Laki-laki Heteroseksual Berkeliaran Sebarkan HIV/AIDS di Kota Bogor

Kesehatan72 Dilihat

1.330 Gay Berkeliaran di Bogor” Ini judul berita di Harian “Radar Bogor“, 18/12-2017. Judul berita ini sensasional, tapi tidak akurat karena tidak sesuai dengan fakta.

Dari mana wartawan dapat jumlah 1.330 gay tersebut? Jika disimak ilustrasi dalam berita itu ternyata penjumlahan itu ngawur bin ngaco karena jumlah gay (1.279) ditambahkan dengan jumlah waria (51) disebutkan sebagai jumlah gay (1.330).

Kesalahan fatal yang dilakukan “Radar Bogor” adalah menyamakan gay dengan waria. Ini jelas ngawur karena gay adalah laki-laki yang tertarik secara seksual dengan laki-laki (homoseksual), sedangkan waria adalah secara fisik laki-laki yang berpenampilan sebagai perempuan disebut transgender. Padahal, dalam berita Pengelola Program HIV Dinkes Kota Bogor, Nia Yuniawati, menjelaskan, ada 1.330 pria yang homoseksual. Tidak semua homoseksual adalah gay.

  1. Mata Rantai Penyebar HIV

Nia juga tidak objektif karena tidak memberikan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan heteroseksual yang menjalani konseling. Selain itu dalam konteks penyebaran HIV/AIDS kasus HIV pada gay ada di terminal terakhir karena gay tidak mempunyai istri sehingga HIV/AIDS tidak menyebar ke keluarga.

Cara-cara sebagian aktivis AIDS, Dinkes dan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) yang selalu mengedepankan aspek homoseksual dalam konteks HIV/AIDS menunjukkan mereka juga memaka paradigma berpikir yang sama dengan media yang mengutamakan sensasi bukan fakta. Ini merupakan kegiatan yang kontra produktif dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS secara nasional.

Kalau “Radar Bogor” menyamakan gay dengan waria karena cara melakukan hubungan seksual juga tidak tepat karena waria menyalurkan libido seks tidak otomatis dengan laki-laki tapi dengan perempuan. Waria ada yang heteroseksual, tapi ada juga yang homoseksual.

Pemakaian kata ‘berkeliaran’ juga tidak pas karena kata itu dipakai untuk binatang. Itu artinya media cetak ini sudah merendahkan harkat dan martabat manusia. Lagi pula tidak ada gay yang ‘berkeliaran’ karena gay mencari pasangan seperti layaknya heteroseksual.

Yang ‘berkeliaran’ justru laki-laki heteroseksual, bahkan yang beristri, mencari perempuan dan waria untuk berzina. Pada epidemi HIV/AIDS laki-laki ini, disebut laki-laki hidung belang, adalah mata rantai penularan HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Laki-laki heteroseksual, ada yang beristri bahkan ada yang lebih dari satu, yang mengidap HIV/AIDS tularkan HIV ke perempuan lain dan PSK. Lalu, ada lagi laki-laki heteroseksual, ada yang beristri juga ada yang lebih dari satu, ngeseks dengan PSK dan tertular HIV. Maka, laki-laki yang menularkan HIV ke PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Selain HIV/AIDS ‘laki-laki hidung belang’ juga jadi penyebar penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual disebut IMS (infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, virus hepatitis B, virus kanker serviks, herpes genitalis, jengger ayam, klamidia, dan lain-lain).

Di lead berita disebutkan: Tak dapat dimungkiri, di era yang semakin modern banyak pria maupun wanita mengalami penyimpangan seksual. Bahkan, tak sedikit yang sudah menikah akhirnya memutuskan bercerai.

  1. Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia Ada di Hilir

Pernyataan ini tidak relevan karena kalau yang dimaksud media ini penyimpangan seksual adalah gay, maka perilaku homoseksual sudah dikenal sejak zaman Nabi Luth. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara era modern dengan penyimpangan seksual.

Pertanyaan yang sangat mendasar untuk “Radar Bogor” adalah: Apakah laki-laki beristri yang berzina, dengan pekerja seks komersial (PSK), dengan sesama laki-laki (disebut LSL-Lelaki Suka Seks Lelaki) dan dengan waria, tidak termasuk penyimpangan seksual?

Karena berita itu dikemas dengan balutan moral dan wartawan menemapatkan diri sebagai ‘polisi moral’, maka sudut pandang pun hanya pada gay sehingga laki-laki heteroseksual, terutama yang beristri, yang berzina tidak dikategorikan sebagai penyimpangan seksual.

Terminologi penyimpangan seksual adalah dari sudut norma, moral, agama dan hukum, sedangkan dari sisi seksualitas tidak ada yang menyimpang karena semua dilakukan sebagai penyaluran libido seksual.

Orientasi seksual tidak muncul tiba-tiba. Belum ada penjelasan yang komprehensif secara ilmiah penyebab homoseksual (lesbian, gay, biseksual, waria disingkat LGBT). Terjadi silang pendapat.

Sejak epidemi HIV/AIDS merebak yang diusung adalah upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui semua orientasi seksual (heteroseksual, biseksual dan homoseksual). Celakanya, di Indonesia program penanggulangan yang konkret hanya anjuran tes HIV dan tes HIV bagi ibu hamil.

Program tes HIV itu ada di hilir sehingga insiden infeksi HIV baru di hulu, terutama pada laki-laki dewasas melalui hubungan seksual dengan PSK terus terjadi yang pada gilirannya ditulakan secara horizontal di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran HIV yang tidak terdeteksi merupakan ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. Inikah yang kita tunggu? Soalnya, tidak ada program yang konkret di hulu, antara lain menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK (Kompasiana, 3 Januari 2018) *

Foto ilustrasi (Sumber: www.nationnews.com)

Tinggalkan Balasan