Pengelolaan pangan dan pertanian suatu negara akan aman bila mampu mewujudkan tiga tujuan berkut, yaitu menjamin pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat, menjaga kestabilan harga, dan berdampak positif pada kesejahteraan para petani. Kemampuan merealisasikan ketiga hal di atas sangat dipengaruhi oleh politik pangan yang diterapkan negara. Adapun di negeri ini, gejolak harga beras masih kuat terasa, belum mereda. Hal ini mengindikasikan gagalnya politik pangan pada sistem kapitalisme yang ada.
Harga beras yang terus naik selama lebih dari setahun menyeret pada naiknya harga pangan yang lain. Namun jeritan rakyat akibat dari mahalnya harga pangan belum juga ada tersolusi dengan tuntas. Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah gagal menyelesaikan problem. Bahkan potensi sumber daya pertanian dan pangan yang dimiliki Indonesia juga tidak mampu dikelola dengan baik. Harapan untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan masih terhenti impian.
Impor Deras, Harga Tetap Mahal
BPS Indonesia mencatat, sepanjang 2023 pemerintah telah melakukan impor beras sebanyak 3,06 juta ton. Angka ini meningkat tajam hingga 613,61% dibandingkan 2022. Di tahun 2024 ini Presiden Jokowi meminta Badan Pangan Nasional untuk menugaskan Bulog melakukan importasi beras sebesar 2 juta ton untuk pemenuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Selama bulan Januari 2024 saja sudah dilakukan impor yang nilainya mencapai USD279,2 juta. Angka tersebut melonjak sebesar 135,12 persen secara tahunan dibandingkan Januari 2023 yang sebesar USD118,7 juta, (InfoBankNews).
Ironisnya, di tengah derasnya importasi beras, harga tak kunjung turun. Bila dibandingkan dengan tingkat konsumsi beras rakyat Indonesia yang diperkirakan 35,3 juta ton per tahun, maka jumlah pasokan dari produksi dan impor harusnya sudah mencukupi kebutuhan. Namun mengapa harga beras tetap mahal?
Panel harga Badan Pangan nasional hingga 15 Februari menginfokan harga beras premium dari berbagai provinsi mencapai Rp15.900/kg. Sedangkan beras medium rata-rata harganya Rp13.950 /Kg. Selain mahal, beberapa hari ini beras langka di pasaran, baik di retail modern maupun di pasar tradisional, (CNNIndonesia).
Kebijakan Tak Sentuh Akar Masalah
Telah banyak program yang dijalankan pemerintah untuk mengatasi masalah seputar beras. Mulai dari penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP hingga bagi-bagi bansos beras 10 kg per keluarga. Juga program kontroling dan monitoring harga yang dilakukan oleh satgas pangan. Namun, harga tidak juga kembali stabil.
Hal ini mengindikasikan bahwa aneka kebijakan tersebut sebatas bersifat teknis dan tidak menyentuh akar masalah. Pemerintah berupaya menyelesaikan gejolak harga, namun tidak menyolusi penyebabnya. Di samping itu, ada kebijakan bantuan beras yang bercampur dengan agenda politik praktis jelang Pemilu. Program ini bukanlah untuk menyolusi persoalan rakyat, tapi demi kepentingan politik praktis.
Di sisi lain, naiknya harga beras tidak serta merta memberikan kesejahteraan petani, seperti yang dinyatakan sejumlah pejabat. Sebab problem mendasar tidak sejahteranya petani berpangkal dari kemiskinan struktural yang diciptakan oleh sistem kapitalisme liberal. Di sektor pertanian pun banyak ketimpangan yang dialami petani sehingga mereka selalu berada dalam keadaan terhimpit. Mulai dari kesulitan mendapatkan saprotan, kepemilikan lahan yang sangat minim hingga harga penjualan panen yang tidak menguntungkan.
