Harapan Semu Kurikulum Baru

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2022 ini  telah mengeluarkan kurikulum paradigma baru, yang  diberi nama Kurikulum Prototipe. Kurikulum ini telah  diterapkan secara terbatas pada kelas tertentu di sekitar 2.500 satuan pendidikan (sekolah penggerak) mulai dari jenjang pendidikan dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), hingga sekolah menengah atas (SMA, serta sekolah menengah kejuruan pusat keunggulan (SMK-PK), (mediaindonesia.com).

Kurikulum Prototipe tak dipandang oleh Kemendikbudristek sebagai kurikulum baru, namun lebih sebagai penyempurna dari Kurikulum 2013. Kurikulum ini  sebagai  pilihan acuan pembelajaran bagi satuan pendidikan yang berminat atau siap. Dalam pelaksanaannya, sekolah bebas memilih menerapkan kurikulum 2013, Kurikulum Darurat (Kurikulum 2013  atau Kurikulum Prototipe ini.

Kontadiktif dengan adanya pilihan bagi penerapannya, Nadiem pernah mengatakan tentang target implementasinya. Dalam dialog Merdeka Belajar Episode Tujuh pada Februari 2021, Nadiem mengatakan, tahun ini sebesar 2.500 lembaga sekolah. Tahun kedua 10.000, tahun ketiga 20.000, dan tahun keempat 40.000, di tahun-tahun berikutnya, mayoritas sampai 100% akan menjadi sekolah penggerak.” (kemdikbud.go.id).

Dari statemen tersebut nampak  bahwa semua sekolah akan ditargetkan mengubah kurikulumnya dengan Kurikulum Prototipe ini.   Pertanyaannya, akankah kurikulum baru ini mampu menjawab problem pendidikan saat ini?

Berubah Dengan Esensi Sama

Digadang-gadang bisa mendukung pemulihan pembelajaran akibat pandemi, kurikulum ini memiliki beberapa karakteristik utama, yakni: Pembelajaran berbasis proyek untuk pengembangan soft skills dan karakter (iman, takwa, dan akhlak mulia; gotong royong; kebinekaan global; mandiri; nalar kritis; kreativitas).

Fokus pada materi esensial, merupakan cirikhas dari kurikulum ini,  sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi; Guru memiliki  ruang yang fleksibilitas dalam melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.

Perubahan ini seakan memberikan harapan baru bagi dunia pendidikan. Sebagaimana kurikulum 2013 (K13)yang berjuluk kurikulum karakter, seakan bakal membuahkan  sejumlah karakter mulia pada out put sekolah. Realitasnya  karakter yang dimaksud gagal didapat saat  kurikulum berjalan, ditandai dengan madegnya aktifitas penilaian atas karakter siswa.

Sebenarnya K13 dan Kurikulum prototope tak jauh beda, karena keduanya lahir dari paradigma  yang sama. Sama dengan kurikulum sebelumnya,  kurikulum prototipe ini tetap kental dengan sekuler kapitalistis. Adapun perubahan yang dimaksud terhenti pada tataran teknis, tidak menyentuh akar masalah.

Beberapa pakar dan pemerhati pendididkan memberikan kritikan atas perumusan Kurikulum Prototipe ini pun
Praktisi pendidikan Indra Charismiadji mengaku belum pernah melihat naskah akademik dari kurikulum baru itu sehingga ia menilai belum ada kajian akademis dari pembentukannya, baik dari dasar filosofis, akademis, maupun pertimbangan lainnya. (republika.co.id). Padahal, kurikulum ini sudah diterapkan di 2.500 sekolah penggerak.

Mengkritisi Kurikulum Prototipe

Konsep K Prototipe ini berlandaskan pada sekularisme. Pendidikan yang sekuler materialistis ini merupakan produk dari ideologi sekularisme. Kurikulum sekuler sebelumnya  terbukti telah gagal mengantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang manusia sholeh yang taat pada Allah. Kurikulum yang ada selama ini justru melahirkan generasi korup.

Hal ini terjadi  karena pendidikan sekuler bertujuan sekadar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistis dalam pencapaian tujuan hidup. Karena islam dijauhkan dari kehidupan, maka yang terlahir adalah  budaya masyarakat  yang  hedonis. Masyarakat bercorak individualistis dalam interaksi sosialnya, serta sinkretis dalam agamanya.

Sekalipun disebutkan kurikulum ini akan berfokus pada pembentukan karakter dan kompetensi, karakter yang dimaksud adalah karakter sekuler. Apalagi jika kita kaitkan dengan peta jalan pendidikan yang telah dicanangkan yang tidak lagi mencantumkan frasa agama sebagai profil pelajar yang ingin diwujudkan.

