Kring…kring…kring
Dering panggilan masuk dari ponselnya membuyarkan lamunannya. Diraihnya gawai yang tergeletak di lantai. Tidak ada nama tertera, hanya deretan nomer asing yang masuk. Merasa tidak mengenal nomer tersebut dia membiarkan ponsel itu terus berdering hingga panggilan itu terhenti. Tidak berapa lama gawai itu kembali berbunyi, ternyata nomer yang sama memanggil lagi.
Setengah enggan Aisyah menerima panggilan itu.
“Hallo,” Terdengar suara seorang laki-laki. Setelah mengucapkan salam. Pria itu langsung membuka percakapan.
“Apakah benar ini nomer saudara Aisyah Larasati?” Pertanyaan terlontar dari seberang sana.
“Ya betul!” Ini siapa?” Aisyah balik bertanya.\
“Fadli!”
Jantung Aisyah berdengup kencang, napasnya tertahan, suaranya terasa tersekat di kerongkongan, dia tidak bisa berbicara saat dia tahu lelaki tersebut adalah Fadli. Pria yang sedang bermain di benaknya dari tadi. Dia menarik napas panjang berusaha menguasai diri.
“Hallo,” suara Fadli menyadarkan Aisyah dari ketegangan yang dia rasakan.
Hallo, pak dokter,” jawab Aisyah dengan nada kaget. ” Darimana pak dokter tahu nomor saya?”
Tanpa menjawab pertanyaan Aisyah, Fadli balik bertanya.
“Bagaimana keadaan kakimu?”
“Alhamdulillah, sudah lumayan membaik walau masih terasa nyeri.” Ucap dengan nada bergetar.
“Kapan pak dokter ada waktu, ada yang ingin saya bicarakan,” ajak Aisyah.
Fadli tidak membuang kesempatan atas ajakan Aisyah, dia langsung mengatakan
“Bagaimana kalau sekarang, sekalian saya ingin melihat kondisi kakimu. Biar saya yang ke rumahmu, kamu kirim saja alamatnya. lewat whatshapp.
Belum sempat Aisyah menolak, namun ponsel sudah dimatikan. Akhirnya dengan berat hati dia mengirim alamat yang diminta.
Disambarnya handuk yang tergantung di tali, dia langsung menuju kamar mandi. Dia ingin terlihat fress di depan Fadli saat dia datang.
Aisyah mematutkan diri di depan cermin yang tergantung di tembok kamar. Gamis hijau muda bermotif ceria menambah kesegaran di wajah gadis dengan polesan make up seadanya.
Mobil Jazz metalik langsung melaju di jalanan yang padat menuju alamat yang tertera di ponsel. Tidak sulit mencari alamat tersebut karena berada di komplek BTN. Pria bertubuh atletis itu berdiri di depan pintu sembari merapikan penampilannya.
“Assalamualikum.”
Terdengar jawaban salam dari dalam. Pintu terbuka dan Aisyah mempersilahkan tamunya tamunya masuk dan duduk di lantai beralaskan tikar.
“Maaf harus duduk di bawah, maklum hanya ini yang ada.” Pria tampan di depannya hanya membalas dengan senyuman. Gadis itu langsung pamit untuk membuatakan minuman.
Fadli langsung berdiri saat melihat Aisyah berjalan dengan kaki tertatih keluar sembari membawa nampan yang berisi dua gelas teh ingin membantu namun dengan lembut gadis itu menolak
“Tidak apa-apa silahkan duduk,” ucapnya sambil meletakkan cangkir di depan lelaki tersebut. Mereka duduk berhadapan.
“Silahkan di minum, maaf hanya ada teh!” Suara gadis itu kembali merendah.
Keduanya larut dalam perbincangan, tampak tidak ada rasa permusuhan.
Aisyah langsung menceritakan semua yang mengganggu pikirannya selama ini dan dia menemukan jawabannya hari ini.
