Lebaran Kelabu (1)

 

Belumlah lama nikmatnya tidur kurasakan, ketika dering telefon membangunkanku. Rupanya suara Yopam. Sungguh ini tidak biasa. Keponakanku itu jarang sekali menelefon. Urusan penting pun kadang hanya japri lewat WA.

“Faizal jatuh, Bulek,” suaranya dari seberang.

“Jatuh? Dimana? Bagaimana kondisinya?” Aneka pertanyaanku bersusulan.

“Sekarang di Puskesmas Gondang, Bulek.” Suara Yopam terdengar gemetar.

Dari suara Yopam kutangkap kegelisahan.  Imbasnya mulai menyerbu perasaanku. Galau menelusup. Aneka tanya bersusulan dalam benak. Ya Allah, apa yang terjadi pada anak sulungku itu. Segera aku dan suami meluncur ke Puskesmat tempat anakku dirawat.

***

Jalanan sepi. Mobil kami gesit melaju menuju puskesmas di mana anak sulungku mendapatkan pertolongan pertama. Setibanya di puskesmas, kudapati beberapa pemuda kampung. Mereka semua temannya Faizal. Kecemasan nampak di rona wajah mereka.

Meski lampu halaman puskesmas itu tak begitu terang, namun kecemasa mereka tak tersembunyikan.  Nampak dari sikap mereka yang serba bingung. Seakan menceritakan kondisi buruk yang sedang menimpa anakku. Cemas kurasa kian menghimpit jiwa.

Dan… benarlah adanya. Ketika kumasuki ruangan itu, kudapati anakku tergeletak lemah. Kuusap rambutnya. Dia merintih kesakitan. Rintihan itu begitu menusuk ke relung hati.

“Minum ya nak, biar lebih longgar,” aku merayunya. Faizal hanya menggeleng lemah. Wajahnya pucat menahan sakit.

Tiga orang perawat berusaha menolong. Dengan susah payah mereka berupaya mengubah posisinya dari miring hendak dibikin terlentang. Tapi hal itu tidak berhasil. Terkalahkan dengan rintihan suara anakku.

“Jangan digerakkan, Suster. Tolong jangan. Sakiit banget.” Rintihnya.

Kucermati pahanya yang berbalut celana robek. Ada bagian yang menonjol pada pangkal paha itu. Aku mengkode perawat untuk menanyakan apakah kakinya patah.

“Nanti setelah foto ronsen baru bisa dipastikan, Ibu,” jawab perawat itu.

“Ya Robbi… Benarkah tulang kaki anakku patah? bisikku dalam hati. Badanku terasa panas dingin. Pikiranku kacau. Hatiku serasa teriris.

“Tolonglah dia Ya Allah… Ambillah rasa sakitnya, hilangkankah penderitaanya,” pintaku menghiba dalam hati.

Ambulance yang membawa kami melaju cepat menuju RSUD setempat. Instalasi Rawat Darurat adalah unit yang pertama kali menangani kasus Faizal. Setelah dipasang spaleg, anakku nampak lebih tenang. Mungkin karena tak banyak gerakan di posisi patahnya. Malam itu juga diambil foto ronsen. Dari gambar itu nampak jelas ada yang patah di ujung femur (tulang paha). Itu artinya dia harus menjalani operasi bedah tulang.

Tim dokter memutuskan, bedah ortopedi pada tanggal 3 juli 2017. Itu berarti kami harus menunggu enam hari. Alangkah lambat waktu merambat. Rintihan sakit anakku kurasakan kian memperlambat putaran waktu. Sulit kubayangkan enam hari harus merasakan nyeri.

Saran teman untuk membawa ke rumah sakit Ortopedi di Solo pagi itu juga tidak memberi harapan. Lewat contact person yang kutelefon tak memberi banyak harapan. CP itu menginformasikan kalau tidak bisa menjamin untuk bisa operasi dalam tempo dekat. Pasalnya momennya pas hari hari lebaran.

Ya, anakku memang jatuhnya saat lebaran hari kedua. Malam yang kelabu. Malam itu dia bareng anak-anak karang tauna di kampung. Rupanya mereka  hendak jalan jalan naik sepeda motor. Faizal boncengan dengan Andra.

Ada mobil yang direm mendadak di depan arak-arakan pemuda kampung itu. Posisi Andra dan Faizal paling belakang. Andra yang pegang setir. Ketika kondisi sulit, Andra menginjak rem mendadak. Motor terjatuh dan menimpa kaki anak sulungku itu.

Lebaran yang kelabu. Siapakah yang bisa memilih hari yang tepat untuk dikenai musibah? Siapakah yang bisa menolak kecelakaan ini kalau Allah sudah menghendakinya?. Sungguh, ini adalah lingkaran yang mengurung, hingga kita tiada mampu untuk memilih. Bersambung ke kmaa-8

 

#KMAA-7-CerbungLebaranKelabu

#Direpro dari artikel penulis yang terbit di gurusiana.id

Tinggalkan Balasan