Enam Tantangan Penerapan Multiple Intelligences

Edukasi, Humaniora257 Dilihat

Enam Tantangan Penerapan Multiple Intelligences  

Setiap insan terlahir ke dunia ini dalam keadaan yang berbeda antara satu dengan yang lain. Namun, tidak semua pihak menyadari keragaman karakter seseorang tersebut.  Dalam pendidikan kita yang serba seragam, perbedaan kerap menjadi masalah bagi pihak sekolah dan siswa.  Sistem pendidikan di Indonesia masih cenderung menyamaratakan standar kecerdasan satu siswa dengan siswa lainnya dengan penilaian metode dan paramater yang sangat sempit yaitu aspek kognitif saja.  Membangun sekolah hakikatnya adalah membangun keunggulan sumber daya manusia, sayangnya banyak sekolah yang sadar/tidak malah membunuh banyak potensi siswanya.

Di balik kebijakan penyeragaman pendidikan itu, muncul sebuah perlawanan terhadap sistem yang tidak adil, sistem yang “mematikan” potensi, minat, dan bakat siswa yang dinilai bodoh, tidak layak, dan gagal. Kenyataannya, siswa yang awalnya sulit memahami materi dari gurunya, tiba-tiba berubah menjadi mudah ketika gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa.

Setiap kali kita diminta siapa yang lebih cerdas : Bill Gates, J.K. Rowling, Rudi Hartono, Rudi Choerudin, atau Rudi Hadi Suwarno? Banyak yang kebingungan untuk menjawabnya.  Kecerdasan manusia dan kebutuhan untuk mengukurnya dengan berbagai instrumen dan indikator tiba-tiba menjadi hal yang penting, terutama ketika kecerdasan dihubungkan dengan syarat-syarat untuk mencapai kesuksesan hidup.  Teori kecerdasan mengalami puncak perubahan paradigma pada 1983 saat Dr. Howard Gardner, mengumumkan perubahan makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya yang awalnya adalah wilayah psikologi ternyata berkembang ke wilayah edukasi bahkan merambah ke dunia profesional di perusahaan-perusahaan besar.

Disarikan dari buku Sekolahnya Manusia karya Munif Chatib (2012), mengapa Gardner dengan multiple intelligences-nya menyita perhatian masyarakat? Setidaknya ada tiga paradigma mendasar yang diubah Gardner, yakni :

  1. Kecerdasan tidak dibatasi tes formal

Kecerdasan seseorang tidak mungkin dibatasi oleh indikator-indikator yang ada dalam tes formal.  Sebab setelah diteliti, ternyata kecerdasan seseorang itu selalu berkembang (dinamis) yang bersumber pada kebiasaannya untuk membuat produk-produk baru yang memiliki nilai budaya (kreativitas) dan kebiasannya menyelesaikan masalah secara mandiri (problem solving).

Selain Gardner, Daniel Goleman menyatakan bahwa sangat naif jika kecerdasan seseorang hanya dilihat dari interval angka IQ.  Padahal kenyataannya, kecerdasan melibatkan kecerdasan diri, disiplin, dan empati yang dikenal sebagai kecerdasan emosional.

  1. Kecerdasan itu multidimensi

Kecerdasan seseorang adalah proses kerja otak seseorang sampai orang itu menemukan kondisi akhir terbaiknya.  Berikut ini adalah sebagai buktinya. Sayid Muhammad Husein Thabathaba`i (Iran) yang mampu menghafal Al Quran beserta maknanya dengan metode photocopy memory (5 tahun).

  1. Kecerdasan, proses discovering ability, artinya proses menemukan kemampuan seseorang. Multiple intelligences menyarankan kepada kita untuk mempromosikan kemampuan atau kelebihan dan mengubur ketidakmampuan atau kelemahan anak. 

Ketika multiple intelligences mulai diterapkan di dunia pendidikan beberapa tantangan yang harus dihadapi sebagai berikut :

  1. Beberapa elemen sistem pendidikan kita masih kurang sejalan dengan sistem pendidikan yang proporsional. Secara teoritis, sistem pendidikan yang tidak proporsional dilihat dari segi : (1) input, bagaimana pandangan kita terhadap penerimaan siswa baru; (2) proses adalah bagaimana proses KBM yang efektif; (3) output, bagaimana pengambilan nilai yang adil dan manusiawi.
  2. Pemahaman makna yang salah tentang makna sekolah unggul. Benarkah indikator sekolah unggul itu harus dititikberatkan pada the best input?
  3. Desain kurikulum yang masih sentralistis. Namun sekarang pemerintah menyadari kesalahan kurikulum sentralistis sehingga diubah menjadi KTSP yang punya visi desentralisasi kurikulum.
  4. Penerapan kurikulum yang tidak sejalan dengan evaluasi hasil akhir pendidikan.
  5. Proses belajar yang menggunakan kreativitas tingkat tinggi. Kurangnya kreativitas guru mengindikasikan kualitas guru di Indonesia masih rendah.
  6. Proses penilaian hanya dilakukan secara parsial pada kemampuan kognitif yang terbesar, masih belum menggunakan penilaian autentik secara komprehensif.

Penerapan multiple intelligences di sekolah bukanlah suatu bidang studi.  Kesalahpahaman ini dimungkinkan karena kemiripan istilah antara jenis kecerdasan yang dimunculkan dan nama bidang studi.  Misalnya kecerdasan linguistik dianggap bidang studi Bahasa Indonesia.  Namun sebenarnya multiple intelligences adalah sebagai strategi pembelajaran untuk materi apapun dalam semua bidang studi. Strategi pembelajaran berupa rangkaian aktivitas belajar yang merujuk pada indikator hasil belajar yang sudah ditentukan dalam silabus. Intinya adalah bagaimana guru mengemas gaya mengajarnya agar mudah ditangkap dan dimengerti oleh siswanya.

#Tulisan hari ke-6 lomba Menulis di blog menjadi buku

Profil Singkat Penulis

Safitri Yuhdiyanti, S.Pd.AUD. Aktifitas sebagai guru di TK Negeri Pembina Bobotsari. NPA : 12111200300 , email : safitriyuhdiyanti@gmail.com,

Tinggalkan Balasan