Sumber gambar :Tirto.id
Setiap tahun, tepatnya ketika memasuki bulan Robi’ul Awwal, mayoritas umat Islam di dunia memperingati peristiwa besar kelahiran nabi yang mulia, yaitu Nabi Muhammad SAW. Sudah begitu banyak nasihat dan peringatan yang telah disampaikan oleh banyak penceramah maupun para asatidz setiap kali momentum ini hadir. Namun, sepertinya esensi dari peringatan tersebut belum terpatri dan mewujud dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan memperingati Maulidnya nabi Muhammad SAW, seharusnya tidak hanya sekedar rasa cinta kita meningkat terhadap beliau, namun juga harus dilanjutkan kepada usaha besar mewujudkan kembali peradaban agung ummat Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh beliau lima belas abad silam.
Salah satu musibah terbesar ummat Islam saat ini adalah hilangnya kebanggaan dan kepercayaan diri mereka terhadap Islam sebagai agama yang paripurna. Saat ini, Islam hanya dipraktikkan dalam perkara-perkara yang sifatnya ritual dan terkesan dogmatis, tanpa adanya penjabaran ke dalam berbagai dimensi kehidupan. Peradaban agung yang pernah digapai oleh generasi orang-orang shaleh terdahulu dianggap hanya sebagai sejarah masa lalu tanpa makna yang mendalam. Padahal dalam peristiwa sejarah seyogyanya banyak perkara yang dapat dijadikan ibroh atau pelajaran bagi sejarah perkembangan manusia di masa yang akan datang.
Kejayaan peradaban Islam itu hanya disikapi tak lebih sebagai nostalgia indah yang menjadi dongeng turun temurun, seolah ia tak punya hubungan dengan kehidupan sekarang. Banyak orang mengaku beriman dan berIslam, tetapi sekaligus masih ragu dengan Al Qur’an sebagai sumber petunjuk Ilahi. Di mana seharusnya Al Qur’an menjadi panduan hidup sehari-hari.
Dari hilangnya sikap bangga dan percaya diri terhadap nilai-nilai Islam tersebut, maka akibatnya berdampak terhadap adanya alienasi atau keterasingan sebagian ummat Islam terhadap agamanya sendiri. Sebagian mereka menjadi silau dengan segala budaya dan ilmu pengetahuan yang datang dari Barat dan di luar Islam. Padahal banyak dari budaya-budaya tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan pada hakikatnya bertentangan dengan nilai-nilai fitrah kemanusian. Bahkan sampai pada keadaan yang cukup parah yaitu terjangkitnya penyakit Islamophobia yaitu membenci agama Islam padahal dirinya mengaku muslim hanya untuk mempertahankan apa yang menjadi kebanggaan dan egoisme dirinya.
Bagi seorang muslim keadaan tersebut tak boleh dibiarkan bersemayam dalam pikiran apalagi hatinya. Untuk itu ia harus berubah dan beranjak dari kondisi tersebut, setidaknya dengan tiga solusi berikut ini:
Pertama: Membangun ilmu yang mapan melalui kegiatan gemar membaca
Firman Allah SWT:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” .(QS. Al-Alaq [96]: 1).
Ayat yang turun pertama kali ini menjadi isyarat bagi kita bahwa untuk memulai sebuah perubahan berasal dari proses membaca. Proses membaca yang dimaksud bisa bermakna membaca sesuatu yang tertulis pada sebuah media maupun proses membaca yang sifatnya tidak tertulis, seperti beragam peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, untuk kemudian diambil sebuah kesimpulan dan ibroh yang terkandung di dalamnya. Dengan banyak membaca, maka seseorang akan memiliki banyak ilmu pengetahuan. Namun, perlu diingat bahwa yang menjadi landasan dan niat utama dari kegiatan membaca tersebut adalah nilai-nilai Rubbubiyah, sehinggga hasil dari proses membaca tersebut adalah sebuah ilmu yang akan menambah takwa dan kedekatan kita kepada Allah SWT, sehingga kita tidak terjebak pada kesombongan dan kesesatan.
