan dan kita sebagai anak bangsa harus bangga buatan Indonesia.***

Ropiyadi ALBA
Ropiyadi ALBA Tenaga Pendidik di SMA Putra Bangsa Depok-Jawa Barat dan Mahasiswa Pasca Sarjana Pendidikan MIPA Universitas Indra Prasta Jakarta

Tinggalkan Balasan