Perpanjangan Masa Jabatan Kades, Demi Langgengkan Politik Oligarki?

Terbaru172 Dilihat

Sumber image: surya.co.id

 

Aksi demo yang dilakukan oleh sekumpulan massa di depan Gedung DPR beberapa hari lalu nampak berbeda. Bila biasanya pengunjuk rasa berasal dari kalangan buruh atau mahasiswa, kali ini ribuan kepala desalah pelakunya. Para pimpinan desa itu rela berpanas-panasan demi menyampaikan harapan. Sebuah gambaran tentang buruknya jalur komunikasi daerah ke pusat hingga penyaluran pendapat  harus dilakukan lewat jalanan.

Apakah yang mereka perjuangkan?  Apakah demi kemaslahatan rakyat? Alih-alih buat kepentingan rakyat, justru poin penting pada aksi itu adalah menuntut perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Mereka mendesak revisi pada pasal 39 UU 6/2014 tentang Desa. Tak pelak  aksi demo yang dilakukan segelintir elite pemerintahan desa ini pun menuai banyak kritik. Pasalnya, selain dianggap tidak penting, konten demo juga berpotensi untuk dimanfaatkan buat melanggengkan oligarki, yaitu terpusatnya kekuasaan  di tangan segelintir orang.

Alasan Pembangunan Tak Tuntas

Dalam UU Desa disebutkan bahwa masa jabatan kades adalah enam tahun dan dapat dipilih kembali hingga tiga periode. Artinya, seorang kades bisa menjadi orang nomor satu di desa hingga tempo 18 tahun. Apakah ini terlalu panjang? Salah seorang Kades Poja, NTB, Robi Darwis berpendapat, masa jabatan kades selama enam tahun terlalu singkat. Menurutnya, hal itu lantaran adanya friksi politik yang terjadi saat pemilihan kades. Hal demikian membuat konsolidasi antar elemen tokoh desa pasca kemenangan menjadi begitu alot. (Tirto, 19-1-2023).

Politisi PDIP Budiman Soejatmiko juga berpendapat bahwa konflik sosial di awal kemenangan pilkades menyebabkan masa efektif kades hanya 2 hingga 3 tahun dari 6 tahun menjabat. Walhasil, pembangunan desa dianggap tak tuntas. Maksudnya, pembangunan, belum selesai tetapi sudah harus berganti pemimpin. Padahal, pelaksanaan  pemilu tidaklah enteng, butuh konsentrasi dan biaya yang tidak sedikit. Wajar bila pemilihan kades enam tahun sekali dianggap boros dan kurang produktif guna membangun desa.

Yang menarik, unjuk rasa di depan itu langsung direspon oleh pemimpin negeri demokrasi ini . Tuntutan pendemo ini langsung diakomodasi dan dijanjikan akan ada revisi UU Desa yang ada. Presiden menyepakati perubahan tersebut dengan alasan adanya perbedaan dinamika di desa  dengan di kota, sehingga tuntutan para kades dianggap masuk akal. Aneh dan sangat  berbeda  dengan aksi demo yang dilakukan oleh kaum buruh dan mahasiswa di momen sebelumnya. Jangankan tuntutannya dipenuhi, ditemui saja mereka tidak. Alasan perbedaan antara dinamika didesa dan kota juga terlalu mengada-ada.

Bagaimana dengan Korupsi Desa?

Beredar rumor politik bahwa jabatan kades merupakan  lahan basah untuk meraih harta. Rumor  ini  ternyata terbukti dengan fakta maraknya tindak korupsi. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam laporan hasil pemantauan tren penindakan korupsi pada semester I tahun 2022,  terdapat 134 dari 252 kasus yang terungkap adalah kasus penyalahgunaan anggaran, dan 62 dari 192 kasus menyasar pada pemerintahan desa.

Pada 2021, angka korupsi desa meningkat secara konsisten dengan total tersangka 245 orang dari tahun sebelumnya, yaitu172 orang. Angka ini mengkonfirmasi betapa banyaknya kades yang tersandung kasus korupsi. Logikanya, bila masa masa jabatan diperpanjang, potensi praktek rasuah pun akan semakin besar.

Kendaraan Politik Baru?

Tahun politik kian dekat. Analis politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah, mengatakan bahwa kebijakan penambahan masa jabatan kades patut dicurigai sebagai bagian dari kebijakan gratifikasi, terlebih situasi menjelang pemilu saat ini. Dugaan ini masuk cukup masuk akal,  mengingat dengan adanya “gerakan kades mendukung tiga periode” beberapa waktu lampau. Bisa jadi kebijakan ini  bertujuan untuk membuka peluang kekuasaan pemerintahan di pusat.

