KMAA#26: Kepiluan

Novel36 Dilihat

Terik matahari begitu menyengat, cahayanya terasa membakar kulit. Langit tampak biru bersih tidak  ada sedikit pun awan yang mengotori.  menyambut kedatangan rombongan saat kapal mulai bersandar di pelabuhan Lembar- Lombok, setelah19 jam terombang ambing di lautan. Satu persatu para penumpang turun dari kapal.

Sepanjang jalan yang kami lewati hamparan sawah dan kuningnya bulir padi menjadi daya tarik tersendiri. Tanpa terasa bus mulai memasuki tanjakan yang berkelok-kelok, di kanan-kiri terdapat jurang yang begitu terjal. Gerombolan monyet berlarian di pinggir jalan berebut makanan yang dilempar oleh penumpang bus atau kendaraan yang sedang melintas.

Tampak dari kejauhan lautan biru seolah menyatu dengan langit. Udara di ketinggian terasa semakin dingin, pemandangan alam menyuguhkan Keindahan yang luar biasa mempesona membuat perjalanan puluhan jam tidak terasa melelahkan, justru mengasikkan.

Cahaya matahari sudah mulai redup, bus terus melaju menyusuri jalanan berliku. Selamat Datang di Kabupaten Lombok Utara, tulisan dengan ukuran jumbo tertera di gerbang gapura yang dikelilingi dengan rimbunnya pepohonan. Obyek wisata Pusuk, tulisan itu seolah menjadi petunjuk bagi yang melewati tempat itu untuk melepaskan lelah sambil menikmati suasana alam yang begitu menakjubkan menikmati suasana alam yang begitu menakjubkan untuk sesaat bus berhenti dan memberikan kesempatan kepada kami untuk istirahat sambil menghirup udara segar.

Para pedagang kaki lima yang berada di pinggir jalan menawarkan dagangannya kepada setiap pengunjung yang turun di area ini. Untuk beberapa saat kami bisa meluruskan otot yang terasa sudah pegal sembari menselonjorkan kaki di berugak yang berjejer di pinggir jalan dan menikmati makanan khas Lombok.

Rombongan kembali menaiki bus untuk melanjutkan perjalanan. Tidak berapa lama suasana pilu menyambut begitu bus memasuki perkampungan. Semua bangunan yang berada di pinggir jalan kondisinya rata dengan tanah. Tak tersisa sedikit pun bangunan utuh hanya tersisa puing-puing berserakan.

Dada terasa sesak, napas tertahan, Buliran bening mulai menerobos keluar menyaksikan kondisi yang sungguh memilukan. Tampak tenda-tenda pengungsian berjejer di area persawahan dan lapangan. Beberapa orang tampak mengais-ngais puing-puing bangunan, berharap ada barang berharga mereka yang bisa ditemukan.

Subhanallah, Allah menampakkan kebesarannya. Sebuah bangungan masjid masih berdiri kokoh di antara puing-puing. Tempat ibadah ini seolah menjadi bukti nyata bahwa Allah Maha Segala-galanya.  Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin bagi Allah dan Dia memiliki kekuasaan.

Tak sedikit pun Aisyah mengalihkan pandangannya, Tatapannya tetap tertuju ke luar kaca mobil. Melihat kondisi yang memilukan terbersit rasa syukur yang tiada henti karena daerah tempat tinggalnya tidak pernah terjadi gempa seperti ini.

“Sepertinya ini tempatnya?” Ungkapku sedikit bergumam.

“Mungkin sebentar lagi kita sampai”, ucap Umam yang duduk di sampingku.
Namun bus tetap melaju kencang sehingga memaksaku untuk mengamati pal jalan. maklum ini baru pertama kalinya aku dan tim menjejakkan kaki di pulau yang dikenal dengan pulau seribu masjid ini.

Sembalun 30 km, tulisan di pal jalan seolah menginformasikan bahwa lokasi tujuan kami masih lumayan jauh.

“Sepertinya lokasinya masih jauh, kamu tidur saja dulu. Nanti kalau sudah sampai saya bangunkan,” ucap Umam saat melihat wajah Aisyah yang pucat.

Gadis berbadan mungil itu mencoba tidur, namun bayangan kondisi masyarakat terdampak gempa yang bermain-main di benaknya, membuat dia tak bisa memejamkan mata.

Jalan terlihat sepi, hanya satu dua kendaraan yang lewat. Awan merah sudah mulai menampakkan wajahnya. Udara dingin masuk melalui celah-celah kaca jendela.
Bus yang kami tumpangi memasuki lapangan yang dipenuhi dengan tenda pengungsian.

“Kita sudah sampai,” ungkap sopir bus.

Aisyah mengeluarkan switer yang ada di ransel dan langsung memakainya untuk melindungi badannya dari cuaca dingin. Kedua pemuda yang sedang di mabuk cinta ini pun turun dari bus sambik memanggul tas ransel masing-masing agar tidak tertukar dengan penumpang yang lain. Tangan kanannya menjinjingq tas dengan ukuran yang lebih kecil.

Seorang lelaki berbadan tegap menyambut kedatangan kami di sana. Rombongan pun di ajak menuju dua tenda terpisah laki dan perempuan sambil mengabarkan bahwa besok pagi rombongan kami akan bergabung dengan para relawan lainnya.

Suasana gelap menyelimuti, maklum aliran listrik masih gangguan. Pencahayaan hanya mengandalkan lampu emergency dan cahaya bulan. Perjalanan yang lumayan melelahkan membuat kami bisa terlelap walau dengan kondisi yang memilukan.

Uap keluar dari mulut saat berbicara, air embun yang menempel di bagian luar tenda tampak seperti bekas hujan. Jaket serta switer tidak mampu menghalau udara dingin.  Setelah selesai salat subuh dengan bertanyammum Aisyah mengajak beberapa teman gadis menyusuri komplek pengungsian. Serta mencari MCK yang ada di sekitar tempat pengungsian.

Terdengar suara tangisan bayi dari salah satu tenda pengungsian seolah menandakan bahwa dia kedinginan atau kelaparan. Susana sudah mulai terang walau matahari belum menampakkan dirinya, rasa pilu kembali menyelimuti saat menyaksikan langsung kondisi para pengungsi yang memilukan serta penuh dengan kekurangan.

Tidak jauh dari tenda yang kami tempati terdapat dapur umum yang di dominasi oleh laki-laki dengan cukuran yang hampir sama berbentuk cepak. Sepertinya mereka adalah tentara yang jadi relawan. Tidak seorang pun yang terlihat nganggur, semua yang berada di tenda tersebut bekerja mempersiapkan sarapan.

Selesai sarapan, tim BPBD meminta kepada seluruh relawan dari berbagai kalangan untuk berkumpul guna mendiskusikan rencana selanjutnya. Ratusan orang dari berbagai aliansi tersebut berkumpul di tenda komando angkatan darat. Setelah kegiatan usai semua berpencar sesuai bagian masjng-masing.

Terbersit harapan semoga kedataangan kami bisa membuat mereka tersenyum walau hanya sesaat. Wajah-wajah polos tanpa dosa berkumpul di tanah lapang yang tidak begitu jauh dari tenda pengungsian. Beberapa orang sukarelawan mulai berbagi tugas. Aisyah, Umam dan beberapa relawan lain mulai mengadakan trauma helling untuk membantu anak-anak agar tidak mengalami trauma yang berkepanjangan dalam dirinya. Selama sepekan menjadi relawan banyak memberi kenangan dan pembelajaran hidup. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

1 komentar