Merajut Asa Anak Kampung (1)

Rasa perih di lututku tidak seperih sudut hati ini, ingin rasanya aku melaung segenap suara yang mengema di dada untuk mengatakan aku tidak sanggup lagi. Netraku panas tapi aku tetap bertahan jangan sampai aku mengeluarkan air untuk hal yang sepele seperti ini.

Bel panjang terdengar aku berlari, hari ini sepeda ontel tua milik Ayah tidak bisa menemani aku berangkat sekolah, sudah tua maka pantas rantai rodanya putus. Dan akhirnya aku harus berjalan kaki sejauh satu kilo untuk sampai di gedung putih abu – abuku.

Napasku terengah, aku berusaha memacu lariku jangan sampai pak Satpam menutup pintu, habis sudah usahaku berlari dari rumah untuk tetap mengikuti pelajaran hari ini.

Naas sangat naas saat berlari aku kehilangan kesimbangan, dan akhirnya air merah meleleh dari lututku yang mencium semen tortoar jalan.

“Menyusahkan saja, cepat masuk sebelum saya tutup pintu gerbang ini.” Hatiku kecut mendengar suara satpam yang menjaga pintu gerbang.

Dengan tertatih aku berjalan, merasakan sakit yang luar biasa dari lututku.

“Ya Allah kamu kena Niar, sana ke ruang UKS.” Intonasi tinggi yang selalu terdengar jika yang masuk ke dalam kelas adalah guru akuntansiku dengan jilbab panjang serta kaca mata yang selalu menghiasi hidungnya yang kurang mancung.

Aku selalu menyayangi guru yang satu ini, cerewet tetapi baik hati, pancaran netranya selalu menyejukkan. Selalu ada kata motivasi yang membuatku semangat untuk datang kesekolah. Aku ingin maju seperti yang dikatakannya, aku tidak akan mensia – siakan peluangku untuk sekolah, hanya tinggal satu semester lagi aku akan meninggalkan gedung tua yang sudah banyak memberikan pelajaran kehidupan.

Beasiswa yang aku terima sejak masuk di sini, adalah buah dari hasil kerja kerasku. Rangking kelas yang selalu menjadi kebanggaanku, berkat bu Idel yang selalu menyemagati.

Terseok aku menuju ruang UKS, setelah membersihkan lukaku dan memberikan betadind supaya tidak infeksi.

***

Semua sudah berakhir, Ayah mendapatkan surat PHK dari tempatnya bekerja sedangkan Ibu sudah dua bulan ini tidak bisa bergerak dari tempat tidur, karena strok yang menyerangnya.

“Niar,mungkin ini sudah nasib dirimu yang harus berhenti sekolah. “ ucap Ayah sendu

“Tapi Yah, hanya tinggal hitungan bulan Niar akan lulus.” Aku memelas

“”Siapa yang akan menjaga Ibu, Ayah harus mencari pekerjaan jika tidak kita akan mati kelaparan. Beasiswa tidak akan membantu dana pengobatan Ibumu Niar.” Ayah mencoba memberikan pengertian kepadaku

Ya tuhan, apakah nasibku akan seperti ini putus sekolah, batinku tidak terima tapi apa yang bisa aku lakukan.

***

Pagi ini aku berjalan lesu menuju gerbang tua yang sudah menjadi rumah keduaku hampir tiga tahun, Ayah memintaku untuk mengundurkan diri jika ada dana aku akan menyambung lagi.

“Tumben tidak terlambat.” Aku memandang satpam yang hampir seminggu ini selalu menatapku sinis karena terlambat sekolah karena harus mengurus Ibu dulu sebelum berangkat sekolah.

Aku mengucapkan salam dan terus melangkah menuju ruang majelis guru, pagi ini aku hanya meminta tolong kepada wali kelasku untuk mengajukan surat pemberhentian sekolah.

“Assalamualaikum.” Suaraku terdengar diiringi ketukan tanganku pada pintu majelis guru

“Walaikum, masuk.” Suara dari dalam majelis guru terdengar.

Aku menekan panel pintu, melangkah masuk. Senyum  bu Idel menyambutku, setelah membalas senyum Bu Idel aku melihat ke arah meja wali kelasku.

“Bu Lina berhalangan hadir, ada apa Niar.” Suara Bu Idel terdengar

Aku menghela napas yang tiba – tiba membuat dadaku sesak, bagaimana ini tidak mungkin aku menunda pengunduruan diriku. Siapa yang akan menjadi Ibu di rumah.

“Niar ada apa?” suara Bu Idel menyadarkan lamuanku.

Lambaian tangan Bu Idel ke arahku, membuat Aku melangkahkan kakiku mendekati Bu Idel.

“Duduk Niar, ada apa? cerita sama Ibu mana tahu Ibu bisa membantu.” Suara yang selalu memberikan motivasi padaku.

“Kenapa tidak membawa perlengkapan sekolah Niar.” Suara bu Idel terdengar setelah aku duduk di kursi di depannya.

“Saya mau mengundurkan dirimu.” Lirihku sambil meremas tanganku dan tatapanku merunduk tidak sanggup untuk melihat ke arah Bu Idel yang berada di depanku.

“Ya Allah kenapa mau mengundurkan diri Niar, apa yang terjadi?” sungguh aku tidak sanggup mendengar suara Ibu Idel yang seakan merobek hatiku mendengarnya.

“Ayah di PHK, ibu terserang strok Bu, tidak ada yang menjaga Ibu jadi saya harus berhenti sekolahku. Kata Ayah jika ada rezeki Niar akan kembali sekolah.” lirih aku menerangkan keadaanku kepada Bu Idel.

“Niar, jika ada jalan lain untuk Niar tetap sekolah Niar mau tetap sekolahkan.” Aku mengangkat wajahku yang sedari tadi menunduk.

“Pulanglah dulu, nanti sore ajak Ayah Niar ke rumah Ibu. Ibu tunggu.”(Bersambung)

***

Tinggalkan Balasan