Rumah Kontrakan

Cerpen, Fiksiana77 Dilihat

Rumah Kontrakan

 Sumber :Mediamaya.net

Bapak memiliki tiga orang anak.  Marni adalah anak pertamanya.  Anak kedua sudah diambil Pemiliknya saat Marni memiliki bayi berusia 6 bulan.  Sedangkan anak ketiga terpaut usia 8 tahun dengan Marni.  Bapak Ibu Marni adalah seorang perantau di kota tersebut.  Bapak Ibu orangtua Marni menempati rumah yang bentuknya hanya sepetak kamar.  Dindingnya terbuat dari gedheg, dengan bahan bambu yang dibelah tipis kemudian dibuat anyaman.  Terpasang di tengah dinding foto pernikahan Bapak dan Ibu.

Kriettt..suara pintu berderit saat sang tuan rumah memasukinya. Seolah merintih kesakitan.  Pintu kayu yang sudah tua dan engsel pintu yang lama tidak diolesi minyak.

“Assalamu`alaikum, Bu.  Bapak dah pulang, ini bawa singkong.” Bapak pulang dari kerja.  Motor tua yang merupakan inventaris kantor setia menemani Bapak keliling hutan.

“Wa`alaikumsalam..kebetulan Ibu lagi pengen banget makan yang berbau umbi-umbian.”  Ibu Marni waktu itu masih belum bekerja.  Usia kandungannya sudah hampir 9 bulan.  Perkiraan lahir sang bayi adalah bertepatan dengan hari raya Idul Fitri.  Ibu begitu tegar dan sederhana dengan pemberian Bapak yang hanya hidup di rumah kontrakan itu. Sekamar kontrakan berisi dipan, almari dan kompor kecil dengan aneka alat masak.  Alat masak sederhana yang penting bisa untuk makan berdua dengan lauk ala kadarnya.

“Sudah masak apa Bu, Bapak mau solat dulu,” Bapak melepas dahaga dengan meminum secangkir teh hangat buatan Ibu.

“Sayur lodeh terong sama ikan asin, Pak.”

Di samping rumah, ada sebidang lahan yang tidak begitu luas.  Bapak minta ijin ke pemilik kontrakan untuk memanfaatkan lahan itu.  Bapak membeli induk ayam.  Ternyata Bapak ingin beternak ayam untuk menambah penghasilan.  Bapak dengan tekun membuat beberapa kandang ayam.  Dalam waktu enam bulan, ayam-ayam sudah mulai bertelur.

“Wah, Pak, ini telurnya lumayan bisa untuk beli beras,” Ibu berkata sambil mengambil telur-telur dan ditaruh di keranjang.  Lumayan hampir ada 15 butir.

“Iya, ini pakannya juga harus banyak supaya ayam-ayam ini banyak telurnya,” Bapak sembari membersihkan kandang ayam supaya bau kotorannya tidak mengganggu tetangga sebelah.

Ibu mengumpulkan telur lalu menjualnya ke pasar atau dititipkan ke warung.  Terkadang ada juga tetangga yang pesan.  Telur ayam Jawa ini jarang ada di pasar.  Biasanya mereka membeli untuk campuran jamu atau dikonsumsi biasa.  Bagi yang alergi kulit, telur ayam Jawa tentulah dicarinya.

Usia kehamilan Ibu 38 minggu, Ibu sudah menyiapkan satu tas besar berisi perlengkapan persalinan nanti. Ada popok, kain bedong, gurita, kain kecil, baju, topi  dan selimut bayi.  Bapak juga sudah menyiapkan ember mandi bayi dan membersihkan ruangan kamar.  Bapak jauh-jauh hari mengecatnya supaya nanti baunya hilang saat sudah memiliki bayi.

Kata Bu Bidan, bisa kemungkinan hari lahirnya juga maju satu minggu.  Ibu sudah merasa kepayahan untuk berjalan jauh.  Seiring dengan itu, tidak tahu penyebabnya apa, ayam-ayam pun satu persatu ada yang sakit dan akhirnya tidak bisa diobati lagi.  Bapak merasa sedih, usaha ternaknya kini pupus.  Walaupun hamil, Ibu masih kuat untuk menunaikan Puasa Ramadhan hingga genap satu bulan.  Sebetulnya dari bidan sudah menyarankan supaya Ibu tidak perlu berpuasa, mengingat kesehatan ibu dan janinnya.