Tampak ketegangan di wajah dokter muda, dia sudah bisa menebak arah pembicaaraan gadis di depannya. Naumn dia tetap diam mendengar penuturan gadis yang duduk di depannya.
“Satu hal yang saya harapkan dari pak dokter yaitu kejujuran.” Ucap Aisyah penuh penegasan.
Gadis itu mengeluarkan beberapa kertas dari saku gamisnya dan memperlihatkannya kepada pria yang masih duduk terpaku.
“Bukankah ini tanda tangan pak dokter yang ada di surat keterangan istirahat yang saya minta beberapa minggu yang lalu?”
“Ya, betul,” jawab Fadli disertai anggukan.
Aisyah kembali membuka kertas yang satunya lagi.
“Silahkan pak dokter amati kedua tanda tangan yang ada di depan pak dokter, bukankah itu sama?” Sembari memberi kode dengan jarinya.
Pria itu tetap diam mulutnya seakan terkunci, dia tidak tahu apa yang harus diucapkan, rasa bersalah menggeroti hatinya.
“Apakah pak dokter yang membayar biaya rumah sakit saya, dan apa alasannya?” Tanya Aisyah dengan nada kecewa.
Fadli menyeruput teh mencoba menghilangkan kekakuannya. Untuk beberapa saat suasana hening, ditariknya napas panjang. Sambil memperbaiki posisi duduknya dia pun berucap.
“Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa. Saat itu saya tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan pak Sukri tentang biaya rumah sakit. Saya berinisiatif sendiri membayar semua tagihan rumah sakit, tanpa bertanya terlebih dahulu kepada kalian, saya khawatir kalian tersinggung.” Kembali dia menyeruput tehnya.
“Saya pikir uang ini tidak sebanding dengan apa yang sudah kamu lakukan pada keluargaku dulu, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih kami,”
Gadis itu diam sesaat, kemudian menanggapi.
“Maaf, kami memang orang miskin, namun kami tidak suka dikasihani. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada pak dokter tapi insyaallah dana yang sudah pak dokter keluarkan itu akan saya cicil sedikit demi sedikit.”
Awalnya Fadli menolak, baginya semua yang dia lakukan itu ikhlas dan tidak perlu dikembalikan. Tapi Aisyah tetap saja bersi keras akan mengembalikan uang itu sedikit demi sedikit. Dia tidak ingin berhutang jasa pada siapa pun. Lelaki itu pun menerima alasan Aisyah dengan memberi kelonggaran. Pengembaliannya sejumlah kemampuan keluarga Aisyah tanpa harus dipaksakan.
Ada rasa lega di hati Aisyah setelah dia bertemu dengan orang yang membantu biaya pengobatannya. Kecanggungan masih terasa diantara mereka. Sesekali terlihat senyum merekah di wajah keduanya. Tanpa terasa cahaya matahari sudah redup saat dokter Fadli pamit pulang. Tak lupa lelaki itu memberi kode akan menghubunginya lagi nanti.
Minggu demi minggu berlalu, bulan demi bulan terlewati. Pertemuan demi pertemuan mereka jalani membuat kedua insan ini terlihat semakin akrab. Bagi Aisyah ada hal yang tidak dapat dipungkiri tentang Fadli. Pria itu memiliki karisma yang sulit untuk di tepis, seakan ada Magnit kuat menyelimuti, membuat siapa saja yang melihatnya ingin terus memandang wajahnya. Lelaki itu dipenuhi oleh daya tarik yang sulit diterjemahkan dalam kata-kata, pesonanya terlalu kuat, wajahnya tampan tak berlebih. Kumis tipis bertengker di atas bibirnya yang tipis menambah kesan kedewasaan.
Kebaikan itu memang selalu menang dan selalu bisa menjadi jalan untuk merubah seseorang. Allah maha baik, kita tidak pernah tahu rahasia Allah untuk setiap mahluknya. (bersambung)