Fiyana tidak sengaja menemukan album foto lama di dalam lemari saat ia mencari-cari bukunya. Ia membuka album tersebut dan melihat-lihat foto pernikahan ayah dan bunda dulu. Foto-foto itu sudah jadul dan ketinggalan zaman. Pakaian nikah ayah bunda sudah kuno dan tidak model lagi di zaman sekarang. Fiyana kadang tertawa kecil bahkan terbahak sambil berseru “Ini Ayah Bunda kan? Wah jadul banget, lucu deh.” Bunda yang melihat hanya tersenyum tipis. Hingga sampailah Fiyana pada foto terakhir. Ia menatap foto tersebut lama.
“Lo kok diam aja lihat foto itu. Foto apa sih?” tanya bunda penasaran.
“Ini Bun. Ayah bunda berpose dimana ini?” tanya Fiyana sambil menyodorkan foto tersebut kepada bunda.
“Oo ini di puncak Gunung Prau. Cantik kan?”
“Gunung Prau?”
“Iya, letaknya di kawasan Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah.”
“Jadi ayah bunda mendaki gunung dulu gitu?”
“Ya iyalah. Masak kita terbang?”
“Masak ndaki gunung pakai gaun gini Bun?”
“Ya ampun Yana, gaunnya kan dipakai pas foto saja. Gimana gimana? Ayah bunda keren kan?”
“Iya Bun keren banget. Tapi yang keren pemandangannya, hehe,” goda Fiyana.
“Kamu ini!”
“Bun, ini matahari terbit ya? aku suka banget latar fotonya.”
“Iya Yana, sunrise bahasa Inggrisnya. Untuk bisa menikmati detik-detik matahari terbit, kita berkemah di puncak.”
“Waah…Bunda kita ke sana lagi yuk. Aku ingin melihat sunrise,” ucap Fiyana semangat.
“Kamu yakin? Kamu kuat? Capek banget lo. Ayah Bunda gak gendong-gendong nanti,”
“Siapa yang mau digendong. Aku sudah besar lo Bun. Aku kuat, sehat, cerdas dan semangat,”
“Halah gayamu. Yaudah kita tanya ayah dulu saja ya. Soalnya ayah nanti yang bawa kerel.”
“Kerel?”
“Kerel itu tas besar tempat menyimpan perlengkapan tenda, alat masak, bahan makanan, botol minum, baju ganti, bantal, selimut, perlengkapan salat dan masih banyak lagi.”
“Kita bawa apa Bun?”
“Kita bawa yang ringan-ringan saja. Seperti minum, makanan ringan, baju ganti agar bisa sedikit meringankan kerel ayah.”
“Oke Bun. Sip!”
Tak lama kemudian, ayah pulang dari kantor. Fiyana langsung berlari menghampiri ayah dan menceritakan tentang keinginannya melihat sunrise dari puncak Gunung Prau.
“Boleh kan Yah?”
“Boleh saja. Akhir minggu depan kita bisa berangkat. Tapi sebelum itu, Fiyana harus rajin olahraga bareng Ayah dan Bunda. Kita rutin jalan pagi dan sore agar saat pendakian tubuh kita lebih bugar dan terlatih.”
“Hore…makasih Ayah,” Fiyana pun memeluk ayah dan bundanya bahagia.
Hingga sampailah di hari yang dinantikan. Semua perlengkapan pendakian dimasukkan ayah ke dalam bagasi mobil. Setelah sarapan pagi, ayah, bunda dan Fiyana berkendara menuju area pendakian Gunung Prau. Ada lima jalur pendakian gunung Paru yang bisa dilewati. Yakni Patak Banteng, Kelilembu, Igirmranak, Dieng, Dwarawati dan Wates. Keluarga Fiyana memilih lewat Dieng karena lebih dekat dengan rumahnya.
Tidak berapa lama, mereka sampai di basecamp Gunung Prau Dieng. Di sana terdapat tempat peristirahatan, kamar mandi, warung makan, jasa peminjaman peralatan kemah dan kedai oleh-oleh. Basecamp sudah dipenuhi orang-orang yang ingin mendaki serta orang yang sudah pulang mendaki. Sebelum naik, mereka makan gorengan dan minuman hangat dulu di warung. Setelah itu mereka membeli tiket dan mendengar arahan dari petugas. Pendaki dilarang membuang sampah sembarangan, masuk tanpa izin, membuat api unggun, tidak membawa sampah turun hingga menebang pohon. Jika dilanggar, pendaki akan dikenai sanksi berupa penanaman pohon di puncak.
Setelah siap semua, pendakian pun dimulai. Ayah mengintruksikan untuk membaca doa. Mulut Fiyana komat kamit melafalkan doa agar lancar dan pulang dengan selamat. Kemudian dengan semangat, Fiyana melangkah mengikuti jalur pendakian. Ayah di barisan paling depan, ia di tengah dan bunda di belakang. Fiyana membawa tongkat untuk memudahkan pendakiannya.