Asas sekuler memengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya pada proses penguasaan tsaqafah Islam dan pembentukan kepribadian. Padahal Islam sebagai agama mayoritas yang ada di negeri ini.

Penerapan Kurikulum Prototipe ini  sebagai solusi dalam membendung intoleransi yang dianggap sebagai dosa nomor satu dalam dunia pendidikan. Intoleransi bisa bermakna sebagai sikap berpegang teguh dan menerapkan Islam dalam segala aspek kehidupan. Sudah bisa diprediksi, kurikulum yang ditargetkan menjawab learning loss akibat pandemi ini  akan makin menghilangkan identitas keislaman peserta didik. Hal ini sejalan dengan misi deradikalisasi yang telah dicanangkan. Padahal, proyek deradikalisasi pada faktanya sama dengan sekularisasi, yakni menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam kafah.

Dalam konsep ini guru diarahkan fokus pada materi esensial dengan adanya  penyederhanaan di banyak aspek. Mata pelajaran IPA (dan IPS pada jenjang SD kelas 4, 5, dan 6 yang selama ini terpisah, pada Kurikulum Prototipe akan diajarkan secara bersamaan melalui IPAS.

Selanjutnya, di SMA yang sebelumnya terdapat penjurusan seperti IPA, IPS, dan Bahasa, pada Kurikulum Prototipe ada perubahan. Di kelas 10 pelajar hanya menyiapkan diri untuk menentukan pilihan mata pelajaran di kelas 11. Di kelas 11 dan 12 pelajar mengikuti mata pelajaran dari kelompok mata pelajaran wajib, dan memilih mata pelajaran dari kelompok MIPA, IPS, Bahasa, dan keterampilan vokasi sesuai minat dan bakat. Perubahan ini tentu akan berefek pada kesulitan bagi mereka ketika belajar di bangku kuliah, karena tidak dibekali dengan konsep dasar dari jurusan yang dipilihnya.

Apakah ada jaminan pengaturan ini akan membuat para peserta didik mampu menjadi pembelajar sejati? Atau justru membuat mereka makin tumpul dalam penguasaan ilmu pengetahuan? Di SMK, dunia kerja  ditegaskan dapat terlibat dalam pengembangan pembelajaran. Artinya, dunia industri yang dikuasai para kapitalis, makin mudah mengarahkan potensi anak didik agar terserap menjadi buruh di dunia industrinya.

Adanya fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan murid, atau pembelajaran berorientasi murid di Kurikulum Prototipe ini juga rawan menghasilkan kesenjangan. Hal ini memang sejalan dengan filosofi kebebasan pada sistem ekonomi kapitalisme yang menghasilkan kesenjangan antara si kaya dan miskin.

Jika pembelajaran berorientasi murid ini tidak didukung sistem pendidikan yang benar (termasuk ketersediaan guru kompeten), meniscayakan terjadinya kesenjangan pendidikan. Walhasil, problem pemerataan kualitas pendidikan akan tetap ada, bahkan makin nyata. Dengan demikian, kurikulum ini tidak bisa mengatasi masalah pendidikan.

Politik Pendidikan Islam

Paradigma pendidikan dalam sistem Islam sangat berbeda dengan sistem Kapitalisme. Pendidikan dalam Islam merupakan upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka ideologi Islam. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu oleh ideologi atau akidah Islam.

Tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan SDM berkepribadian Islami, yaitu menggunakan cara berpikirnya berdasarkan pada nilai-nilai Islam, serta perilakunya sesuai dengan  napas Islam. Metode pendidikan dan pengajaran dalam Islam akan dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, namun memperhatikan agar ilmu yang diberikan itu dapat mengubah perilaku.

Kurikulum terbangun di atas landasan akidah Islam dimana pelajaran dan metodologinya tersusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu untuk memahami tsaqafah Islam dan nilai-nilai keislaman menempati porsi besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai tingkat kebutuhan dan tidak terikat jenjang pendidikan tertentu. Generasi yang akan terbentuk dengan sistem ini adalah sosok yang mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus memahami nilai-nilai Islam, serta berkepribadian Islam yang utuh.

Masyarakat yang telah terbiasa hidup didalam kapitalistik ini musti dipahamkan tentang sistem pendidikan islam. Bertahan pada paradigma kurikulum  sekuler yang kapitalistik, tertutup celah guna menyelesaikan problematika pendidikan. Kita hanya bisa berharap perubahan signifikan dalam pendidikan manakala diatur dengan syariat Islam.

Tinggalkan Balasan