Menulis Bahasa Yang Hilang
Cing Ato
Betawi Cakung
Beranjak dari sering teman medsos memberikan komentar dari sebuah tulisan yang saya share. Ada beberapa teman membalas dengan bahasa Jawa. Mereka berpikir saya itu orang Jawa, saya tidak menyalahkan mereka lantaran nama saya berbau Kejawanan yang berakhiran “O”.
Terkadang saya balas chattingan mereka dengan kata “maaf bunda/ bapak saya orang Betawi/Jakarta.”
Jangankan orang Jawa, orang Betawi juga menganggap saya itu orang Jawa. Ketika saya memposting tulisan disalah satu group Betawi dan saya membubuhkan nama pena saya dengan kata “Cing Ato” ada saja di antara mereka menyinyir “Mas Ato.”
Asal muasal penamaan “Cing Ato” itu berasal dari salah satu teman kerja, kebetulan teman itu orang Betawi. Dia sering memanggil saya dengan sapaan Cing Ato. Hingga semua teman kerja memanggil Cing Ato, bahkan murid saya pun memanggil Cing Ato. Sementara di luar saya ada yang sapa dengan Cang Ato.
Kalau diselusuri sapaan “Cing” itu ditujukan untuk sapaan perempuan Betawi dan ada juga yang menggunakan sapaan “Cing” itu untuk lelaki, tapi sedikit. Sapaan”Cing” digunakan untuk menyapa adik perempuan dari saudara orang tua kita dan sapaan”Cang” untuk adik lelaki orang tua kita, tapi ada juga yang menggunakan sapaan “Mamang”. Sementara untuk orang tua sendiri dengan sapaan”Baba dan Nyak” dan ini juga digunakan untuk sapaan untuk kakak dari orang tua kita.
Di samping alasan di atas, ada juga seorang teman sering menulis di medsos dengan bahasa Jawa bahkan dia juga menulis buku berbahasa Jawa.
Dari kedua alasan tersebut, saya berpikir kenapa saya tidak menulis dengan bahasa Betawi? Terus menulis apa? Lama merenung akhirnya saya putuskan menulis lewat cerita atau novel. Kebetulan saya sering nonton “Dul Anak Sekolahan” dan sinetron lainnya.
Menulis dengan bahasa Betawi bukan sebuah pekerjaan yang mudah, karena bahasa Betawi hampir punah ditelan zaman. Dahulu kalau sedang berkumpul di acara Tahlilan atau sedekahan yang lain, banyak orang tua yang menggunakan bahasa Betawi. Saya pun mendengarkan dan saya paham walaupun bahasa tersebut saya tidak pernah temukan dalam dialek sehari-hari.
Setiap daerah mempunyai ciri khas tertentu, hingga setiap daerah ada perbedaan bahasa, tapi hanya sedikit saja.
Saya kesulitan untuk menulisnya, karena saya sendiri sudah hampir lupa dengan bahasa sendiri. Tapi saya mencoba untuk meraba-raba dalam kegelapan. Langkah pertama saya tulis apa yang saya ingat terlebih dahulu, yang terpenting saya tulis saja sebuah cerita. Setelah jadi baru saya edit, untuk memperkaya bahasa Betawi saya coba melihat seni budaya Betawi seperti; topeng, lenong Betawi, ceramah ulama Betawi, masuk berbagai group Betawi, tulisan-tulisan Betawi dan terakhir kamus-kamus Betawi on-line maupun of-line. Bahkan terkadang langsung ngobrol dengan orang Betawi langsung. Kebetulan supir saya orang Betawi tulen, dia itu encang saya sendiri. Ya, terkadang saya mengorek dari beliau.
Setelah jadi tulisan butuh beberapa pengeditan, karena sambil berjalan selalu saja mendapat bahasa Betawi yang hilang.
Memang butuh waktu untuk menyempurnakan tulisan yang sempurna.
Saya menulis bahasa Betawi yang saya ingat hanya sekedar ingin memahat dalam sebuah buku cerita hingga enak dibaca. Dan yang jelas bahasa Betawi tidak akan hilang ditelan zaman. Minimal anak keturunan tahu bahasa Betawi lewat apa yang ditulis di buku atau novel.
Tentunya masih banyak kekurangan di sana-sini, maklum menulis bahasa yang hilang butuh waktu dan tenaga ekstra, sementara saya dalam keterbatasan. Minimal saya ikut sedikit andil dalam melestarikan budaya Betawi.
🙏🙏🙏
Salam literasi
Cing Ato
Betawi Cakung.