Beberapa hari belakangan ini berita di media massa dan media online diramaikan dengan protes mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung) terkait dengan pinjaman online, dikenal luas sebagai Pinjol, untuk keperluan dana bagi mahasiswa membayar uang kuliah.
Semerta saya teringat pernah menulis artikel di Kompasiana (2011) tentang upaya menggagas alokasi dana APBD (Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah) untuk membantu mahasiswa, terutama Maba (mahasiswa baru) yang kesulitan membayar uang daftar ulang.
Baca juga: Menggagas Pinjaman (Kredit) untuk (Calon) Mahasiswa
Ketika itu saya (Juli 2011) menemani putri saya mendaftar ulang di UGM (Universitas Gadjah Mada) Yogyakarta. Ada beberapa calon mahasiswa yang saya temui kebingugan karena tidak mempunyai uang untuk daftar ulang.
Memang, disebutkan ada keringanan dengan mengajukan permohonan ke rektorat. Tapi, saya sendiri juga bingung waktu itu karena uang pendataran kurang. Ternyata uang daftar ulang harus dibayar penuh sesuai dengan jumlah yang ditentukan berdasarkan isian waktu daftar seleksi.
Saya ajukan surat permohonan, tapi tidak jelas kapan jawaban akan saya terima sementara jarum jam terus berputar mendekati deadline pembayaran. Tidak ada pilihan lain selain mencari tambahan dengan 1001 macam cara.
“Bingung, Pak,” ujar seorang calon mahasiswi yang belum bisa daftar ulang karena uang yang dia bawa dari kampung tidak cukup. Raut muka calon mahasiswi itu menunjukkan kesedihan sambil melirik calon mahasiswa keluar dari tempat daftar ulang dengah wajah yang berseri-seri.
Di berita siang KOMPAS.TV (31/1/2024) ada wawancara dengan mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Ridwan Kamil, yang merupakan alumni ITB. Kang Emil, panggilan akrabnya, hanya mengatakan pemerintah sebaiknya menyediakan dana bagi mahasiswa.
Tidak jelas pemerintah mana yang dimaksud Kang Emil. Kalau saja dana ABPD untuk provnsi, kabupaten dan kota diaudit oleh auditor independen yang netral bisa jadi ditemukan pemakaikan dana yang tidak efektif, berdasarkan berbagai aspek, sehingga dana itu bersifat mubazir. Bahkan, ada juga kasus korupsi yang menggerogoti dana APBD.
Baca juga: Dana APBD Direnggut Klub Sepak Bola PSSI
Nah, kalau dana yang mubazir, termasuk dana yang ditilep, itu dipakai untuk pinjaman atau kredit (KBBI: pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur) bagi calon mahasiswa yang tidak mampu untuk membayar biaya daftar ulang, uang kuliah dan biaya hidup yang layak.
Menyediakan dana dari APBD sebagai kredit bagi calon mahasiswa dan mahasiswa merupakan investasi bagi daerah. Misalnya, persyaratannya setelah lulus mereka wajib kerja di daerah sekian tahun. Jika selesai kerja wajib mereka boleh memilih jadi PNS di daerah itu atau memilih kerja di tempat lain. Tentu saja setelah pinjaman mereka lunas.
Maka, amatlah gegabah orang-orang, seperti peserta kontestan Pemilu dan Pilpres 2024 yang mengumbar janji uang kuliah gratis karena pendidikan lanjutan (SLTA yaitu SMA/SMK/Aliyah dan sederajat) bukan hak sehingga tidak boleh memakai dana APBN (Anggapan Pendapatan dan Belanja Nasional).
Yang jadi tanggung jawab negara (baca: pemerintah) adalah pendidikan dasar yaitu SD/Madrasah sampai SMP/Tsanawiyah karena pendidikan dasar adalah hak. Celakanya, di Indonesia dibalik jadi kewajiban yang dikenal sebagai Wajar (wajib belajar).
Hal itu jelas keliru karena yang wajib adalah pemerintah menyediakan sarana dan prasarana agar semua anak bisa memperoleh hak mereka untuk belajar pendidikan dasar.
Maka, kalau ada anak usia 7-16 tahun tidak sekolah formal di SD sampai SMP, maka persoalan ada pada pemerintah yaitu lalai mengurus warga sehingga haknya diabaikan.
Secara universal setiap seorang anak lahir, maka dia berhak untuk mendapatkan:
- identias (tanda/akte lahir dan setelah dewasa kartu tanda penduduk/KTP-maka KTP itu hak
- bukan kewajiban)
- imunisasi dasar, dan
- pendidikan dasar 9 tahun
Maka, peserta kontestasi legislatif pusat dan daerah serta presiden/wakil presiden bukan mengumbar uang kuliah gratis, tapi menjamin sepenuhnya tidak ada lagi anak-anak usia 7-16 tahun yang tidak mengenyam pendidikan dasar formal dan tidak ada pula yang drop out (DO) atau putus sekolah.
Saolnya, tidak sedikit orang tua yang kesulitan menyekolahkan anaknya untuk mengenyam pendikan dasar. Ada SD dan SMP gratis, tapi aa uang ini itu, termasuk uang seragam dan uang study tour yang tidak kecil. Akibatnya, tetap terjadi putus sekolah SD dan SMP. Selain itu ada yang lulus SD tidak dilanjutkan ke SMP serta lulus SMP tidak dilanjutkan ke sekolah lanjutan atas.
Baca juga: Menggerakkan Masyarakat Dukung Pendidikan untuk Menggapai Kehidupan Berkebangsaan
Pakaian seragam dan sepatu serta perlengkapan sekolah juga jadi beban orang tua, terutama bagi yang tidak mampu. Setiap hari sepanjang pekan pakaian berganti: seragam umum, batik, pakaian keagamaan, pramuka dan olahraga. Bahkan, di era Orde Baru ada gagasan sepatu pelajar dari SD sampai SLTA seragam.
Padahal, seperti pernah dikatakan dengan tegas oleh (Alm) Prof Dr Fuad Hassa ketika itu sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) priode 1985-1988, bahwa pakaian seragam dan sepatu bukan bagian dari proses belajar di kelas pada sekolah formal.
Baca juga: Pakaian Seragam Bukan Bagian dari Proses Belajar di Sekolah Formal
Selain membeli pakaian seragam dan sepatu serta perlengkapan lain, orang tua juga hasus membeli pakaian ketika Lebaran. Kalau saja pakain tidak seragam, maka baju Lebaran bisa dipakai ke sekolah sehingga tidak membebani orang tua kalangan tidak mampu.
Baca juga: Orang Tua Murid Terpaksa Beli Pakaian Seragam yang Bukan Bagian dari Proses Belajar
Selogan dan jargon peserta kontestasi anggota serta Pilpres ternyata tidak menyentuh akar persoalan yang dihadapi bangsa terkait dengan pendidikan dasar. (Sumber: Kompasiana, 31/1/2024) *