Aisyah mengedarkan pandangannya sembari menatap sekilas seluruh orang yang ada di restoran itu, mungkin ada diantara pengunjung yang dikenal dan memberi pesan saat kajian tadi. Tapi sudah cukup lama Aisyahnya berdiri di pintu masuk tidak ada satu pun wajah yang dikenali, hingga seorang pramusaji menghampiri dan memberikan kode dengan menunjuk sebuah meja yang berada di pojok.
Seorang lelaki berjas hitam duduk membelakangi pintu sedang duduk sendiri di pojok ruang menghadap ke taman bagian belakang restoran. Berlahan didekatinya pria tersebut yang sedang mengaduk-aduk minumannya sembari menikmati semilir angin.
Dia menarik napas panjang untuk sesaat dia berdiri mematung di belakang lelaki tersebut.
“Assalamualaikum, Aisyah. Suara pria itu tadi menyapa duluan, seolah tahu Aisyah sudah berdiri dibelakangnya.
“Waalaikum salam,” suara Aisyah terdengar gelagapan, karena tidak menyangka pria didepannya tahu nama panggilannya dan dia tahu Aisyah sudah berdiri di belakangnya.
“Silahkan duduk, lelaki itu berdiri dan membalikkan badan sambil sedikit membungkukkan, seolah dia ingin memberi penghormatan kepada wanita di depannya.
Aisyah meletakkan tas yang berisi mukena dan dompet di kursi kosong disampingnya, keduanya duduk berhadapan.
“Mau pesan apa?” Tanya pria berbadan atletis itu membuka percakapan.
“Apa saja, jawab Aisyah. Dia masih terlihat bingung dengan lelaki yang ada di depannya.
Lelaki berkaca mata dengan wajah putih bersih, berambut pendek menggunakan kemeja biru dibalut jas hitam terseyum kearahnya, membuat Aisyah jadi salah tingkah saat tidak sengaja mata mereka beradu pandang. Aisyah langsung menunduk sambil memainkan ujung jari jemarinya. Tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Walaupun setiap hari dia menghadapi puluhan mahasiswa. Dia tidak pernah merasa sebego seperti sekarang ini. Sesaat mereka masih membisu sampai pramusaji datang membawa makanan dan minuman yang tadi sempat dipesan. Mereka berdua menikmati makanan yang sudah ada di depan masing-masing.
“Masih ingat denganku,” pertanyaan itu membuat air yang baru saja di teguknya terasa nyangkut dikerongkongan.
“Maaf, bukankah Anda tadi yang mengisi kajian di Islamic Center? Akhirnya Aisyah berani membuka mulut.
“Betul, tapi sebelum ini apakah anda mengenalku?” ucapnya dan balik bertanya.
“Entahlah, saya juga sangsi. Dulu saya pernah mengenal seorang lelaki, kakak dari salah seorang siswa yang sempat mengikuti les privat.
Tapi…..Aisyah tidak berani melanjutkan ucapakan, khawatir lelaki didepannya tersinggung.
“Orangnya sombong, angkuh, tidak punya hati nurani, suka menghina. Pokonya sifat yang sangat jelek, maksudmu? Tukas lelaki tersebut.
Aisyah ternganga dengan tebakan pria itu yang sangat sesuai dengan kalimat yang ingin diucapkan. Spontan dia menghentikan makanan yang sedang dikunyahnya.
Untuk sesaat suasana hening sejenak, tidak ada kata-kata keluar dari mulut kedunya . mereka seolah sedang menata hati-masing-masing, hingga akhirnya terdengar ucapan.
“Fadli Alamsyah yang anda kenal beberapa tahun lalu itu adalah saya sendiri. Saya lah orang yang sombong, angkuh tidak punya hati nurani itu. Saya yang dulu sering melakukan hal itu kepadamu. Untuk itu saya minta maaf dari hati yang paling dalam atas kelakuan saya dulu yang sering menyakitimu.”
Fadli diam sesaat, begitu pun Aisyah, tidak ada satu katapun keluar dari mulutnya. Aisyah tidak tahu apa yang harus diucapkan, dia tidak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya.
“Saya yang menulis pesan tadi menitipkan lewat panitia tidak sengaja saya melihatmu duduk paling depan. Saya memberanikan diri untuk mengundangmu kemari. saya juga ingin berterima kasih, berkat kamu saya bisa berubah.” Ucapan Ustad Fadli membuat Aisyah tidak percaya dengan pendengarannya. Dicubit pahanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang menghayal atau bermimpi.
Fadli terus saja bercerita tentang dirinya hingga membuat dia bisa mendapatkan gelar dokter spesialis seperti sekarang ini dan itu tidak lepas dari kemurahan hati wanita di depannya mengembalikan laptopnya dulu.
Aisyah hanya diam, dan sesekali mengangguk serta mengangkat wajahnya sembari memperhatikan mimik Fadli.
Ada rasa lega di hati Fadli, setelah dia mengeluarkan semua hal yang menjadi bebannya selama ini. Saat ini dia bisa meminta maaf langsung dengan wanita yang telah membuatnya berubah dan menyelamatkan hidupnya.
“Bagaimana, apakah kamu mau memaafkanku?” Tanya Fadli dengan nada harap.
“Tidak ada yang perlu di maafkan, bagiku itu hanya masa lalu tidak perlu diungkit lagi dan paling penting sekarang sudah menjadi orang yang bijaksana dan bisa menghargai orang lain.”
Kelegaan tampak di wajah mereka berdua, sebelum pulang Fadli meminta kontak Aisyah dan berjanji akan menghubunginya nanti. (Bersambung)