Suara riuh sudah terdengar saat mereka baru memasuki stasiun. Bumi terasa bergetar begitu ada kereta api lewat. Terlihat orang mondar mandir di dalam stasiun sambil membawa barang bawaan. Pedagang asongan menawarkan dagangannya kepada para penumpang yang ditemuinya.
Bangku yang berjajar dipenuhi oleh penumpang yang sedang menunggu keberangkatannya ke kota tujuan, sambil menjaga barang bawaan masing-masing.
Di sisi lain terlihat penumpang sambil berdiri sedang asyik dengan gawainya. Sedangkan di pojok ruang tunggu tampak beberapa orang terlelap sambil duduk di kursi.
Mata Aisyah tertuju pada seorang anak laki-laki yang seusia dengan Parhan. Dia duduk di lantai keramik. Tubuh kurusnya dibalut kulit kecoklatan terpapar matahari, kakinya berselonjor, punggung bersandar di tembok.
Tangan kanan mengipas-ngipas tubuhnya menggunakan topi terbuat dari bambu. wajahnya tampak letih. Pandangannya tidak lepas dari orang yang lalu lalang di depannya, sambil sesekali menawarkan dagangannya.
Aisyah menarik tangan Parhan dan mengajaknya duduk di samping anak tersebut sembari membeli dua botol air mineral. Aisyah menyodorkan satu botol kepada Parhan. Gadis manis bermata sipit itu mencoba menggali kondisi remaja di depannya.
“Siapa namamu dek?” tanya Aisyah sambil berusaha membuka tutup botol air mineralnya. Sambil memperbaiki posisi duduknya Anak tersebut menjawab “Malik kak.”
Percakapan antara Aisyah dan Malik menggambarkan kondisi keluarga pemuda yang masih duduk di bangku SMP itu sangat memprihatinkan. Sejak bapaknya meninggal tiga tahun lalu, dia menjadi tulang punggung keluarga karena dia adalah anak paling besar. Ibunya sakit-sakitan sementara dua adiknya masih duduk di bangku sekolah dasar.
Namun Malik tidak pernah putus asa. Dia bersama kedua adiknya membantu sang ibu, dengan berjualan di stasiun kereta api setelah pulang sekolah. Sebelum Magrib kakak beradik itu pulang membawa hasil jualan yang langsung diserahkan kepada ibu mereka.
Mata Parhan selalu tertuju kepada laki-laki yang seusia dengannya. Dia mendengar dengan seksama percakapan antara Aisyah dan Malik.
Sesekali terdengar helaan napas panjang. tatapan iba tergambar di bola matanya. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut remaja berkulit putih, dia seolah merenungi dan berusaha membayangkan jika dia berada dalam posisi Malik.
Tidak terasa dua jam sudah mereka berada di stasiun kereta api. Cuaca sudah mulai gelap saat Aisyah mengajak Parhan meninggalkan stasiun. (Bersambung)