Di awal-awal mendaki, mereka menyusuri perkampungan penduduk. Fiyana dihadapkan dengan tangga di samping rumah warga sekitar Gunung Prau. Meski tidak terlalu panjang namun cukup menjadi pemanasan awal. Makin tinggi naik, rumah-rumah penduduk jadi tampak seperti kotak domino yang tertata rapi. Fiyana kadang berhenti memotret pemandangan alam di sekitarnya.
Setelah itu, Fiyana memasuki area ladang milik warga. Banyak tanaman-tanaman sayur milik warga yang tertata rapi dan menjadi pesona tersendiri di kala pendakian. Ada beberapa petani yang asik berkebun di ladangnya. Di area ini, Fiyana sudah tampak kelelahan. Karena ada beberapa tanjakan yang membuat Fiyana kewalahan.
“Anak kuat Ayah masih sanggup?” tanya ayah demi mendengar nafas Fiyana yang terengah-engah.
“Sanggup Yah,” sahut Fiyana.
“Mau istirahat di sini dulu? Karena pendakian yang sesungguhnya baru akan dimulai,” ujar ayah.
Mereka pun beristirahat di warung dekat ladang penduduk. Kawasan Dieng sangat dingin. Namun selama mendaki tubuh terasa panas karena energi terkuras. Fiyana meluruskan kakinya. Sesekali ia memijit-mijit beberapa bagian tubuhnya agar lebih lemas.
“Oke, lanjut ya. Di jalur ini perhatikan langkah agar tidak tersandung. Banyak akar pohon besar-besar di sepanjang jalan. Kalau ingin berhenti bilang saja ya. Karena di jalur ini kaki akan lebih cepat pegal,” kata ayah.
Benar kata ayah. Jalur pendakian ini penuh tanjakan. Fiyana berkali-kali minta berhenti untuk makan dan minum sekaligus menikmati kawasan hutan pinus dengan angin sepoi-sepoi. Lama-lama mendaki akhirnya dengan susah payah, jalur hutan selesai. Kini pemandangan hutan berganti dengan jalur terbuka. Fiyana menyaksikan hamparan keindahan Dieng dari ketinggian. Ia sampai bersorak-sorak melihat lukisan alam yang begitu indah. Rumah-rumah mini yang berbaris-baris, pepohonan yang membingkai Dieng begitu rapi dan langit biru bersih yang memesona. Walau lelah sekali, Fiyana dengan sabar melanjutkan perjalanan.
Hingga sampailah mereka di puncak. Ayah segera mencari tempat mendirikan tenda di area perkemahan. Sudah banyak tenda yang berdiri di sana. Setelah kemah selesai, peralatan disusun, Fiyana segera mengganti pakaiannya dengan baju tebal. Udara dingin menusuk tulang. Fiyana masuk ke dalam selimut. Ia ingin tidur. Sementara ayah bunda memasak air untuk membuat minuman hangat.
Tidak terasa pagi pun datang. Suara azan terdengar dari puncak gunung. Segera ayah, bunda dan Fiyana melaksanakan salat subuh. Dingin sekali ketika air wudu menyentuh kulit. Selesai salat, tampak pendaki lainnya bersiap-siap menunggu matahari terbit. Pertunjukan alam yang dinantikan Fiyana. Tak lama kemudian, perlahan sinar kuning keemasan muncul dari ufuk timur. Matahari terbit dan menjadi terang bagi semesta.
“Indah sekali Ayah,” kata Fiyana terpukau dengan kebesaran Allah.
“Tentu saja, lihat itu! itu adalah Gunung Merapi, Sumbing, Sindoro, Merbabu dan Lawu. Tampak jelas dari sini. untunglah cuaca cerah. Kita bisa melihat gunung tersebut dari kejauhan,” jelas ayah.
Fiyana duduk lama menatap keindahan matahari terbit. Ingin ia berlama-lama di sana. langit yang sangat biru berpadu dengan suasana perbukitan yang hijau sungguh pemandangan yang tidak akan pernah dia lupakan. Segera ia berpose di depan sunrise untuk mengabadikan momen tersebut.
“Ayah, Bunda sebenarnya selama perjalanan aku sangat lelah. Aku merasa tidak akan sanggup dan tidak mau mengulang lagi kedua kalinya. Aku menyesal mendaki gunung. Tapi setelah sampai puncak, barulah aku sadar memang segala perjuangan akan berbuah manis nantinya. Andaikan aku tadi menyerah, pastilah aku tidak akan menikmati sunrise yang kunantikan ini. Aku benar-benar mendapatkan pengalaman yang luar biasa. Terima kasih ya Ayah dan Bunda,”
Mendengar itu, ayah dan bunda berpandangan. Mereka bangga dengan anaknya yang menyelesaikan pendakian hingga akhir. Fiyana pun mendapat gelar dari ayah sebagai pejuang sunrise sejati.