Ketimpangan ketimpangan infrastruktur pendidikan disoal oleh Presiden RI, usai kunjungannya di berbagai daerah. Dalam kunjungan itu Jokowi membandingkan pembangunan pendidikan di kabupaten dengan kota. Menurutnya, gap sarana dan prasarana sangat jauh berbeda. (CNN Indonesia, 25-11-2023)
Menurut Presiden, guru kini menghadapi tantangan berat, utamanya terkait perkembangan teknologi. Tidak semua guru di Indonesia bisa mengakses teknologi terkini, akibat dari penyebaran infrastruktur pendidikan yang belum merata. Masih menurutnya, guru-guru di kota, mungkin lebih enak. Namun, untuk guru-guru yang berada di daerah 3-T, baik kondisi infrastruktur, fasilitas, maupun jumlah gurunya terbatas. Hal itu menjadikan tantangan mereka lebih berat.
Jokowi memastikan pemerintah terus berupaya memberikan dukungan terbaik untuk para guru, termasuk memperjuangkan kesejahteraan tenaga pendidikan. Harapan presiden, dalam tiga tahun, kurang lebih 840 ribu guru yang direkrut sebagai ÀSN lewat PPPK. Di tahun 2024 akan mencapai 1 juta guru ASN PPPK. Pertanyaanya, cukupkah program ini menyolusi aneka problem ketimpangan infrastruktur pendidikan?
Pendidikan Pincang, Mengapa?
Infrastruktur pada sektor pendidikan bisa jadi bukan segalanya. Terbukti, siswa yang berdaya juang tinggi biasanya lahir dari kondisi keterbatasan segala fasilitas. Namun demikian, keberadaan infrastruktur pendidikan harus tetap diperhatikan. JIka tidak, akan berakibat pada ketidakseimbangan pelaksanaan pendidikan. Tentu dampaknya akan meluas hingga pada kualitas peserta didik.
Mengapa pincangnya pendidikan akibat adanya ketimpangan infrastruktur ini, penguasa baru menyadari sadari? Bukankah saat pandemi Covid-19 yang lalu sejatinya hal itu sudah terjadi, bahkan kondisinya lebih ironis?
Apa sebenarnya yang menjadi fokus bagi arah pandang sistem pendidikan ke depan? Bukankah penguasa selama ini justru lebih gencar menyuarakan moderasi beragama di sektor pendidikan? Kampanye tentang moderasi beragama bahkan lebih gencar dibandingkan menyolusi permasalahan infrastruktur pendidikan itu sendiri. Kita bisa lihat tingginya anggaran bagi program moderasi beragama lintas direktorat jenderal tahun 2022 yang menanjak drastis dari Rp 400 miliar menjadi Rp. 3,7 triliun. (Republika.co.id, 28/10/2022).
Saat Pendidikan Menjadi Komoditas
Di zaman manapun, pendidikan merupakan persoalan penting demi kemajuan suatu bangsa. Bahkan, pendidikan bisa kita sebut sebagai benih bagi tegaknya peradaban. Selayaknya pendidikan menjadi perhatian utama penguasa dalam semua aspeknya.
Masalah ketimpangan infrastruktur pendidikan, tidak semestinya menjadi fenomena gunung es. Sekilas tampak kecil tetapi ternyata ditetelusuri secara mendalam mengandung banyak permasalahan yang tak terduga.
Sayangnya, dalam sistem ekonomi Kapitalis hari ini, pendidikan dijadikan sebagai komoditas ekonomi. Realitasnya memang makin lengkap infrastruktur pendidikan, makin mahal pula biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat.
Berbeda kondisinya bila pendidikan diposisikan sebagai kebutuhan pokok yang dikelola oleh negara dalam bentuk layanan.
Bagi beberapa orang, pendidikan masih merupakan barang mewah. Tingginya angka kemiskinan, semakin membuat pendidikan bagus sulit terjangkau oleh rakyat.
Swastanisasi pendidikan juga marak, terutama setelah pergantian status sejumlah perguruan tinggi negeri menjadi PTN BH (perguruan tinggi negeri badan hukum). Reputasi dan akreditasi internasional pada perguruan tinggi maupun lembaga sekolah seakan alasan untuk melegalkan mahalnya pendidikan. Begitu pula sekolah-sekolah berasrama, yang katanya mengusung konsep pendidikan terpadu tak terhindar dari orientasi keuntungan.
