Aisyah duduk termenung di atas dipan kayu depan rumah sambil memandangi tupukan rongsokan yang berhasil dikumpulkan bapaknya selama sepekan. Tatapan sendu, gurat kesedihan masih tampak jelas terlihat.
Dia tidak pernah menyangka dirinya akan berada pada titik ini. Titik dimana semangat hidupnya jadi hilang lenyap. Ia ingin menangis tapi air matanya seakan kering.
Ia tidak pernah berpikir bahwa lelaki yang dicintainya selama ini akan menikah dengan wanita lain padahal Umam tidak pernah dekat dengan gadis lain selain dirinya.
“Beruntung sekali wanita itu,” gumam Aisyah yang masih terpaku dengan tatapan kosong.
Menjadi pendamping Umam merupakan harapan dan dambaan terbesar Aisyah sampai menunggu Umam menyelesaikan studinya di Timur Tengah. Tapi kini ia sadar betul bahwa hal itu tidak mungkin akan terwujud.
Dia tidak ingin merusak rumah tangga Umam, walaupun ia tahu cintanya begitu besar untuk lelaki itu. Aisyah yakin orang tua Umam tidak sembarangan memilihkan jodoh untuk anaknya.
Setetes air mata keluar dari pelupuk matanya . Tak bisa dipungkiri bahwa hatinya terluka, perih ibarat luka yang tersiram air asam. Pak Sukri memperhatikan anaknya dari jauh, sebagai orang tua dia tidak tega melihat anaknya seperti ini. Putri sulungnya yang selalu tampak ceria, beberapa hari ini semangat hidupnya seakan sirna. Lelaki tua itu pun duduk di samping putri sulungnya. Aisyah langsung mengusap air matanya setelah sadar sang bapak sudah duduk didekatnya.
“Ada apa Ais? tidak biasanya kamu seperti ini, apa ini ada kaitannya dengan Umam yang tidak pernah datang kemari” tanya pak Sukri.
Pak Sukri tidak tahu bahwa selama ini Umam kuliah di luar negeri dan sekarang sudah menikah. Isak tangis Aisyah tumpah di bahu sang bapak. Pak Sukri semakin tampak kebingungan. Namun dia tetap membiarkan putrinya menangis di bahunya. Jemari yang terlihat lebih hitam itu mengelus punggung putrinya dengan lembut berharap bisa meringankan beban batin yang sedang menderanya.
“Cerita ke bapak ndok, siapa tahu bapak bisa bantu. Bapak jadi ikut sedih melihatmu seperti ini,” ucap pak Sukri.
Tampak butiran bening bertengger di mata lelaki yang sudah setengah abad ini. Ditariknya napas dalam-dalam agar air netranya tidak keluar. Dia tidak ingin menambah beban putri sulungnya ini dengan kalimat terputus-putus dia menceritakan apa yang terjadi untuk mengurangi beban batin yang dialaminya.
“Allah tahu apa yang terbaik untuk hambanya. Dia akan memberikan apa yang kamu butuhkan ndok, bukan apa yang kamu inginkan. Baik menurut kita belum tentu baik menurut Sang Pencipta. Cobalah mengikhlaskan dan meridai apa yang sudah menjadi ketentuan-Nya. Nyakinkan Allah akan mengganti dengan seseorang yang lebih baik. Bapak tahu kamu anak baik, insyaallah Tuhan pun akan memberikan kamu pendamping orang yang baik.” Ungkap Pak Sukri panjang lebar.
Ibarat air yang disiramkan ke kepala, kesejukan dirasakan oleh Aisyah setelah mendapat wejangan dari sang bapak. Wejangan sederhana namun sarat makna. Semangat hidupnya kembali tumbuh walau butuh waktu untuk bisa seperti sedia kala.
***
“Assalamualikum,” suara seorang pemuda membuyarkan lamunan Aisyah.
Dengan rasa malas, diseretnya kakinya untuk membuka pintu. Spontan gadis itu membuka pintu lebih lebar begitu melihat siapa yang dating
“Parhan!” Pekik Aisyah serasa tidak percaya.
“Sama siapa?” Dia melanjutkan ucapannya.
Pemuda tampan yang masih duduk di bangku SMA itu menunjuk ke arah Bayu yang sedang menyandarkan sepedanya di pojok rumah.
“Tadi tidak sengaja kami bertemu saat Lomba Cerdas Cermat Antar Sekolah di kantor walikota,” sahutnya.
“Kalian Jadi penonton atau peserta?” Aisyah semakin kepo.
“Jadi salah satu peserta, walaupun tidak bisa masuk babak final. Semua ini tidak lepas dari bantuan kakak dulu. Seandainya saya tidak bertemu kakak, mungkin saya sekarang sudah menjadi salah satu pasien di rumah sakit jiwa,” ungkap Parhan.
Husst…! tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu, semua yang kamu alami sekarang tidak lepas dari berkah Allah dan usaha yang kamu lakukan.” Timpal Aisyah.
Mereka pun bertiga larut dalam obrolan yang mengasikkan, karena sejak tamat SMP hampir dua tahun yang lalu, Parhan tidak pernah bertemu Aisyah dan keluarganya. Maklum pemuda itu sekarang sekolah di SMA favorit.
Matahari sudah masuk ke peraduan saat Parhan pamit pulang. Tidak lupa Aisyah menitipkan salam hormat kepada ibu Nely orang tua Parhan. Sejak itu Parhan dan Bayu sering belajar bersama dan jika ada kesulitan mereka selalu melibatkan Aisyah untuk membantu.
Kesibukan Aisyah mengerjakan tugas yang begitu padat membuatnya sedikit demi sedikit bisa melupakan kesedihan yang dialaminya. Waktunya lebih banyak dihabiskan di perpustakaan kampus, walau hanya sekedar membaca buku apa saja. Yang terpenting baginya saat ini adalah bisa menyelesaikan studi secepatnya dan bisa memperoleh pekerjaan. Berlahan tapi pasti senyum yang sempat hilang mulai tampak lagi, walau terkadang trauma untuk menjalin hubungan dengan pria lain masih terasa.
Sejak menerima surat dari Umam ada rasa trauma untuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Walaupun May beberapa kali berusaha mencomblanginya dengan seorang pria tapi sikap Aisyah tetap dingin. Jodoh sepenuhnya diserahkan kepada sang pencipta. Dia nyakin Allah akan memberikan pendamping hidup yang terbaik untuknya.
Tanpa terasa sudah hampir dua tahun dia hanya bergelut dengan buku dan tidak pernah mendengar nama Umam apalagi bertemu, membuatnya lebih mudah untuk melupakan lelaki tersebut.
Senyum terkembang di wajah gadis bermata sipit itu melihat hasil ujian tersisnya lulus dengan nilai A. Perjuangannya selama ini tidak sia-sia. Bulan berikutnya baju wisuda kembali dia kenakan.
Selesai sudah perjuangan Aisyah mencapai cita-citanya. Tidak sulit baginya mencari tempat mengamalkan ilmu yang dimiliki. Kecerdasannya membuat dia langsung menjadi dosen di kampus tempatnya menimba ilmu. (Bersambung)