Pak Sukri sedang mengipas-ngipas badannya dengan karton bekas, saat Aisyah sampai rumah dan langsung meletakkan sepedanya di pojok rumah. Lelaki tua itu duduk di bale-bale depan rumahnya sembari mengurangi peluh yang masih terlihat dikeningnya. Dia baru saja pulang mengumpulkan barang bekas.Aisyah langsung mendekati bapaknya dan menyodorkan makanan yang sempat dibelinya. Dia membeli martabak dari pedagang yang ditemuinya saat pulang dari rumah Bu Nely.
“Apa ini ndok?”
“Martabak pak. Tadi Aisyah beli saat pulang dari Bu Nely.” Aisyah menjelaskan makanan yang dibawanya adalah makanan halal yang dia beli pakai uangnya sendiri.
Pak Sukri adalah orang tua yang tidak sembarangan memberikan makanan kepada anaknya, walaupun dia dari keluarga miskin, pantang baginya untuk meminta apalagi mencuri milik orang lain. Dia lebih baik kelaparan daripada harus melakukan perbuatan yang melanggar ajaran agama. Sambil menikmati makanan tersebut, gadis itu menyodorkan amplop yang diterimanya tadi
Pak Sukri membuka dan memeriksa amplop tersebut, alangkah kagetnya mereka berdua melihat isi amplop yang terdiri dari seratus lembar pecahan lima puluhan. Ternyata Bu Nely memberikan amplop berisi uang lima juta kepada Aisyah.
Tangan lelaki itu gemetar memegang uang lima juta yang baru dikeluarkan dari amplop. Seumur hidup pak Sukri dan Aisyah tidak pernah melihat apalagi sampai memegang uang sebanyak itu. Membayangkannya saja mereka tidak pernah. Dia mencubit pipinya.
“Aduh ternyata ini nyata, bukan mimpi nak!’ ucapnya menyakinkan diri sendiri yang masih terlihat tidak percaya dengan apa yang ada ditangannya sekarang ini.
Tidak henti-hentinya Aisyah mengucapkan syukur kepada Allah atas rezeki yang dianugerahkan hari ini kepada keluarganya. Aisyah tidak menyangka Bu Nely memberinya uang sebanyak itu.
“Sekarang uang ini akan kita apakan pak?” Tanya Aisyah meminta saran.
“Kamu simpan saja dulu, siapa tahu kamu dan adikmu butuh biaya, maka kita tidak perlu meminjam kesana kemari.”
Aisyah kembali memasukkan uang tersebut ke dalam amplop dan langsung masuk ke kamarnya. Kamar itu ditempati oleh Aisyah dan adik perempuannya yang masih SD, kamar tidur yang dilengkapi sebuah kasur yang sudah sangat lusuh, di sudut kamar terdapat meja belajar yang dibuat dari kayu bekas. Tidak ada barang bagus apalagi mewah digubuk yang bisa dikatakan gubuk reyot.
Sedangkan Bayu tidur dengan bapak di kamar yang satunya lagi dengan kondisi yang tidak jauh berbeda. Rumah yang jauh dari fasilitas memadai. Ini tetap tidak mengurangi rasa syukur Aisyah dan keluarga karena masih diberikan tempat untuk berteduh di kala hujan dating dan tidur dengan tenang. Karena masih banyak orang di luar sana tidur di bawah kolong jembatan.
Sambil merebahkan diri di kasur, Aisyah memikirkan uang lima juta itu akan dipakai untuk apa. Aisyah teringat bapaknya yang setiap hari mengumpulkan barang rongsokan sambil berjalan kaki setiap hari dengan jarak tempuh yang cukup jauh, kadang mencapai 4-5 kilo sambil membawa rongsokan yang diperolehnya.
Aisyah berencana membelikan sepeda bekas untuk bapaknya agar bisa meringankan beban berat yang dipikul sang bapak. Serta membeli laptop bekas untuk dipakai mengerjakan tugas kampus agar tidak terus-terusan meminjam laptop temannya. Kalaupun ada sisa akan disimpan oleh Aisyah untuk keperluan sekolah adik-adiknya.