Sambil bersenandung kecil, Fadli memainkan kunci mobilnya, wajahnya tampak gembira, senyum terkembang. Langkahnya tertahan begitu mendengar suara wanita menyapanya.
“Ada apa gerangan putra ibu, kelihatannya senang sekali,” ucap Bu Nely menggoda.
Kepalanya langsung menoleh sang ibu yang baru keluar dari dapur. Tubuhnya langsung berbalik menuruni anak tangga yang sempat dinaikinya. Dia ingin membagi kebahagian yang ia rasakan dengan wanita yang telah melahirkannya.
“Besok, aku akan mengajak seseorang kesini untuk bertemu ibu, wanita yang akan menjadi calon menantu ibu!”
“A..pa betul yang kamu ucapkan itu nak?” Suara Bu Nely terdengar bergetar dan terbata-bata. Matanya berkaca-kaca, rasa haru dan senang bercampur jadi satu mendengar ucapan putra sulungnya.
Dia sudah lama menginginkan putranya berumah tangga, namun sampai hari ini dia tidak pernah melihat putra kesayangannya itu membawa wanita untuk diperkenalkan kepada dirinya.
“Siapa nama wanita itu?
“Besok ibu akan langsung tahu nama dan orangnya, saya harap ibu menyukainya!”
“Bagi ibu yang terpenting dia memiliki akhlak dan prilaku yang baik, miskin kaya tidak jadi soal, asal dia bisa membuatmu bahagia itu sudah cukup bagi ibu.”
Kedua ibu dan anak itu pun berpelukan, Parhan yang baru saja turun menatap kedua orang yang dicintainya dengan tatapan heran.
“Ada apa Bu?” Suara Parhan membuat Bu Nely melepas pelukannya.
“Apa yang terjadi?” Kembali Parhan melontarkan pertanyaan karena tidak mendapatkan respon.
Sembari mengusap air matanya wanita yang masih tampak cantik itu menceritakan rencana sang kakak. Pemuda berwajah mancung itu pun langsung menggoda sang kakak dengan kedipan matanya sembari menggangukkan kepala, dia memberikan jempolnya kepada sang kakak sambil tersenyum lebar, seakan tahu wanita yang akan jadi calon kakak iparnya.
***
Perut Fadli semakin meronta ingin diisi mencium aroma masakan dari dapur begitu kakinya melangkah masuk, usai melaksanakan tugas jaga di rumah sakit. Stetoskop yang selalu bertengger di leher serta jas warna putih yang menambah ketampanannya ditaruh begitu saja di atas sofa, kakinya langsung melangkah ke dapur. Dipeluknya sang bunda yang sedang asyik mempersiapkan makanan untuk calon menantunya.
Hemmm…sedap, sambil menarik napas panjang, seolah menirukan gaya Upin Ipin.
“Kamu sudah pulang rupanya, sana kamu mandi dulu, langsung kamu jemput calon menantu ibu, rasanya tidak sabar ingin melihatnya!” Ucap Bu Nely sambil mendorong putranya keluar dari dapur. Dia tidak mau diganggu oleh siapa pun, dirinya ingin mempersiapkan makanan terbaik untuk wanita yang akan jadi pendamping hidup putranya, sekaligus ibu bagi cucu-cucunya nanti.
Dengan mendengus dia pun terpaksa meninggalkan tempat itu dan langsung naik ke kamar untuk mandi dan mengganti baju sebelum dirinya menjemput Aisyah di kampus.
Azan Zuhur berkumandang, saat mobil Jazz warna silver itu memasuki pelataran parkir kampus. Tampak Aisyah baru keluar dari kelas, dia melambaikan tangan sebagai isyarat meminta Fadli menunggu. Dosen muda berwajah ayu itu pun masuk ke ruangan untuk meletakkan buku serta alat tulis yang dibawanya saat memberikan perkuliahan tadi. Dia langsung menyambar tas serta mukena yang ada di laci meja. Langkah kakinya menuju Fadli yang menunggu di bawah pohon Pinus.
“Mau salat dulu, tanya Fadli melihat mukena yang ada di tangan kanan Aisyah.
“Ehem…” jawabnya sambil menganggukkan kepala.
Keduanya berjalan beriringan menuju masjid kampus yang tidak terlalu jauh. Mahasiswa yang di temuinya selalu menggangukkan kepala saat berpapasan dengan mereka Sepanjang jalan. Seolah ada tatapan iri melihat pasangan yang tampak serasi ini.
“Rupanya kamu terkenal juga di sini.”
“Namanya juga kandang sendiri, apa bedanya dengan pak dokter saat di rumah sakit!” Ledeknya disertai tawa diantara keduanya.
Aisyah mengganti sepatunya yang sempat di lepasnya tadi sebelum salat, sambil meletakkan mukena itu kembali ke dalam laci. Mobil jazz melaju meninggalkan kampus dan berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Dinginnya AC mobil membuat cuaca panas tak terasa seakan mewakili kesejukan dalam batin mereka berdua.
Bu Nely masih di kamar saat keduanya sampai di rumah. Fadli pun meminta Aisyah duduk dulu di sofa, sementara dia naik memberitahu sang ibu dan langsung menuju ke kamar.
“Belum ada yang berubah,” gumam Aisyah sambil mengelilingi pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Ia tidak menyadari kedatangan Bu Nely yang sudah ada di belakangnya.
Penasaran dengan wajah sang menantu, dia langsung turun. Seorang wanita berbaju gamis merah marun dengan jilbab warna kuning sedang asyik mengamati foto wisuda yang terpajang di tembok.
“Maaf nak, apakah kamu calon istrinya Fadli?”
“Gadis itu mengenal suara perempuan di belakangnya, spontan dia langsung berbalik,”
“Ibu, apa kabar,” tangannya langsung menyalami wanita paruh baya yang ada di depannya.
Bu Nely tampak bengong seolah tidak percaya dengan penglihatannya.
“Ini nak Aisyah yang dulu jadi guru lesnya Parhan kan?
“Nggih Bu, udah lama rasanya kita tidak bertemu.”
“Ibu harap tidak sedang bermimpi,” ucapnya sambil menepuk pipinya untuk menyakinkan diri.
“Aduh…sakit” cubitan Fadli tiba-tiba sudah mendarat di pipi sang bunda.
“Itu tandanya ibu tidak mimpi, tapi kenyataan. Ledeknya sambil memeluk sang ibu. “Bagaimana menurut ibu calon istriku?
Bu Nely hanya menganggukkan kepala, tidak tahu apa yang harus dia ucapkan. Rasa syukur menggema di penjuru hati, setelah tahu calon mantunya.
Usai makan siang, kedua wanita ini asyik bercerita. Fadli hanya sesekali menyeka pembicaraan mereka. Ada rasa haru melihat kedua wanita yang dicintainya begitu akrab larut dalam percakapan panjang. (Bersambung)