Langkah kaki gadis itu menyusuri lorong rumah sakit, sesekali dia melempar senyum kepada setiap orang yang ditemuinya. Dia langsung menuju loket lima dan menyapa petugas yang sedang duduk di depan komputer.
“Selamat pagi mbak,”
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” Tanya wanita berseragam putih yang duduk di depannya.
Gadis berwajah Ayu itu pun menceritakan bahwa dirinya pernah di rawat satu bulan lalu, dan dia membutuhkan salinan biaya yang sudah dibayarkan saat itu sebagai bukti yang harus diserahkan ke kantornya. ungkapnya berusaha menutupi alasan sebenarnya.
Setelah menayakan nama lengkap, tanggal dia di rawat serta ruangan yang ditempati, petugas itu pun memintanya menunggu sebentar. Dalam hati Aisyah berdoa berharap dia tidak mendapatkan jawaban yang sama seperti beberapa waktu yang lalu.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit nama Aisyah Larasati akhirnya di panggil dan petugas langsung menyodorkan arsip rincian biaya yang dikeluarkan lengkap dengan tanda tangan orang yang membayar saat itu tanpa nama jelas.
“Maaf mbak, boleh saya foto copy sebentar ,” pinta Aisyah.
“Kalau begitu mbak tunggu sebentar biar saya copykan dulu.”
Tidak membutuhkan waktu lama, salinan biaya sudah berpindah ke tangan Aisyah, sembari mengamati kertas, dia berusaha mencari tahu identitas orang tersebut lewat petugas jaga. Namun mereka tetap memberikan jawaban yang sama.
“Maaf mbak orang tersebut meminta identitasnya dirahasiakan.”
Dengan langkah gontai Aisyah meninggalkan bagian administrasi setelah mengucapkan terima kasih. Dibukanya lembar demi lembar kertas yang ada di tangan berharap ada petunjuk yang bisa ditemukan. Diamatinya tanda tangan yang tertera di bagian bawah.
“Sepertinya dia pernah melihat tanda tangan seperti ini, tapi dimana?” Tanya Aisyah dalam hati.
Dia jadi teringat surat istirahat yang dia kirim ke kampus saat dirinya baru keluar dari rumah sakit. Buru-buru dia berjalan menuju parkiran dan membelokkan motornya ke arah kampus. Seolah tidak peduli dengan tatapan setiap orang yang ditemuinya dengan kaki yang masih tampak pincang dia menuju ruang administrasi.
“Bu Aisyah kok sudah masuk, padahal kan masih sakit?” Sapa salah seorang dosen saat berpapasan.
“Dia hanya membalas dengan senyuman,”
Kalimat yang sama pun terlontar dari beberapa orang yang ditemuinya di ruang administrasi.
“Saya mau minta tolong dicarikan arsip surat istirahat yang saya kirim bulan lalu,” pinta Aisyah kepada salah seorang petugas bagian pengarsipan.
Sambil menunggu, dia pun duduk di salah satu kursi kosong sembari berbincang-bincang dengan pegawai yang ada.
“Surat yang ini ya Bu?” Tanya seorang wanita sembari menyodorkan satu lembar surat keterangan istirahat.
Aisyah langsung membalikkan badan melirik sumber suara. Diamatinya sebentar kertas yang disodorkan, selanjutnya, dia minta tolong dicopykan satu lembar saja. Gadis dua puluh enam tahun itu pun pamit dan meninggalkan pelataran parkir kampus tempatnya bertugas.
Diamatinya kedua bukti yang berserakan di ruang tamu, pandangannya tertuju pada bagian tanda tangan. Matanya terbelalak mendapati model tanda tangan itu sama persis. Kedua tangannya menutup wajah seolah tidak percaya melihat nama dr. Fadli Alamsyah tercantum dengan jelas di surat keterangan istirahat.
Perasaannya tidak menentu, dia tidak habis pikir mengapa lelaki itu melakukan hal konyol seperti ini. Tubuh mungil itu bersandar di dinding. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya membuat hatinya gamang. (Bersambung)