Problem mahalnya harga pangan belum usai, kini pengguna jalan bertambah galau akibat naiknya tarif tol di beberapa ruas. Ruas tol yang mengalami kenaikan tarif di antaranya Tol Jakarta-Cikampek dan Jalan Layang Mohamed Bin Zayed (MBZ), Pasuruan-Probolinggo, Serpong-Cinere, dan Surabaya-Gresik.
Memberatkan Rakyat
Kenaikan tarif tak hanya memberatkan pengguna jalan, namun juga rakyat pada umumnya. Pasalnya, jalan tol merupakan sarana publik, dimana kendaraan umum pengangkut barang-barang komoditi melewatinya. Sudah pasti hal ini akan berimbas pada naiknya biaya distribusi dan konsumsi barang ke wilayah-wilayah yang melewati jalan tol yang mengalami kenaikan tarif. Tak hanya itu, kenaikan tarif tol juga akan membebani rakyat yang akan melakukan perjalanan mudik seputar hari raya.
BPJT menyatakan, hingga awal 2022, sepanjang lebih dari 2.499,06 km jalan tol telah beroperasi di Indonesia. Ribuan km ruas jalan ini harus berbayar. Pengguna jalan harus membayar sejumlah harga setiap masuk atau keluar tol,
demi menikmati tol yang akan mereka lalui. Serasa tidak logis, saat tol dibangun di tanah negeri ini, namun pemilik tanah malah harus membayar agar bisa memanfaatkannya. Ironis!
Semua terjadi karena negara yang kaya sumber daya alam ini minder dan tak bisa lepas dari tekanan investor, utamanya Asing. Lebih ironis lagi, investor ini disiapi payung hukum berupa undang-undang. Omnibus low yang memihak kaum korporat menjadi penegas akan adanya hegemoni itu.
Pelan namun pasti, hegemoni investor asing di bisnis jalan tol makin menguat. Satu per satu jalan tol yang dibangun swasta domestik maupun BUMN sangat mudah pindah kepemilikan karena dibeli asing. Secara khusus terbukanya asing untuk menguasai jalan tol di negeri ini bermula dari kebijakan Paket Ekonomi Jilid XI era Jokowi-JK pada Februari 2016. Salah satu poin dalam beleid itu adalah revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang diatur menurut Perpres 39/2014. Dalam Paket Ekonomi Jilid X, investor asing bisa berinvestasi di jalan tol sebesar 100%, dimana sebelumnya dibatasi 95%.
Itulah realitas pembangunan infrastruktur yang digaungkan pemerintah saai ini. Kebanyakan jalan tol, utamanya yang ruasnya ramai, kepemilikan bukan pada kita, melainkan korporat asing. Beberapa ruas tol dimiliki investor asing, seperti tol Cikopo-Palimanan (Cipali), tol Cengkareng-Kunciran, tol Solo-Ngawi, tol Ngawi-Kertosono. Kenaikan tarif tol setiap ruas pun bisa terjadi secara berkala.
Kalaulah jalan tol masih dimiliki negara, nyatanya pendanaan pembangunan infrastruktur tol tidak sepenuhnya ditanggung negara. Bahkan, negara secara terbuka membiarkan investasi asing bergulir dalam pembangunan jalan tol.
Menteri BUMN Erick Thohir pernah mengatakan Indonesia telah memiliki terobosan dalam skema pembiayaan investasi dengan kehadiran Indonesia Investment Authority (INA). Artinya, pembiayaan infrastruktur termasuk tol tidak lagi bersandar kepada utang, melainkan investasi.
Jadi, tol sebagai sarana publik hanya menjadi kantong bisnis bagi penguasa dan pengusaha demi mendapatkan profit yang lebih besar. Sinergi yang dibuat pemerintah dan kaum korporat bukan untuk kepentingan rakyat. Itulah realitas negara korporatokarasi. Wajar jika tol memiliki tarif harga yang disesuaikan, tidak murah apalagi gratis.
Kewajiban Negara
Jalan tol merupakan fasilitas umum yang mana semua orang berhak untuk memanfaatkannya. Negara berkewajiban membangun fasilitas publik, hingga berdampak positif serta bermanfaat bagi masyarakat. Sayangnya, sistem kapitalisme meniadakan peran negara sebagai pengurus rakyat. Negara hanya berperan sebatas regulator kepentingan asing dan para kapitalis.
Islam memiliki pandangan komprehensif dan futuristik terkait pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur merupakan hal vital dan mendesak dalam membangun perekonomian masa kini. Pembangunan infrastruktur yang dimaksud antara lain jalan, jalan tol, stadion, jembatan, konstruksi bangunan, jaringan listrik, bendungan, dan sebagainya menjadi tanggung jawab negara. Pengadaannya harus lepas dari intervensi asing.
Pendanaan pembangunan seluruh infrastruktur ini diambil dari kas negara dalam format baitulmal. Lembaga keuangan ini memiliki sumber pendapatan yang pasti, sesuai ketentuan syariat. Sumber tersebut berasal dari kepemilikan umum berupa harta yang tersimpan diperut bumi. Harta itu berupa aneka macam tambang seperti emas, perak, minyak, batubara, nikel dan selainnya. Pendananan juga bisa diambil dari harta fai, ganimah, anfal, usyur, khumus, rikaz, zakat, jizyah, kharaj. Islam juga mewajibkan pengelolaan sumber kekayaan ini secara mandiri, tanpa campur tangan asing, apalagi dikuasai.
Pada masa kekhalifahan Islam, pembangunan infrastruktur berjalan pesat. Jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak (pada abad ke-8) saat itu sudah terlapisi aspal. Pembangunan jalan beraspal itu terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur pada 762 M, sedangkan Eropa baru membangun jalan pada abad ke-18. Di masa pemerintahan Umar bin Khaththab, beliau pernah mendanai pembangunan infrastruktur melalui anggaran khusus di baitulmal.
Perlu adanya perubahan paradigma mengenai pembangunan infrastruktur dan penerapanya secara praktis. Perubahan dari cara pandang kapitalis kepada sistem Islam. Dengan penerapan sistem politik ekonomi Islam secara menyeluruh, negara akan memiliki sumber dana yang memadai. Sumber ini cukup untuk melayani dan memenuhi kebutuhan pokok rakyat secara mudah dan murah. Mereka dapat mengakses dan memanfaatkan fasilitas publik termasuk jalan tol dengan tarif murah, bahkan mungkin bisa gratis.