Ajal Mengakhiri Persahabatanku dengan Tiga Odha

Edukasi51 Dilihat

”Inilah. Semua gara-gara teman Abang.” Itulah salah satu ucapan Nuraini, seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) di Makassar, Sulsel, yang selalu terngiang di telinga saya. Hal itu tentang perlakuan masyarakat terhadap dirinya akibat pemberitaan di media massa, surat kabar dan TV (ketika itu belum ada media sosial).

Semasa hidupnya Nuraini, meninggal tahun 2009, berulang kali pindah kontrakan dengan suaminya karena diusir tetangga.

Lho, mengapa?

Rupanya, foto pernikahan mereka dimuat di halaman depan di beberapa media cetak lokal dan nasional (1997). Judul dan teks foto pun tidak tanggung-tanggung bombastis dan sensasional: ”Pengantin AIDS”. Akibatnya, banyak orang yang mengenali wajah Nuraini dan suaminya.

  1. Ditulari Laki-laki

Yang dimaksud Nuraini sebagai ’teman-teman Abang’ adalah wartawan yang menulis belasan berita tentang penangkapannya ketika dirazia di ’jalan vagina raya’ (julukan untuk Jalan Nusantara di pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, karena di jalan itu banyak tempat hiburan sebagian ada tempat transaksi seks), sampai pernikahannya.

Nuraini termasuk pekerja seks pertama yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Makassar. Ketika dirazia mereka langsung menjalani tes HIV tanpa konseling (bimbingan) dan ditempatkan di sebuah panti sosial di Makassar.

Bahkan, suatu hari ketika dia memakai T-Shirt bertuliskan “AIDS” orang-orang pun langsung mencibirnya. ”Saya tidak menyebarkan AIDS, justru laki-laki yang menularkan HIV/AIDS ke saya,” kata Nuraini sambil menyeka matanya yang basah.

Dia pernah curhat, ”Bang, kalau foto saya tidak dimuat di koran ‘kan saya bisa m*la*ur lagi. Saya tidak minta-minta uang lagi ke Abang.”

Syukurlah. Ada lembaga dan dokter yang membantu Nuraini. Bahkan, memberikan garasi untuk tempat tinggal Nuraini dan suaminya karena mereka tidak bisa lagi mendapat kontrakan. Hampir semua tempat kontrakan di Makassar mengenali wajah mereka

(Lihat: Nasib Pengantin AIDS di Makassar yang Berkali-kali Diusir Tetangga)

Terakhir kami bertemu di Makassar tahun 2007 pada sebuah lokakarya. Nuraini saya minta menceritakan derita yang dialaminya sebagai ’pengantin AIDS’.

Setelah itu komunikasi terus berlanjut melalui SMS. ”Bang, kirim ka pulsa.”

Suatu hari saya menerima SMS dari nomor ponsel Nuraini, tapi kali ini dikirim oleh suaminya yang mengabarkan bahwa Nuraini telah tiada. Selamat Jalan, Sahabat.

Ulah wartawan terhadap Odha juga dialami oleh Cece, bukan nama sebenarnya. Gadis ini dipulangkan dari Riau karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui survailans tes HIV yang tidak sesuai standar prosedur operasi.

Ayahnya bingung karena Cece belum sampai ke rumah di Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jabar, tapi petugas dari berbagai instansi dan wartawan sudah berkerumun di depan rumahnya bertanya tentang Cece. Berita di surat kabar dan TV pun sudah gencar.

Lho, koq bisa? Rupanya, radiogram dari Pemda Riau ke Pemda Jabar ’dibocorkan’ ke wartawan sehingga wartawan pun ramai-ramai ’memburu’ Cece.

  1. Dicaci-maki Tetangga

Akibat pemberitaan media massa yang gencar penduduk di sekitar rumahnya pun mencaci-maki, mencela, dan mencibir Cece dan keluarganya.

Ayahnya tidak lagi mendapat pekerjaan sebagai kuli tani. Telur asin yang dijual ibunya pun tidak pernah lagi dibeli orang.

Mereka kemudian pindah ke satu tempat di Cikarang, Jabar, dan bekerja di lio (tempat pembuatan batu bata). Tapi, nasib keluarga ini juga apes karena pemilik lio mengusir mereka.

