Mimpi Buruk Perempuan di Balik Naiknya Indeks Pembangunan

Terbaru0 Dilihat

Mencermati statetemen Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA Lenny N. Rosalin dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (6-1-2024) cukup menggelitik.
“Perempuan makin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender.”

Menurutnya, perempuan berdaya akan menjadi landasan kuat dalam pembangunan bangsa. Keterwakilan perempuan dalam lini-lini penting dan sektoral juga ikut mendorong kesetaraan gender di Indonesia yang semakin setara. (Republika, 6-1-2024).

Pertanyaannya, benarkah meningkatnya Indeks Pemberdayaan gender turut meningkatkan kualitas hidup perempuan, mengingat realitasnya kondisi kqum perempuan kian terpuruk?

Realitas Problem Perempuan

Perempuan, sebuah topik yang seakan tak habis habisnya untuk dibicarakan. Tak terkecuali diangkat dari sisi pemberdayaan. Hari ini perempuan  menjadi program andalan untuk meningkatkan perannya dalam pembangunan.  Keterlibatan perempuan dalam politik, seperti menjadi anggota legislatif dan eksekutif kerap menjadi tolok ukur keberhasilan pemberdayaan perempuan. Juga keterlibatan mereka pada ranah  publik, seperti bekerja dan menjadi leader suatu organisasi.

Pemberdayaan perempuan dalam kacamata kapitalisme diarahkan pada ukuran materi. Karenanya kaum ibu ini dianggab berdaya bila mandiri,  punya penghasilan, memiliki karier dan menjadi pelaku ekonomi. Perempuan demikianlah yang dianggap berkontribusi bagi pembangunan

Padahal bila kita cermati  fakta yang ada, meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender tidak berkorelasi positif dalam menuntaskan problem yang mendera pada perempuan. Indeks Pemberdayaan Gender naik, tetapi  angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual, kasus bunuh diri juga bertambah. Data berikut sebagai pendukungnya.

Pertama,   Statistik Indonesia mencatat, ada 516.344 kasus perceraian  pada 2022. Perselisihan dan pertengkaran menjadi faktor penyebab perceraian, dengan Jumlah mencapai 284.169 kasus. Angka itu setara 63,41% dari total faktor penyebab kasus perceraian yang ada.

Perceraian merupakan kasus yang tak sepele dan pasti berdampak luas pada kehidupan perempuan. Perempuan menjadi single parent  yang harus mengurus  anak-anaknya  Mereka juga harus menjadi tulang punggung sekaligus mendidik anak-anaknya. Belum lagi masalah mental psikologis
yang muncul pada anak-anak yang tumbuh dalam keluarga broken home. Mereka butuh pendampingan yang menambah berat tugas seorang ibu.

Apakah beban berat ini tersolusi melalui pemberdayaan dengan bekerjanya perempuan? Justru bekerjanya kaum perempuan  akan memicu masalah baru lainnya, seperti stres karena beban yang dipikul, anak yang tidak terurus dengan baik, emosi labil, depresi, bahkan hingga bunuh diri.

Kedua, Kemen PPPA mencatat, sepanjang 2023  total jumlah kasus kekerasan di Indonesia mencapai 18.466 kasus. Dari angka tersebut  korban perempuan  tertinggi  yaitu mencapai 16.351 orang.

Di balik meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender, masih banyak perempuan yang meregang nyawa di tangan suaminya. Kehidupan sekuler kapitalisme membuat lemah iman kontrol, mudah gelap mata dan nyawa menjadi tak berharga.

Akibat Kapitalisme Sekuler

Tingginya angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual, cykyp membuktikan bahwa di bawah sistem sekuler kapitalisme, perempuan menderita. Narasi pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender yang terus dikampanyekan sebagai menyelamatkan perempuan dari diskriminasi dan penindasan, justru malah menjadi bumerang bagi mereka.

Pemerdayaan perempuan untuk mandiri secara ekonomi dan berkarier di ranah publik justru menimbulkan masalah baru. Meningkatnya kasus gugat cerai menhyertai dan mengancam ketahanan keluarga.

Kapitalisme memandang perempuan sebagai kelompok marginal yang perlu diangkat dan disetarakan. Bahkan pegiat gender berani mengutak-atik hukum Islam seputar perempuan.

Solusi Islam

Pemberdayaan perempuan dalam perapektif islam tidak dilihat dari materi dan ekonomi. Islam juga tidak memandang perempuan sebagai kaum pinggiran atau warga kelas dua

Islam melihat perempuan sebagai sosok yang wajib dimuliakan dan dihormati. Perannya sebagai ibu dan manajer rumah tangga justru menjadikan posisinya mulia. Mereka merupakan pasukan mencetak generasi Islam telah menempatkan perempuan dalam kemuliaan dan keutamaan. Potensi perempuan yang cenderung penyayang dan lemah lembut menjadikan peran domestiknya sangatlah penting bagi lahirnya sebuah peradaban.

Islam menjadikan perempuan sejahtera dan tetap terjaga fitrahnya melalui mekanisme
berikut. Pertama, Islam menempatkan perempuan pada posisi mulia, yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Posisi ini sangat strategis sebab masa depan generasi dan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh posisi ini. Proses pendidikan pada anak yang dilakukan oleh kaum ibu menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa.

Adapun kewajiban mencari nafkah, hanya dibebankan pada kaum laki-laki. Bukan untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan. Peran ini diberikan sesuai dengan kemampuan fisik dan tanggung jawab yang diberikan Allah Swt. pada laki-laki.

Adapun yang kedua, negara menjamin kebutuhan pokok setiap individu dengan kemudahan akses dalam layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan Adapun dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, negara memberikan kemudahan bagi para pencari nafkah (laki-laki) dengan menyediakan lapangan kerja, memberi bantuan modal usaha. Juga, membekali kaum laki-laki keterampilan yang membantu mereka melakukan pekerjaan. Hal ini ditetapkan agar kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki dapat tertunaikan.

Ketiga, dalam peran publik, perempuan boleh menjadi dokter, perawat, guru, dan lainnya dengan tetap mengutamakan peran domestiknya sebagai ibu. Laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam mengenyam pendidikan, menuntut ilmu, mengajarkan ilmu, dan berdakwah. Adapun jika terdapat ketentuan hukum yang berkaitan dengan predikatnya sebagai laki-laki dan perempuan, hal itu tidak bermakna tidak setara.

Allah Swt. memberikan diferensiasi atas peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan pernikahan dan bermasyarakat tidak didasarkan pada pengertian hierarki gender, tetapi pada apa yang diperlukan secara efektif untuk mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat secara proporsional dan berkeadilan. Alhasil, tercipta kehidupan yang harmoni dan sinergi.

Ketiga, negara melaksanakan sistem pendidikan dan sosial masyarakat yang berbasis akidah Islam. Dengan penerapan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam akan terwujud generasi berkepribadian Islam yang tidak mudah terseret pada kemaksiatan. Begitu pun dengan sistem sosial masyarakat yang berdasarkan syariat Islam mampu membentuk ketakwaan komunal sehingga mencegah individu berbuat maksiat atau kriminal.

Keempat, negara memberlakukan sistem sanksi Islam yang berefek jera. Maraknya kriminalitas akibat sanksi yang tidak tegas. Dengan sanksi Islam akan mencegah individu bertindak kriminal. Jika terjadi pelanggaran, sanksi Islam akan membuat pelakunya tidak mengulangi perbuatannya kembali.

Demikianlah, sistem Islam kafah mampu memberi jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi perempuan dan generasi. Hanya sistem Islam yang mampu memuliakan perempuan dan generasi.

 

Tinggalkan Balasan