Jabatan kades pun berubah menjadi kendaraan politik baru di luar parpol. Sangat mungkin pula terjadi simbiosis mutualisme  antara parpol berkuasa dan para kades. Keuntungan akan sama-sama didapat, yaitu  berpeluang menduduki kursi jabatan lebih lama. Jadilah kebijakan ini rentan dipolitisasi oleh segelintir elite berkuasa. Di titik inilah politik oligarki menguat.

Model pemerintahan desentralisasi  awalnya ditujukan untuk percepatan pembangunan desa. Namaun dalam perjalanannya, sistem ini akan menghasilkan “raja-raja kecil” di daerah. Bila kekuasaan daerah berkolaborasi dengan pusat, oligarki jelas makin menguat. Menguatnya oligarki akan membawa pada situasi  meningkatnya kebijakan zalim, karena mereka bebas dari monitoring.

Demokrasi, Potensial  Langgengkan Oligarki

Sepintas, tuntutan perpanjangan masa jabatan ini nampak sangat logis, mengingat singkatnya masa jabatan memang berpeluang mementahkan program kades sebelumnya. Begitu pula alasan pemborosan, jelas pilkades enam tahunan  lebih boros ketimbang  sembilan tahunan. Hanya saja, problemnya bukan pada masa jabatan atau ada dan tidaknya pilkades. Masalah itu muncul dari buruknya pengurusan pejabat desa terhadap warganya. Berapa pun lama masa jabatannya, jika sistem politik yang menjadi pijakannya adalah demokrasi, kebijakan yang lahir dipastikan gagal dalam mewujudkan kemaslahatan bagi rakyat.

Setidaknya ada empat alasan, mengapa sistem politik demokrasi menyebabkan para pemimpin gagal mengurusi umat. Pertama, sistem demokrasi  menghasilkan  pejabat yang miskin visi. Mereka akan membuat kebijakan sekedar sesuai kepentingan diri dan partainya. Pasalnya, politik transaksional yang menyokong berjalannya partai, membuat cukong politik  yang harus diladeni kepentingannya. Mereka adalah para pemilik modal penyuntik dana buat naik tahta jabatan yang  minta balas jasa saat jabatan tergenggam. Wajar jika pembangunan yang ada bukan untuk kemaslahatan umat.

Kedua, sistem demokrasi lahir dari pemisahan agama dari kehidupan. Para politisi tidak boleh membawa agama dalam berpolitik. Akibatnya aneka praktek haram dianggap biasa. Gratifikasi, suap, dan jenis korupsi lainnya selalu tumbuh subur dan terpelihara. Pantas saja pejabat kehiilangan empati dan nurani. Mereka tega menuntut kenaikan gaji dan fasilitas fantastis saat ada rakyatnya sengsara menahan kelaparan.

Ketiga, struktur pemerintahan negara demokrasi cenderung  “gemuk”  Contohnya, hampir disemua lewel jabatan pimpinan dilengkapi dengan wakil, dengan tugas yang tidak penting dan terjadi pemborosan. Disamping itu juga membuat birokrasi menjadi makin rumit.

Keempat, spirit desentralisasi pada sistem demokrasi meniscayakan lahirnya “raja-raja daerah” serta minus meratanya pembangunan di berbagai daerah. Daerah dengan sumberdaya alam melimpah berpeluang maju sementara  desa yang miskin SDA cebserung terbelakang. Hal ini terjadi karena mekanisme distribusi kekayaan tidak dijamin oleh negara, karena dalam sistem demokrasi peran negara hanya sebatas regulator.

Islam Memberi Harapan Solusi

Rumit dan ruwetnya persoalan pemerintahan ini sebenarnya  solusinya telah tersedia di dalam Islam. Dengan kesempurnaan sistemnya yang berasal dari dzat pencipta seluruh makhluk, Islam akan memunculkan para pemimpin yang peduli umat, termasuk pejabat di level desa. Islam mengajarkan, satu-satunya motivasi dalam menjabat hanyalah keridaan Allah Taala, bukan yang lain. Apa pun yang ditetapkan akan senantiasa menyesuaikan dengan syariat Islam. Selain itu  pemimpin dalam sistem Islam juga takut untuk tidak amanah dalam menjalankan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.

Kuatnya sistem Islam  menjadikan politik transaksional melenyap  dan otomatis memutus masuknya para cukong-cukong politik. Dari sini akan terlahir kebijakan yang berorientasi pada pelayanan umat tanpa ada intervensi dari pihak luar. Sistem Islam sifatnya sentralistis juga menjadikan komando terpusat pada pusat, yaitu dibawah kepemimpinan seorang khalifah.

Sungguh, dalam Islam, masa jabatan kades seperti ini tidak akan menjadi soal karena fokus utamanya adalah melayani umat. Jika kita ingin mendapatkan kades yang peduli umat, jalan satu-satunya adalah mengubah sistem politik demokrasi menjadi sistem Islam dan ini hanya bisa dilakukan melalui sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah.

 

Tinggalkan Balasan