Mengapa? Rupanya, ada yang membisiki pemilik lio tentang status HIV/AIDS yang ’disandang’ Cece.

Cece dan keluarganya berkali-kali pindah tempat. Terakhir mereka bekerja di sebuah lio di Banten, waktu itu masih masuk Jabar

(Lihat: Media Massa Menghancurkan Kehidupan Keluarga Kartam*).

Lama-lama tetangga di kampung mulai memahami HIV/AIDS berkat Pak RT yang mati-matian membela keluarga Cece. Karena sudah diterima di kampung mereka pun balik ke rumah.

Kondisi Cece terus memburuk. ”Pak, Cece sudah pergi selamanya,” kata ibu Cece sambil berlinang air mata. Cece pergi di tahun 2003.

Foto Cece dan keluarganya jadi kenang-kenangan. ”Jangan dikorankan, Pak,” pinta Cece ketika dipotret di salah satu lio di Cikarang.

”Ini wartawan kok bisa-bisanya menulis berita seperti ini,” kata Cici, bukan nama sebenarnya, seorang Odha di Tempuran, Kab Karawang, Jabar.

Cici juga pekerja seks yang dipulangkan dari Riau karena terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Berita-berita yang dimaksud Cici adalah perihal rumahnya yang dikatakan dibangun dengan, maaf, uang lendir. Berita itu memang sudah melewati batas-batas kaidah jurnalistik.

Yang tidak masuk akal adalah pengakuan Cici dia tidak pernah diwawancarai wartawan. ”Baru Bapak wartawan yang menemui saya,” kata Cici sambil menghela napas.

  1. Terbang ke Singapura

Perjalanan hidup Cici pun tidak kalah buruknya dengan Nuraini dan Cece. Dia jadi bulan-bulanan berbagai instansi di kampungnya kalau suaminya datang. Dia menikah di sebuah KUA di Jakarta Barat dengan seorang WN Singapura. Cici memegang buku nikah.

Dengan berbagai alasan Cici pun diperas, apalagi mereka tahu suaminya warga negara asing. Terkadang mereka ketemu di Jakarta untuk menghindari perlakuan yang sering dialaminya. Kadang-kadang Cici yang terbang ke Singapura.

”Silakan lihat, Pak,” kata Cici sambil menunjukkan paspornya dengan beberapa cap imigrasi Singapura.

Ketika Cici memeriksakan kehamilannya (usia kehamilan delapan bulan tahun 1996) di puskesmas di dekat rumahnya dokter pun mengatakan bahwa perutnya yang membesar bukan karena hamil, tapi: ”Ini penyakit.”

(Lihat: Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula)

Ternyata di Puskesmas itu ada catatan bahwa Cici seorang pengidap HIV/AIDS.

”Bayi ini ada bapaknya. Kami menikah.” Itulah yang selalu dikatakan Cici, tapi tetap saja pegawai di Puskesmas tidak bersahabat.

Ketika hendak melahirkan Cici dibawa pihak puskesmas ke RSCM Jakarta karena ’statusnya’ tadi. Setelah diperiksa di RSCM Cici dibawa ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah LSM yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta. Selama menunggu persalinan, Cici tinggal di sanggar YPI dan ditangani dokter-dokter yang memang pakar HIV/AIDS, seperti Prof Dr dr Zubairi Djoerban, DSPD, dan Prof Dr dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Persalinan Cici sendiri ditangani dr Siti Dhyanti Wisnuwardhani, spesialis obstetri dan ginekologi di FK UI/RSCM.

Tahun 2000 ada kabar dari YPI bahwa Cici sudah berpulang. Pemakamannya pun hanya dilakukan oleh relawan yang dibina YPI di Karawang karena sebagian penduduk menjauhinya.

(Lihat: Duka Lara Seorang Wanita Pengidap HIV/AIDS di Karawang)

Cici meninggalkan seorang putri yang lahir tepat pada pembukaan olimpiade di Atlanta, AS. Syukurlah putrinya itu tidak tertular HIV. Kini putrinya diasuh neneknya (Kompasiana, 29 November 2013). *

Tinggalkan Balasan