Azan magrib pun tiba, Ibu sudah merasa ingin melahirkan.  Lalu Bapak segera berpamitan kepada pemilik kontrakan dan bersigap mengantar ke rumah sakit terdekat.  Ibu mengambil nafas untuk mengurangi nyeri. Di perjalanan, Bapak sambil terus mengucap zikir untuk menenangkan hati.

Puji syukur tiada terkira ke hadirat Robb semesta alam, lahirlah seorang bayi perempuan dengan wajah mirip ayahnya.  Tangisnya memecah suara takbir Idul Fitri yang menggema di setiap sudut masjid.  Bayi mungil, berambut lebat dan sempurna.  Ibu melahirkan secara normal.  Rambut bayi yang begitu lebat karena Ibu suka sekali makan bubur kacang hijau.

“Terima kasih, suster sudah membantu saya sehingga persalinannya lancar,” Ibu menyampaikan terima kasih dengan berkaca-kaca.

“Sudah tugas saya , Bu,” jawab perawat sambil merapikan kain bedong agar bayi terasa hangat.

“Maaf, bolehkah saya memakai nama  suster untuk anak saya? saya berharap anak ini bisa banyak menolong orang nantinya,” kata Ibu. Untuk mengingat jasa perawat yang membantu persalinannya, maka atas seijin beliau, akhirnya nama suster tersebut disematkan di nama Marni.

“Silakan, Bu. Semoga doanya terkabul.”

Suster kembali mendekatkan Marni kecil ke dekapan ibunya.  Tadi sudah inisiasi minum air susu ibu pertama kali.  Bayinya begitu tenang setelah meminum air susu.

Ibu hanya semalam menginap di rumah sakit.  Dokter sudah mengijinkan pulang  melihat kondisi ibu sudah kembali sehat.  Bapak segera berkemas dan  memesan becak untuk mengantar pulang.

“Wah, senangnya kita sudah dikaruniai amanah momongan, Pak,” Ibu berbinar-binar seolah sudah melupakan ayam-ayam yang dulu pernah mengisi waktu luangnya.  Dulu mengurusi ayam dan sekarang sudah sibuk mengurusi bayi.

“Iya, Bu.  Aku akan mengabari keluarga orang tua kita.  Pasti mereka senang sekali mendengar kabar sudah bertambah cucunya.” Bapak berujar dengan hati bersuka cita.

“Bapak, kalau kita sudah ada simpanan uang, baiknya kita segerakan saja Aqiqohnya,”usul Ibu sambil menyusui Marni.

“Tabungan Bapak sepertinya cukup, nanti kalau kurang kita jual kayu-kayu yang sudah kita beli untuk rencana rumah baru kita.” Bapak sudah menyisihkan uang gajinya untuk membeli sebidang tanah.  Kemarin Bapak ketemu teman sekantornya dan sudah survey tanah yang akan dijualnya.

Marni sudah berusia satu tahun.  Sudah banyak kemajuan perkembangannya seperti bayi-bayi seumurannya.  Karena minim uang, Ibu kadang mengganti susu dengan air tajin.  Air tajin adalah air hasil menanak nasi.  Ibu sengaja memberi air yang agak banyak agar ada sisa airnya.  Ibu mengambil dengan sendok dan menuangkannya ke botol susu.  Kemudian diberi garam sedikit.  Marni kecil pun mau meminumnya.  Sekali waktu air tajin diberi gula Jawa untuk mengganti rasa.

Kemudian Bapak mengutarakan maksud ingin pindah kontrakan karena sudah membeli tanah.  Untuk ke depannya akan dibangun rumah.  Supaya tidak terlalu jauh, maka Bapak mencari kontrakan yang lebih dekat dengan rumah barunya.  Akhirnya Bapak menemukan kontrakan yang kondisi rumahnya lebih baik dari kontrakan sebelumnya.

#Tantangan menulis hari ke 25 Lomba menulis di blog menjadi buku.

Profil Penulis
Safitri Yuhdiyanti, S.Pd.AUD. Aktifitas sebagai guru di TK Negeri Pembina Bobotsari. NPA : 12111200300.

Tinggalkan Balasan