Suaranya tertahan sepeti tersekat di tenggorokan, napasnya berat. Sambil menundukkan wajah. Terdengar tarikan napas panjang, sesaat kemudian didongakkan wajahnya menatap langit yang penuh bintang. Kedua tangannya menggenggam pembatas pagar. Seakan ingin mengumpulkan keberanian.
“Aku minta maaf, kamu boleh melakukan apa saja padaku asal kamu mau memaafkanku.” Pinta Fadli dengan nada memohon.
Gadis itu tetap saja diam. Sedikit pun wajahnya tidak ingin melirik lelaki yang berdiri di dekatnya. Hinaan demi hinaan yang diterimanya selama ini melintas satu persatu di benaknya.
Aisyah hendak berlalu dari tempat itu, Fadli spontan menarik tangan gadis itu dan dia langsung membungkukkan badan tanpa mempedulikan tatapan penumpang lain yang terlihat heran.
Namun gadis berpenampilan sederhana itu langsung menepis tangannya dan tanpa sepatah kata pun dia meninggalkan Fadli seorang diri. Lelaki itu hanya bisa memandang punggung Aisyah yang hilang saat menuruni tangga menuju lantai dua.
Aisyah tidak menyadari sepasang mata teduh Umam memperhatikannya dari kejauhan. Dia tidak ingin mengganggu dan menjadi pemicu perselisihan antara Aisyah dan Fadli, dia pun mencoba menghampiri.
“Mengapa sobat, apa ada yang bisa saya bantu?” Tanya Umam sambil menepuk pundak Fadli yang masih terduduk dan tertunduk lesu
Lelaki berambut gondrong itu mengangkat wajahnya dan melihat Umam sudah berdiri tegak sambil mengulurkan tangan membantunya berdiri. Fadli langsung menyambut uluran tangan lelaki yang ada di depannya.
Mereka berdua kembali memandang samudra luas yang ada di depan. Sesaat Umam menoleh ke arah Fadli yang masih tampak tertekan.
“Maaf tadi saya tidak sengaja melihat pertengkaran dengan Aisyah, Kalau kamu tidak keberatan, aku bisa menjadi temanmu untuk bercerita, siapa tahu aku bisa bantu,” tawar Umam menyakinkan Fadli. Dia tahu, antara Umam dan Aisyah ada hubungan spesial mungkin dia bisa membantuku meluluhkan hati Aisyah agar dia mau memaafkanku,” batin Fadli.
Lelaki berkulit putih bersih itu pun memulai kisahnya. Walaupun kisah ini pernah di dengarnya dari Aisyah. Namun Umam tetap berusaha menjadi pendengar yang baik. Tanpa terasa kedua lelaki itu larut dalam percakapan berbagai hal sehingga mereka merasa cocok untuk berteman satu sama lain.
Dua belas kali terdengar dentingan jam, menandakan malam sudah larut, kedua lelaki itu pun turun menuju lantai dua untuk beristirahat.
***
Jaket warna merah marun membalut badan gadis berbadan mungil yang sedang duduk di pinggir dak kapal sembari mengayunkan kaki menatap semburat warna merah yang menghiasi langit sebagai awal terbitnya mentari.
“Bagaimana tidurmu semalam?”, tanya Umam yang sudah duduk di dekat Aisyah.
“Kurang nyenyak, maklum baru pertama tidur di kapal laut seperti ini,” jawab gadis bermata sipit, berusaha menyembunyikan kejadian semalam.
“Atau mungkin karena kejadian semalam yang ada kaitannya dengan Fadli?” Sahut Umam.
Wajah gadis itu langsung berubah, mukanya merah, dia tertunduk malu, lalu menggeser duduknya seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.
“Maaf, saya tidak sengaja melihat perdebatanmu semalam dengan Fadli. Tapi kalau boleh saya memberikan saran! Ada baiknya kamu mau memaafkan kekeliruannya selama ini, dia juga manusia biasa yang tidak luput dari salah dan khilaf. Menurut saya, sekarang dia sudah menyadari kekeliruan yang dia lakukan. Allah saja yang maha sempurna mau memaafkan hambanya walaupun dosanya sebanyak buih di lautan. Masak kita sebagai manusia beriman, tidak mau memberi maaf kepada saudara sesama muslim.”
Sejenak gadis itu terdiam, dia tidak memberikan respon apapun selain ucapan.
“Tapi…”
Dengan sabar dan bijaksana pemuda berwajah Arab tak hentinya memberikan pencerahan kepada gadis pujaannya. Mendengar wejangan Umam yang panjang lebar membuat hati Aisyah lebih lega dan ditemani Umam, Aisyah pergi mencari Fadli dan meminta maaf atas prilakunya semalam. (Bersambung)