Bagaimana dengan nasib generasi di daerah-daerah 3T ? Apa mereka terus tanpa hararapab saat korban ketimpangan infrastruktur itu adalah diri mereka? Lalu sampai kapan harapan kosong itu berakhir?
Pendidikan, Kebutuhan Pokok Rakyat
Islam memandang, belajar atau menuntut ilmu merupakan kewajiban setiap muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah dari Anas ra.).
Pada hakikatnya pendidikan merupakan kebutuhan pokok rakyat. Karenanya menjadi hal yang penting untuk mengembalikan pendidikan pada posisi hakikinya.
Tak layak bagi pemerintah untuk menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis laksana komoditas. Kapitalisasi pendidikan telah membuat negara berlepas tangan dari tanggung jawabnya untuk mengelola pendidikan secara gratis dan berkualitas demi kepentingan rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Mengelola pendidikan termasuk menyiapkan infrastruktur yang layak bagi setiap warga yang memerlukan jasa pendidikan. Karenanya, ketimpangan infrastruktur pendidikan harus dihindari. Pengadaan infrastruktrur selayaknya dengan mempertimbangkan kualitas dan kuantitas yang memadai, agar tersedia secara gratis untuk semua rakyat yang memerlukan.
Rasulullah saw. bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang memimpin urusan umatku ini, yang ia menyayangi mereka, maka sayangilah dia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia.” (HR Muslim).
Infrastruktur Pendidikan di Masa Kekhilafahan
Islam memandang ilmuwan atau orang yang berilmu sebagai hamba yang tinggi derajatnya. Artinya, negara harus serius dalam mengurus layanan pendidikan. Peran strategis para ilmuwan telah nyata, di mana Allah Taala sebutkan sebagai orang-orang yang tinggi derajatnya.
Allah Taala berfirman,
یَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمۡ وَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَـٰتࣲۚ
[Surat Al-Mujadilah: 11]
“… niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11).
Tidak heran, pada masa Khilafah, terdapat kota-kota tertentu yang menjadi pusat pendidikan, seperti Madinah, Baghdad, Damaskus, dan Al-Quds. Layanan pendidikan diberikan secara gratis pada semua jenjang bagi seluruh rakyat, baik warga negara Khilafah maupun dari luar.
Lahirnya para ulama mazhab, seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Hanafi adalah buktinya. Juga para perawi hadis seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim. Ditambah lagi, lahirnya sederet ilmuwan di bidang sains dan teknologi, seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Idrisi, Al-Jazari, Ibnu al-Haytsam, juga Al-Birruni.
Para ilmuwan itu tidak hanya mahir di satu bidang. Ibnu Sina (Avizena), misalnya. Bapak kedokteran modern ini juga ahli astronomi dan filosuf di masanya. Demikiqn juga Al Khawarizmi, ahli matematika yang berasal dari Kufah, Irak. Merupakan ilnuwan penemu aljabar dan angka Nol ini juga ahli
astronomi, astrologi, dan geografi. Kemunculan ilmuwan islam yang mahir di masa itu tidak sebanding dengan kondisi abad kini, dimana kekhilafahan tak lagi eksis.
Riset para ilmuwan muslim merupakan penelitian berbasis ilmiah di nerbagai bidang keilmuan. Hasil dari riset ini bisa dinikmati seluruh masyarakat dunia hingga saat ini. Demikian pula dengan berdirinya perguruan tinggi tertua di dunia seperti Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko, Universitas Al-Azhar di Mesir, serta Universitas Cordoba di Andalusia, menunjukkan betapa majunya sistem pendidikan di masa Khilafah.
Bila ingin membangun pendidikan hingga layanannya menyentuh pada terpenuhinya kebutuhan pendidikan seluruh warga, islam telah memiliki standar yang pasti. Penerapan sistem islam yang didukung pembiayaan berbasis Baitulmal memungkinkan infrastruktur pendidikan dibangun secara mandiri oleh negara, tanpa menimbulkan ketimpangan. Pendidikan sebagai bagian dari kebutuhan pokok rakyat, islam telah mewajibkan bagi negara untuk memberikan layanan pendidikan secara gratis, orang per orang. Tanpa dibedakan di titik manapun, kota maupun pelosok, di pusat maupun di daerah.