Problem Utamanya, Politik Pangan Kapitalisme
Cara pandang yang hanya melihat persoalan ini di tataran teknis menjadi penyebab kenapa masalah tidak teratasi. Akhirnya masalah seputar pemenuhan pangan terus terjadi secara periodik
Jika ditelaah mendalam kita akan menemukan bahwa penyebab ruwetnya persoalan pangan berpangkal dari pengelolaan pangan yang kapitalistik neoliberal. Bukti penerapan sistem ini adalah ketiadaan peran negara yang sebenarnya. Negara hadir sekadar sebagai regulator dan fasilitator antara pengusaha dan rakyat, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Masalah riayah berbagai urusan rakyat diserahkan kepada korporasi. Sudah pasti korporasi dalam peran pengelolaan untuk mencari keuntungan.
Hadirnya lembaga-lembaga negara seperti Bulog di tengah rakyat bukan sebagai pelayan dan pengurus, tapi sebagai pebisnis. Bulog layaknya korporasi yang bersaing dengan korporasi swasta untuk mencari keuntungan. Paradigma bisnis inilah yang menghalangi Bulog untuk melakukan penyerapan gabah petani.
Desentralisasi kekuasaan yang menjadi bagian dari sistem politik demokrasi kapitalisme semakin memperunyam persoalan pangan. Desentralisasi telah melemahkan fungsi distribusi pangan antar daerah sehingga mengganggu kestabilan harga.
Sistem ekonomi kapitalisme berbasis liberal dengan mekanisme pasar bebas meniscayakan muculnya korporasi-korporasi raksasa yang bisa mengakses modal sangat besar. Korporasi ini bisa menguasai seluruh rantai usaha pertanian, dari produksi-distribusi-konsumsi bahkan importasi. Korporasi raksasa ini mengambil kendali terhadap pasokan pangan, harga pasar dan juga tingkat konsumsi masyarakat.
Demikianlah problem utama terus naiknya harga beras adalah penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme Praktik sistem ekonomi kapitalisme telah menimbulkan ketimpangan ekonomi.
Politik Pangan Islam Menstabilkan Harga
Islam memiliki paradigma yang berbeda secara diametral dengan sistem Kapitalisme. Islam memiliki pandangan dalam mengatur pangan sesuai aturan Allah sehingga mampu merealisasikan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat.
Politik ekonomi Islam bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat. Sektor sandang, pangan dan papan menjadi titik sentral pemenuhannya.
Dalam Islam, tanggung jawab pengaturan pangan berada sepenuhnya di pundak negara, yakni Khilafah. Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya, _“Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Oleh karenanya haram melimpahkan penguasaan kepada korporasi untuk pengaturan pangan.
Kemanpuan negara dalam mengendalikan harga ditentukan penguasaannya pada aspek pasokan. Oleh karena itulah negara wajib hadir mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi. Di aspek produksi, negara menjamin tersedianya pasokan dengan produksi dalam negeri untuk konsumsi dan cadangan pangan negara. Kebijakan pertaniannya dijalankan lewat strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian termasuk penerapan hukum pertanahan. Kebijakan ini akan menjamin seluruh lahan-lahan pertanian berproduksi secara optimal dan kepemilikan juga mudah didapatkan. Terkait penguasaan pasokan, harus dipastikan negara akan memiliki data yang akurat dan memadai.
Sedangkan pada aspek distribusi, negara akan hadir mengawasi para penjual dan pembeli agar terwujud sistem distribusi dan pembentukan harga yang wajar, melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel dsb. Disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi dalam Islam. Pengawasan ini betul-betul serius dilakukan, sehingga Khilafah akan mengangkat sejumlah kadi hisbah untuk melaksanakannya.
Negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang mengatur kepemilikan harta sesuai syariat, sistem pengembangan harta yang syar’i, sistem mata uang berbasis emas dan perak. Buah penerapan sistem ekonomi ini akan menghilangkan menumpuknya harta pada segelintir orang. Pertumbuhan aktifitas ekonomi juga merupakan keniscayaan karena modal bena-benar diberdayakan pada sektor riil
Dengan sistem politik ekonomi Islam, ketahanan pangan akan terwujud karena negara mengambil peran sebagai penjamin dan pengawasan negara berjalan. Kaum petani juga akan terangkat kesejahteraannya karena negara hadir mengurusi mereka.