Menumpas Tikus Berdasi Di Hari Antikorupsi

Terbaru0 Dilihat

Layaknya hendak menghapus  kejahatan korupsi, setiap 9 Desember, dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Semua negara menanam harap agar pemerintahannya terbebas dari aksi korup para tikus berdasi di negerinya. Di negeri ini, beragam upaya juga telah digelar untuk tujuan itu. Dibentuknya lembaga anti korupsi, memperberat kadar sanksi bagi pelaku, akuntanbilitas laporan keuangan dan semacamnya bertujuan untuk memberantas koroptor perusak itu. Namun, alih-alih korupsi berhenti, praktik korupsi malah kian menjadi-jadi, kasusnya semakin bervariasi.

Lembaga anti korupsi di negeri ini seakan fungsinya mengalami kelumpuhan saat
ketua KPK nonaktif Firli Bahuri ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Ironis dan bikin pilu. Ketua KPK yang semestinya terdepan dalam aksi pemberantasan korupsi, kini malah ada di balik jeruji besi.

Korupsi Pejabat Tinggi

Korupsi merupakan tindakan kriminal yang berdampak merusak. Korupsi sendiri berasal dr kata “corruption” atau “corruptus” yang artinya ‘menghancurkan’.

Tak ada negara di dunia yang ingin pemerintahan dan negaranya hancur. Selurah negara mengakui kalau korupsi merupakan tindakan buruk yang membawa pada kehancuran Namun realitasnya, pelaku korupsi pemakan harta rakyat ini justru banyak yang menempati jabatan tinggi.

Seruan antikorupsi, yang mereka suarakan terhenti pada retorika. Secara diam diam dan tersembunyi, mereka tega menerima gratifikasi. Tercatat beberapa nama menteri pada Era Jokowi yang masuk jeruji, seperti Jhonny G. Plate, Juliari Batubara, Edhy Prabowo, Imam Nahrawi, Idrus Mahram, dan kini Syahrul Yasin Limpo yang sudah berstatus tersangka.

Bahkan, tikus berdasi juga ada pada lembaga tertinggi penyeru keadilan, yaitu Mahkamah Agung. Dua hakim agungnya juga berubah menjadi tikus berdasi, yakni Gazalba Saleh dan Sudrajat Dimyati. Kontradiktif dengan apa yang mereka pertegas dalam janji saat dilantik yaitu untuk menjalankan amanahnya dengan baik. Mengkhianati sumpah dan janji, layaknya seperti tradisi. Seakan rasa malu telah lepas dari hati nurani.

Apakah pejabat negara yang tidak terseret kasus korupsi, berarti mereka bersih? Para pengamat memberi predikat “the lucky man”. Mereka “beruntung” karena tidak terciduk, akibat perlindungan diri dari sentuhan hukum.
Karenanya, memberantas kurupsi hari ini sangat sulit. Kejahatan korupsi telah menggurita. Tentakelnya ada pada setiap sudut jabatan, mulai dari pusat hingga daerah.

Kegiatan Memperingati Hari Antikorupsi dengan ajakan kepada masyarakat untuk bersinergi memberantas korupsi, bisa jadi tanpa arti. Hal itu karena pelaku korupsi justru ada pada level pejabat, yang sebagian mereka dipilih dan digaji dari harta rakyat.

Akar Persoalan Korupsi

Menelusuri lebih dalam mengenai persoalan korupsi bukan hanya berbicara aktivitas yang tidak terpuji pada individu. Sebab masalah korupsi ini bersifat sistemis. Buktinya, sejak negara ini berdiri, praktik tikus berdasi telah ada dan jumlahnya semakin banyak, ragam kasusnya bervariasi.

Menelusuri akar penyebab praktek korupsi kian membudaya, setidaknya bisa ditemui hal-hal berikut.

Pertama, mengakarnya pemahaman sekularisme.
Sekularisme telah membuang ajaran agama dari kehidupan
Pejabat dengan paham ini telah menjauhkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, para koruptor tidak takut akan dosa.

