Saya pernah melihat sebuah kejadian yang begitu menyedihkan dan sekaligus membuatku geram. Baru pertama kalinya saya menyaksikan hal seperti itu di depan mata kepala saya sendiri. Biasanya hanya ada dan terjadi di sinetron-sinetron saja.
Saat itu saya sedang menunggu suami di depan toko tani. Beliau ingin membeli pupuk untuk tanaman padi. Sambil menunggu, saya membaca novel yang tersimpan di gawai. Sedang asyik-asyiknya membaca, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak lantang.
“Hei! Kenapa begini caramu?” Suara itu membahana.
Saya kaget. Saya mencari sumber suara tersebut. Saya melihat seorang perempuan sedang merapikan barang bersama seorang anak laki-laki. Mereka berada di seberang jalan.
Perempuan itu kemungkinan berusia 40-an tahun sedangkan anak laki-laki itu kira-kira berumur 6 tahun. Mereka berdiri di dekat sebuah motor yang berisi belanjaan dalam beberapa ukuran kardus. Eh…, ada kantongannya juga.
‘Kira-kira bagaimana yah caranya si Ibu membawanya barang sebanyak itu?’ pikirku.
Saya penasaran. Saya terus saja memperhatikan mereka. Si ibu terlihat bingung mengatur kardus-kardus tersebut. Sesekali dia membentak anak kecil di dekatnya. Dia ingin anak tersebut membantunya.
“Eh, bantu Ibu dong! Jangan cuma berdiri di situ!” teriaknya sambil mencubit lengan si anak.
Si anak laki-laki itu hanya meringis sambil mengusap-usap lengannya yang sudah dicubit. Saya mulai gregetan dibuatnya. Ternyata dia itu ibunya. ‘Kok bisa-bisanya yah ada ibu segitu kasarnya ke anaknya sendiri?’ batinku menggumam.
Beberapa menit kemudian, saya lihat semua barang belanjaannya sudah rapi. Si ibu sudah menaiki motornya dan bersiap.
“Ayo! Naikkan dosnya dulu, baru kamu!” Perintahnya ke si anak.
Astagfirullah… Ternyata masih ada satu kardus besar lagi, pemirsa! Saya tidak melihatnya sebab kayaknya sejak tadi kardus itu disimpan di dekat motor. Ck…ck…ck…
Si anak lalu mengangkat sebuah kardus yang lebih besar daripada lebar badannya. Kedua tangannya harus dibentangkan agar dapat memeluk kardus itu. Dengan sekuat tenaga dia menaikkannya ke sadel motor. Si ibu memegangi kardus dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya memegang setir motor.
Lalu, anak laki-laki itu naik ke motor dengan susah payah. Kardus itu telah duduk manis di jok dan mengambil banyak tempat. Tentu saja si anak kerepotan mengatur posisi yang aman baginya. (Itupun sudah sangat berbahaya, menurutku).
“Ayo, cepat naik! Si ibu kembali memarahi anaknya. “Kenapa lama sekali? Tanganku pegal ini!”
Setelah merasa pas, si anak duduk sambil memeluk kardus besar di tengah, berangkatlah si ibu meninggalkan pertokoan. Dia mengendarai motornya menjauh ke arah yang berlawanan denganku. Kupandangi mereka sampai akhirnya menghilang di persimpangan jalan.
Entah mengapa, saya merasa sedih melihat seorang anak kecil yang diperlakukan kasar seperti itu. Bahkan oleh ibunya sendiri. Entah kemana sifat kasih sayang ibu itu. Apa mungkin karena beban hidup yang begitu berat sehingga dia tega membentak-bentak anaknya di depan umum?
Sungguh sampai kapanpun, kejadian itu tidak bisa hilang dari ingatanku. Padahal itu sudah terjadi beberapa pekan yang lalu. Kalau saya saja yang menyaksikan tidak bisa melupakannya, lalu bagaimana dengan anak kecil itu? Pastinya apa yang dialami akan tersimpan di memorinya dan membekas dalam hatinya.
Saya sangat menyayangkan kondisi si ibu dan perlakuannya terhadap anaknya itu. Betapa banyak orang yang menginginkan keberadaan seorang anak dalam hidupnya tetapi belum dikaruniai oleh Tuhan. Begitu banyak orang yang rela mengeluarkan dana berjuta-juta rupiah agar dapat memperoleh keturunan.
Ingin rasanya saya temui ibu itu dan mengingatkan agar tidak seperti itu. Tetapi saya terus menahan diri. Saya khawatir jika dianggap mencampuri urusan orang lain. Jangan sampai si ibu malah balik melabrak saya. Pastinya akan terjadi keributan.
Sungguh, Allah mengetahui apa yang terbersit dalam hatiku. Sungguh saya hanya bisa berdoa semoga mereka berdua selamat dalam perjalanan hingga tiba di rumahnya. Saya paham betul bahwa apa yang saya lakukan tidak berdampak langsung pada anak itu. Tetapi saya sangat berharap agar doaku dikabulkan Tuhan.
Tak bisa kubayangkan jika sekiranya terjadi apa-apa dalam perjalanan. Si ibu tidak dapat menggapai anaknya karena ada kardus besar diantara mereka. Saya yakin jika terjadi apa-apa, si ibu akan menyesali perbuatannya. (Astagfirullah, kenapa sampai ke situ pikiran saya yah? Na’udzubillah…)
Di perjalanan pulang, saya menceritakan hal tersebut ke suami. Beliau hanya mengatakan bahwa bisa jadi si ibu itu adalah seorang single parent yang memiliki beban batin yang begitu berat. Atau kemungkinan dia sedang menghadapi banyak masalah sehingga pelampiasan kemarahannya ditujukan ke anaknya. Wallahu a’lam.
Setiba di rumah, saya langsung disambut oleh kedua bocah laki-laki titipan Tuhan pada kami. Saya langsung memeluk dan menciumi mereka secara bergantian. Dalam hati saya berdoa agar anak-anakku tumbuh menjadi orang yang baik yang berguna bagi keluarga, agama, dan bangsa ini.
Saya juga mendoakan si ibu agar segera bertobat dan menyadari kesalahan yang dilakukan pada anaknya. Sebagai seorang ibu, saya yakin bahwa dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih memiliki kasih sayang. Tentu dia sangat mencintai dan menyayangi anaknya. Hanya saja kondisi kehidupannya yang menyebabkan dia berbuat kasar pada anaknya.
Begitu pula untuk anak laki-laki yang kulihat tadi, saya doakan agar suatu saat dia menjadi orang yang tegar menghadapi hidup, tidak cengeng, bisa menjadi sukses di bidang apapun, dan mampu membahagiakan ibunya. Walau bagaimanapun perlakuan si ibu, sebagai anak dia tetap harus berbakti padanya.