Dengan ilmu yang diperolehnya, maka seorang muslim akan memiliki adab yang akan menjaga dirinya. Ia makin mengenal siapa dirinya dan mengetahui hak serta kewajibannya. Dengan ilmunya, ia akan menyadari bahwa perannya di muka bumi adalah sebagai hamba Allah sekaligus khalifah-Nya yang bertugas untuk beribadah hanya kepada Allah semata serta mewujudkan kemasalahatan dan rahmat di muka bumi.
Kedua: Membangun iman yang mendalam melalui Tauhid yang benar
Bagi seorang muslim, pengetahuan yang luas saja tidak cukup tanpa diiringi dengan iman yang mendalam dan tauhid yang benar. Segala macam bentuk godaan syahwat dan kepuasaan sesaat di dunia hanya bisa terlewati dengan bekal iman di dada. Memahami dan mengetahui syariat Islam dengan baik dan rinci menjadi tidak bermakna tanpa adanya iman yang mendalam. Iman yang benar adalah iman yang bersemayam di dalam dada dengan keyakinan yang penuh tanpa ragu, kemudian diucapkan dengan lisan , dan dibuktikan dengan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap muslim harus meyakini keberadaan Allah SWT, Malaikat-Nya, para Nabi utusan-Nya, Kitab-kitab-Nya, adanya Hari Akhir, dan segala macam ketentuan berupa takdir-Nya. Keenam hal tersebut yang disebut dengan Rukum Iman tidak boleh hilang dalam keyakinan setiap muslim dan melandasi seluruh gerak-gerik kehidupannya sehari-hari.
Tanpa iman, kebahagiaan yang diinginkan manusia hanya bersifat semu dan palsu. Segala macam keindahan dan capaian dunia yang bersifat materi, hanya akan menjadi fatamorgana tatkala tanpa didasari iman yang mendalam. Aktifitas dan kesibukan sehari-hari yang tanpa dilandasi iman hanya akan membuat kita lelah dan frustasi pada kesibukan tak bertepi, dan pada akhirnya hanya berujung pada kekecewaan berkepanjangan.
Ketiga: Membangun persaudaran yang kokoh
Melonggarnya semangat persatuan dan persaudaraan (ukhuwah) antar ummat Islam akan menyebabkan makin besarnya peluang musuh-musuh Islam untuk menceraikan rajutan ukhuwah yang terjalin, dan menjadikan cinta sesama saudara muslim berubah tawar dan hampa. Inilah fenomena umat Islam saat ini. Sebagian mereka masih sibuk bertikai sesama muslim sedang di luar sana musuh-musuh Islam bertepuk riuh dengan pemandangan tersebut.
Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak dapat hidup tanpa kehadiran dan bantuan orang lain. Dalam kaca mata islam, kehidupan sosial yang dimaksud dapat dibalut dalam sebuah ikatan sosial yang disebut dengan jama’ah. Hidup berjama’ah adalah sebuah fitrah manusia dan merupakan sunatullah. Dengan memahami urgensi kehidupan berjamaa’ah, maka seorang muslim tidak akan berlaku sombong kepada lainnya. Semuanya adalah lemah dan tak berdaya di hadapan Allah. Semuanya hanya bisa kuat ketika mengikatkan diri dalam satu simpul ukhuwah berbalut keimanan kepada Allah SWT.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman :

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk” .(QS. Ali Imran [3]: 103)
Dengan berbekal keteguhan dalam keimanan kepada Allah SWT, kita berharap semoga Allah mempersatukan hati-hati kita dalam ikatan persaudaraan yang hakiki yang dilandasi oleh nilai-nilai yang abadi. Apapun kondisi ummat Islam saat ini, bukanlah alasan yang tepat untuk berpangku tangan apalagi sekedar mengeluh dan berputus asa. Marilah kita berusaha menurut kemampuan kita dengan meneladani perjuangan Nabi Muhammad SAW untuk mewujudkan peradaban yang agung, peradaban yang menjunjung tinggi nilai-nilai kefitrahan setiap manusia***
Allahumma Syali ‘ala Sayiidina Muhammad
Allahumma Sholli ‘alaihi