Kedua, mahalnya sistem politik demokrasi. Butuh biaya besar untuk menjadi kepala daerah. Politik transaksional pun terjadi. Para cukong politik penyokong kontestan demi lancaran urusan bisnis. Bila jabatan terpegang, mereka harus melayani para cukong politik.

Ketiga, sistem sanksi yang tidak menciptakan efek jera. Penjara bagi para koruptor kelas kakap, bukanlah tempat yang menakutkan, karena mewahnya fasilitas. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencarat dari risetnya bahwa sebagian besar koruptor hanya dihukum dua tahun oleh pengadilan. Wajar saja pada akhirnya para koruptor kian menjamur sebab hukumannya tidak membuat kapok.

Keempat, mayoritas koruptor yang tertangkap adalah mereka yang berada pada lingkar kekuasaan. Aksi menciduk koruptor lebih cenderung tebang pilih, berkait posisi tawar dalam politik. Tak heran bila megaskandal Bank Century, KTP-el, dan BLBI yang hingga kini tak terusut tuntas. Bahkan kini kasusnya menguap.

Budaya korup memang diciptakan oleh sistem hari ini, baik sekularisme, sistem politik demokrasi transaksional, juga sistem sanksi yang buruk dan tidak menjerakan. Oleh karena itu, agar terbebas dari budaya korupsi, kita harus membuat perubahan pada akar persoalan, yaitu sistem demokrasi Kapitalis.

Keniscayaan Bebas dari Korupsi Niscaya

Telah banyak kasus yang membuktikan bahwa sistem demokrasi telah terbukti melahirkan budaya korup. Kita tidak perlu bertahan pada sistem rusak ini. Mendesak untuk menggantinya dengan sistem yang bersih, yaitu sistem islam.

Setidaknya ada enam alasan bahwa budaya korupsi bakal hilang dalam penerapan sistem Islam.

Pertama, Keyakinan pada akidah Islam pada individu di masyarakat akan melahirkan kesadaran akan idraq silah billah. Kesadaran penuh bahwa pelaku tengah diawasi oleh Allah Taala. Kontrol internal yang mentajasad dalam diri pemimpin inilah yang akan mencegahnya dari aksi korupsi.

Kedua, sistem politik islam tidak mahal. Kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan khalifah. Tidak ada akad mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik.

Ketiga, politisi dan proses politik tidak bergantung kepada parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus mendakwahkan Islam, amar makruf nahi mungkar dalam mengoreksi dan mengontrol penguasa. Jika seorang anggota partai sudah terpilih menjadi pejabat, ia harus melepaskan dirinya dari partai.

Keempat, seluruh struktur dalam sistem Islam berada dalam satu kepemimpinan khalifah. Sistem Islam tidak mengenal pembagian atau pemisahan kekuasaan, semua atas kontrol khalifah. Inilah yang menutup celah adanya konflik kelembagaan dan mafia anggaran.

Kelima, tegaknya siatem sanksi yang tegas akan mengembalikan harta curian pada baitulmal. Harta ghulul meŕupakan harta yang diambil atau ditilap oleh pejabat atau pekerja di luar gaji. Termasuk harta yang diperoleh karena faktor jabatan, tugas, posisi, kekuasaan, dan sebagainya.

Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan gajinya, apa yang diambil selain itu adalah ghulul.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).

Keenam, sanksi bagi pelaku akan memberikan efek pencegahan dan menjerakan. Hukum sanksi bagi koruptor berbentuk takzir, yaitu sanksi yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau kadi (hakim). Harta ini bisa disita bisa juga dengan tasyhir (diekspose), dipenjara, hingga hukuman mati.

Para tikus berdasi itu tidak akan hilang selama sistem demokrasi masih menjadi menjadi model pemerintahan di negeri ini. Oleh karenanya, mendesak untuk berjuang menggantinya dengan sistem yang Allah telah sediakan konsepnya. Sistem ini telah dicontohkan praktiknya oleh Baginda yang Mulia Rasulullah SAW serta diikuti oleh penggantinya. Itulah sistem Islam.

Tinggalkan Balasan